Perbaikan Data Pangan

Ilustrasi - Stok beras nasional
Yudhi Harsatriadi Sandyatma, S.Sos, M.Sc

Oleh:  Yudhi Harsatriadi Sandyatma  (Analis Ketahanan Pangan)

Berdasarkan data BPS, impor beras dalam kurun waktu 2018-2020 masih terjadi dengan jumlah yang tidak sedikit. Pada tahun 2018, misalnya impor beras mencapai 2.253.824,5 ton, meskipun pada tahun berikutnya mengalami penurunan jumlah. Tercatat tahun 2019 menjadi 444.508,8 ton dan tahun 2020, sebanyak 356.286 ton. Terbitnya kebijakan impor tersebut seringkali menjadi polemik dan mendapat tentangan dari berbagai pihak karena disinyalir adanya perbedaan data yang melibatkan antar kementerian/lembaga (K/L).

Kehadiran Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 66 Tahun 2021 Tentang Badan Pangan Nasional (Bapanas) diharapkan oleh berbagai kalangan dapat memperbaiki tata kelola pangan yang lebih baik. Satu hal yang menarik dalam beleid ini adalah Bapanas diberikan kewenangan dalam pengaturan kebijakan impor, dimana salah tugas utama Bapanas adalah pengembangan sistem informasi pangan. Di sini maka, peran Bapanas harus memiliki otoritas yang kuat dengan dukungan basis data yang akurat.

Peran dan tugas yang dijalankan oleh Bapanas dalam pengembangan sistem informasi pangan seirama dengan  Undang-Undang (UU) Nomor 18 Tahun 2012 tentang Pangan, yang memuat aturan tentang Sistem Informasi Pangan. Pasal 113 dalam UU tersebut menyatakan bahwa, sistem informasi pangan mencakup pengumpulan, pengolahan, penganalisisan, penyimpanan, dan penyajian serta penyebaran data dan informasi tentang Pangan. Dimana Pemerintah Pusat dan Daerah berkewajiban membangun, menyusun, dan mengembangkan integrasi sistem informasi Pangan yang akan digunakan untuk: (1) perencanaan, (2) pemantauan dan evaluasi, (3) stabilitas pasokan dan harga Pangan, dan (4) sistem peringatan dini terhadap masalah pangan serta kerawanan pangan dan gizi.

Dalam konteks regulasi satu data, Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 39 Tahun 2019 telah mengatur tentang Satu Data Indonesia (SDI). Perpres ini bertujuan untuk menciptakan data berkualitas, mudah diakses, dan dapat dibagi dan pakai antar instansi pusat serta daerah. Banyaknya data pangan yang tersebar di K/L seringkali menjadi polemik dalam pengambilan kebijakan karena masing-masing institusi mempertahankan argumennya dengan berbagai pertimbangan termasuk metode yang berbeda. Melalui satu data pangan maka diharapkan distorsi data bisa dieliminir dan memudahkan dalam pengambilan kebijakan.

Koordinasi Data

Sebagai institusi yang diamanahi oleh Undang-Undang No. No.16 tahun 1997 tentang statistik, Badan Pusat Statistik (BPS) bertanggungjawab terhadap penyelenggaraan statistik dasar. Dimana yang dimaksud statistik dasar di sini adalah statistik yang pemanfaatannya ditujukan untuk keperluan yang bersifat luas, baik bagi pemerintah maupun masyarakat, yang memiliki ciri-ciri lintas sektoral, berskala nasional, makro, dan yang penyelenggaraannya menjadi tanggung jawab BPS. Namun, permasalahan carut marut pengambilan kebijakan pangan seringkali terjadi karena tersebarnya data di lintas K/L yang sifatnya statistik sektoral yaitu statistik yang pemanfaatannya ditujukan untuk memenuhi kebutuhan instansi tertentu dalam rangka penyelenggaraan tugas-tugas pemerintahan dan pembangunan yang merupakan tugas pokok instansi yang bersangkutan.

Beberapa data pangan yang tersebar lintas K/L diantaranya: (1) data luas panen, produktivitas, dan produksi komoditas pangan (BPS dan Kementerian Pertanian); (2) Luas baku lahan sawah (Kementerian ATR/BPN); (3) Konsumsi komoditas pangan (BPS); (4) Ekspor-impor komoditas pangan (BPS, Bea dan Cukai); (5) Harga komoditas pangan (BPS, Kementerian Pertanian, Kementerian Perdagangan); (6) Distribusi dan stok komoditas pangan (BPS, Bulog, dan Kementerian Pertanian); (7) Aspek budidaya, panen, dan pasca panen komoditas pangan (BPS, Kementerian Pertanian); dan (8) data curah hujan, irigasi, sarana dan prasarana, dan lain-lain (BMKG, BIG, Kementerian PUPR, Kementerian Pertanian, BPS, BUMN). Semua data tersebut belum harmonis dikarenakan metode yang digunakan belum selaras antar K/L sehingga disini BPS harus memiliki peran sebagai Pembina dalam mengharmonisasi data antar K/L.

