Sudah lebih dari sepekan, hujan tak turun di area hutan tanaman industri (HTI) PT Mayangkara Tanaman Industri (MTI) estate Mendawak, di Sanggau, Kalimantan Barat, Senin (18/3/2019). Kewaspadaan terhadap munculnya kebakaran pun ditingkatkan oleh manajemen HTI yang merupakan perusahaan patungan antara Sumitomo Forestry dan Alas Kusuma Grup itu. Apalagi, dari Provinsi Riau, sudah dilaporkan merebaknya sejumlah kejadian kebakaran hutan dan lahan.
Meski demikian, Tsuyoshi Kato, Vice President Director MTI mengaku masih tenang. Maklum, pemantauan yang dilakukannya menemukan, tinggi muka air tanah (TMAT) di areal konsesi MTI masih berkisar 15-20 centimeter (cm) dari permukaan gambut. Masih sangat ideal jika dibandingkan dengan ketentuan pemerintah yang mewajibkan TMAT paling rendah 40 cm dari permukaan gambut. Ini memastikan gambut tetap basah dan tak rawan terbakar.
“Saya bisa tahu kondisi gambut walau sedang ada di Pontianak atau bahkan di Jakarta. Kalau ada data yang aneh, saya tinggal telfon bagian water management untuk dilakukan pengecekan,” katanya.
Kato mengandalkan perangkat canggih untuk memantau gambut bernama Sensory Data Transmission Service Assited 3 (SESAME 3). Ini adalah perangkat transmisi data gambut terbaru yang dikembangkan oleh perusahaan asal Jepang, Midori Engineering Laboratory Co Ltd.
SESAME 3 merupakan pengembangan dari SESAME 2 yang dipakai oleh Badan Restorasi Gambut (BRG). Bedanya, selain data TMAT, SESAME 3 juga bisa menyediakan informasi tentang kelembaban tanah, suhu udara, dan curah hujan. SESAME 3 bahkan mampu menyediakan informasi berupa gambar sehingga kondisi areal HTI bisa terpantau dengan jelas.
Informasi tersebut bisa diakses melalui situs SESAME 3 secara daring dari manapun. Itu sebabnya, Kato, tetap bisa memantau kondisi areal MTI, meski sedang berada di Jakarta.
Proses kerja SESAME 3 cukup unik. Pada SESAME 2 tiap-tiap unit stasiun pemantau mengirimkan data TMAT langsung ke peladen (server) menggunakan sinyal data telefon GPRS. Sedangkan pada SESAME 3, stasiun pemantau dibagi menjadi dua, yaitu stasiun ‘anak’ dan stasiun ‘induk’. Stasiun anak mengumpulkan informasi TMAT, suhu udara, curah hujan dan kelembaban tanah ke stasiun induk menggunakan gelombang radio (LoRa/Long Range).
Penggunaan gelombang radio LoRa untuk mengirimkan data ke stasiun induk sangat menguntungkan. Pasalnya, gelombang radio LoRa tak butuh dukungan sinyal telefon untuk mentransmisikan data. Sudah bukan rahasia lagi kalau hutan adalah wilayah ‘faqir’ sinyal telefon.
Sejumlah literatur mengungkapkan, gelombang LoRA bisa menjangkau hingga jarak 100 kilometer pada wilayah tanpa penghalang. Meski demikian, di MTI, jarak antara stasiun anak dengan stasiun induk diatur berkisar 2-10 kilometer. Stasiun induk diletakan pada menara pengawas berketinggian 25 meter sehingga bisa menerima data dari sejumlah stasiun anak tanpa hambatan.
Menurut Kato, ada 10 stasiun anak yang kini dioperasikan di areal MTI. Stasiun anak diletakan sesuai dengan zonasi penataan air gambut yang telah dirancang sebelumnya. Ke depan, MTI akan memperbanyak jumlah stasiun anak yang akan dioperasikan. Secara teknis, setiap stasiun induk, mampu dihubungkan hingga 200 stasiun anak.
