Indonesia telah memutuskan untuk mengakhiri kerja sama (LoI) dengan Norwegia soal penurunan emisi gas rumah kaca dari degradasi dan deforestasi (REDD+). Pemutusan kerja sama berumur lebih dari 10 tahun itu terhitung 10 September 2021
Pengakhiran LoI disampaikan melalui Nota Diplomatik Indonesia kepada Kedutaan Besar Kerajaan Norwegia di Jakarta.
Indonesia memutuskan untuk mengakhiri LoI setelah Norwegia tak juga membayar kewajiban pembayaran result based payment (RBP). “Keputusan Pemerintah RI tersebut diambil melalui proses konsultasi intensif dan mempertimbangkan tidak adanya kemajuan konkret dalam implementasi kewajiban pemerintah Norwegia untuk merealisasikan pembayaran RBP atas realisasi pengurangan emisi Indonesia sebesar 11,2 juta ton CO2eq pada tahun 2016/2017, yang telah diverifikasi oleh lembaga internasional,” jelas Kemenlu dalam pernyataannya.
Dengan penurunan emisi sebanyak 11,2 juta ton CO2eq, seharusnya Norwegia menyalurkan dana RBP sebesar 56 juta dolar AS. Jumlah dana tersebut sesungguhnya juga sudah disetujui oleh Norwegia pada Mei 2020.
Dana tersebut menjadi bagian dari total sekitar 1 miliar dolar AS yang dijanjikan Norwegia jika Indonesia berhasil menurunkan emisi GRK dengan REDD+.
Padahal Indonesia sudah cukup banyak beraksi terkait LoI dengan Norwegia. Salah satu yang paling fenomenal adalah memoratorium izin baru di hutan primer dan lahan gambut. Belakangan, Indonesia bahkan menghentikan izin baru di lahan gambut secara permanen.
Meski kini LoI dengan Norwegia telah diakhiri, Indonesia memutuskan untuk meneruskan kebijakan menghentikan izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut.
Bagaimana update terkait kebijakan tersebut dan hal-hal yang terkait dengan tata kelola hutan, berikut petikan wawancara dengan Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Ruandha Agung Sugardiman, Jumat (24/9/2021).
Bagaimana update soal penghentian izin di hutan primer dan lahan gambut?
Ya, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) telah menerbitkan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan No. SK.5446/MENLHK-PKTL/ IPSDH/PLA.1/8/2021 tanggal 26 Agustus 2021 tentang Penetapan Peta Indikatif Penghentian Pemberian Perizinan Berusaha, Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan, atau Persetujuan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Baru pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut (PIPPIB) Tahun 2021 Periode II.
Penerbitan Surat Keputusan tersebut sejalan dengan Instruksi Presiden RI No 5 Tahun 2019 tentang Penghentian Pemberian Izin Baru dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut yang menginstruksikan kepada Menteri LHK untuk melakukan revisi PIPPIB setiap 6 bulan sekali setelah berkoordinasi dengan kementerian/lembaga pemerintah non kementerian terkait.
Ada penyesuaian nomenklatur sehingga penetapan PIPPIB mulai tahun 2021 Periode I menjadi Peta Indikatif Penghentian Pemberian Perizinan Berusaha, Persetujuan Penggunaan Kawasan Hutan, atau Persetujuan Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan Baru pada Hutan Alam Primer dan Lahan Gambut (PIPPIB). Ini mengikuti Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Kehutanan
PIPPIB Tahun 2021 Periode II ini sudah disesuaikan dengan nomenklatur UUCK sehingga betul-betul sudah mengakomodasi regulasi yang baru sehingga akan langsung efektif dalam kebijakan-kebijakan KLHK berikutnya.
Berapa luas PIPPIB yang baru?
PIPPIB Tahun 2021 Periode II disusun berdasarkan PIPPIB Tahun 2021 Periode I dengan mengakomodir pemutakhiran data pada enam bulan terakhir.
Dari hasil pemutakhiran data menunjukkan bahwa pada PIPPIB Tahun 2021 Periode II sebesar ±66.139.183 Ha, dimana sebelumnya areal PIPPIB Tahun 2021 Periode I seluas ±66.182.094 sehingga terdapat pengurangan luas areal sebesar ± 42.911 Ha.
Perubahan data ini terjadi karena adanya masukan data konfirmasi perizinan yang terbit sebelum Inpres No. 10 Tahun 2011, pemutakhiran data bidang tanah, perubahan tata ruang dan perubahan fungsi kawasan hutan, pemutakhiran perubahan peruntukan kawasan hutan, hasil survei lahan gambut, dan hasil survei hutan alam primer.
Kebijakan menghentikan izin di hutan alam primer dan gambut tidak bisa dilepaskan dari LoI dengan Norwegia. Sekarang LoI dengan Norwegia telah berakhir. Apa yang menjadi dasar penghentian izin baru di hutan alam primer dan gambut tetap dilanjutkan?
Ya karena Indonesia berkomitmen untuk menurunan emisi GRk dari deforestasi dan degradasi hutan. Apalagi, saat ini Indonesia telah mencanangkan Indonesia Folu Net Sink 2030, yang berarti nol emisi GRK dari hutan dan lahan sehingga dengan PIPPIB ini akan sangat signifikan dalam menjaga hutan-hutan primer kita yang masih ada sehingga betul-betul bisa mendukung dan membuat laju deforestasi di Indonesia ini akan semakin menurun.
Masih soal moratorium, yaitu moratorium sawit yang salah satu tujuanya adalah pengendalian emisi GRK juga. Kebijakan moratorium sawit sudah berakhir, bagaimana memastikan pengendalian GRK saat kebijakan itu sudah berakhir?
Inpres No 8/2018 memang sudah berakhir pada 19 September. Kita belum tahu apakah ada perpanjangan atau tidak. Namun tugas-tugas yang diamanatkan Presiden kepada Menteri LHK sudah berhasil dilakukan dengan baik.
Salah satu upaya yang dilakukan KLHK walaupun sekarang tidak ada Inpres 8/2018 atau kelanjutannya, kebijakan Ibu Menteri (LHK Siti Nurbaya) tetap akan menghentikan perizinan baru terkait pelepasan hutan baru untuk izin baru kebun sawit.
Mengapa Bu Menteri (LHK) berani melakukan kebijakan ini karena kita punya komitmen baru yaitu menuju Indonesia FoLu Netsink tahun 2030. PIPPIB dan meneruskan tugas Inpres 8/2018 ini terkait dengan dengan Indonesia FoLU Net Sink. Kebijakan ini diambil Bu menteri untuk dilanjutkan.
Sugiharto