Satu hal yang perlu dipahami bahwa satu data pangan tidak selamanya ansich bahwa semua data pangan dihasilkan oleh satu institusi, dalam hal ini BPS. Namun demikian, satu data pangan merupakan sebuah sistem pengumpulan statistik pangan yang terintegrasi dari berbagai penyelenggara kegiatan statistik dengan memenuhi prinsip: metode yang baku, standar data, metadata, data harus dapat dibagipakaikan antar sistem elektronik, dan yang paling penting akurat dan sahih.

Belajar dari KSA

Menghasilkan data pangan yang akurat dan kredibel melalui koordinasi lintas K/L memang dianggap sebelah mata oleh beberapa pihak. Akan tetapi kita bisa belajar dari keberhasilan memperbaiki data luas panen padi dan produksi beras nasional yang semula menggunakan pola pengukuran ubinan menjadi Kerangka Sampel Area (KSA) melalui penerapan metode objective measurement/observation. Upaya yang telah diinisiasi sejak 2015 ini merupakan hasil kolaborasi BPS, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Kementerian ATR/BPN, Badan Informasi Geospasial (BIG), dan Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN). Model kolaboratif ini telah mendapatkan apresiasi dari Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) dalam forum pertemuan internasional Asia Pacific Commission on Agriculture Statistics (APCAS) yang dilaksanakan di Bali pada 14-20 Februari 2020. Dalam forum tersebut, FAO menyatakan bahwa model kolaboratif ini dapat menjadi model percontohan dunia terkait penyediaan data pangan dan pertanian yang berkualitas.

Langkah Strategis

Bapanas sebagai institusi baru yang memiliki otoritas dalam pengambilan kebijakan pangan harus memanfaatkan momentum kepercayaan masyarakat ini dengan membangun sistem informasi dan data pangan yang kredibel untuk menghasilkan kebijakan pangan yang mumpuni. Beberapa langkah strategis yang bisa dilakukan adalah: Pertama, membentuk Pusat Data dan Informasi (Pusdatin) yang menyediakan data: harga dan distribusi pangan, kebutuhan ekspor dan impor pangan, cadangan pangan pemerintah, dan penetapan Harga Pembelian Pemerintah serta rafaksi harga sebagai amanat Perpres No. 66 Tahun 2021. Namun, tidak hanya data tersebut, Bapanas juga  setidaknya harus menyediakan informasi tentang: (a) jenis produk Pangan, (b) neraca Pangan (c) letak, luas wilayah, dan kawasan Produksi Pangan, (d) permintaan pasar, (e) peluang dan tantangan pasar, (f) produksi, (g) konsumsi, (h) status Gizi, (i)   perkiraan pasokan, (j) perkiraan musim tanam dan musim panen, (k)  prakiraan iklim, (l) teknologi Pangan; dan (m) kebutuhan Pangan Pusat dan daerah.

Kedua, memperkuat kerjasama dengan unit Pusdatin di berbagai K/L terkait untuk menghasilkan data pangan yang berkualitas, yang mengedepankan unsur akurasi, koherensi, relevansi, ketepatan waktu, kemudahan akses, dan keterbandingan, sebagai prasyarat yang harus dipenuhi untuk menuju satu data pangan. Melalui kerjasama tersebut, dibawah koordinasi BPS selaku Pembina bagi Pusdatin lintas K/L mendorong adanya standardisasi metodologi dan metadata sehingga data yang dihasilkan dapat memenuhi prinsip satu data yang bisa dibagipakaikan dengan mudah dan cepat antar sistem elektronik (online).

Ketiga, adanya political will dan dukungan dari para pemangku kepentingan mulai dari DPR, Kementerian Teknis, dan Lembaga dalam menyatukan visi dan misi tentang pentingnya satu data pangan yang berintegritas dan akuntabel

Jika semua proses tersebut berjalan lancar dan terimplementasi, keraguan berbagai pengamat terhadap data pangan akan tertepiskan dengan sendirinya. Yang pada akhirnya dengan data pangan yang sahih untuk menghasilkan kebijakan pangan yang mumpuni dan diimbangi peningkatan produksi pangan, maka kedaulatan pangan dan cita-cita menjadikan Indonesia lumbung pangan dunia bisa menjadi keniscayaan.***