Data dari stasiun anak yang diterima stasiun induk kemudian dikirim ke komputer peladen yang dikelola Midori untuk kemudian disajikan melalui website dan bisa diakses secara daring. Baik stasiun anak maupun stasiun induk bisa menggunakan sumber listrik dari panel surya yang dilengkapi baterai agar alat bisa bekerja 24 jam.
Kato menjelaskan, banyak manfaat dari penggunaan teknologi SESAME 3. Selain bisa mendapat data gambut secara real time lebih lengkap, teknologi SESAME 3 juga lebih murah. Sebagai perbandingan, dibutuhkan investasi sebesar Rp60 juta untuk tiap titik pemantauan jika menggunakan teknologi SESAME 2. Sementara dengan menggunakan teknologi SESAME 3, investasi yang diperlukan hanya sekitar Rp20 juta untuk setiap titik. “Lebih efisien dan efektif untuk mengetahui risiko kebakaran dan aspek-aspek lingkungan yang mempengaruhi produktivitas tanaman,” kata Kato.
Pengelolaan berkelanjutan
Namun secanggih apapun teknologi pemantauan yang dimanfaatkan tak akan ada artinya jika pengelolaan gambut dilakukan serampangan. Soal ini, Kato menjelaskan, MTI menerapkan pengelolaan gambut berkelanjutan yang mampu menjaga gambut tetap basah namun tetap cukup untuk mendukung pertumbuhan tanaman pokok dari jenis acacia crasicarpa.
“Mengelola gambut berkelanjutan sudah menjadi komitmen kami sejak awal,” kata Kato.
MTI memperoleh izin HTI pada tahun 2007 seluas 74.870 hektare. Selain MTI, kongsi antara Sumitomo Forestry dan Alas Kusuma Grup juga mengelola HTI PT Wana Subur Lestari seluas 40.750 hektare.
Kato menjelaskan, sebelum mulai mengembangkan HTI, pihaknya melakukan survei topografi secara intensif untuk mengetahui topografi lahan gambut. Panjang transek survei bahkan mencapai sekitar 1.700 kilometer untuk menghasilkan peta topografi dengan interval 0,5 meter. Tak cukup, survei kedalaman gambut juga dilakukan di 1.400 titik dengan interval antara 100-500 meter.
Data hasil survei ini penting untuk membuat peta zonasi air. Berdasarkan peta ini, manajemen MTI membangun kanal sejajar kontur. Tujuannya bukan untuk mengeringkan gambut, melainkan untuk mengatur tata air sehingga tanaman pokok jenis accacia crasicarpa bisa tumbuh namun gambut tidak mengalami kekeringan sehingga rentan terbakar.
Untuk menjaga pasokan air gambut, MTI mengalokasikan sekitar 20% dari konsesinya untuk tujuan konservasi. Lokasinya areal dengan tujuan konservasi itu ada di kubah gambut. Selain itu, juga dialokasikan areal dengan tujuan hydrobuffer yang ketinggian air gambutnya dipertahankan antara 0-20 cm saja. “Di wilayah hydrobuffer, kami menanam berbagai jenis tanaman lokal,” kata Kato.
Pengelolaan seperti itu membuat MTI selalu mampu menjaga TMAT gambut sesuai dengan ketentuan pemerintah. Selain bisa dipantau melalui SESAME 3, TMAT gambut juga bisa dipantau secara manual di 457 titik penaatan ekosistem gambut. Asal tahu, jumlah titik penaatan ini hampir lima kali lipat dari yang diwajibkan pemerintah cq Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Peneliti Badan Litbang dan Inovasi Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Profesor Chairil Anwar Siregar menyatakan pentingnya mengatur tata air agar gambut bisa mendukung pertumbuhan tanaman namun tidak kering dan rentan terbakar. “Kita bisa atur run off airnya,” katanya.
Saat terjadi banjir pada satu zona, maka sekat bisa dibuka untuk mengalirkan air pada zona lain. Sementara pada saat kondisi air sudah normal, maka sekat bisa ditutup untuk menjaga agar air gambut tidak terkuras dan kering. Chairil pun mengapresiasi pengelolaan gambut di MTI dan menyatakan pengelolaan yang dilakukan di sana bisa menjadi rujukan bagi perusahaan lain. Sugiharto