Perbanyak KJA Untuk Perikanan Budidaya

General Manager PT Gani Arta Dwitunggal, Divisi AquaTec, Andi Jayaprawira Sunadim.

Indonesia boleh saja punya garis pantai yang panjangnya total  mencapai 95.000 kilometer (km) atau tiga kali lebih panjang dari Tiongkok yang hanya 30.000 km. Namun bicara perikanan budidaya yang berujung pada angka produksi, kita masih kalah jauh dari Negeri Tirai Bambu.

Data Organisasi Pangan dan Pertanian (Food and Agriculture Organization/FAO) mencatat pada 2015, produksi perikanan budidaya dunia didominasi Tiongkok dengan total produksi 47,6 juta ikan/tahun. Dengan total produksi 47,6 juta ton/tahun, Tiongkok memberikan kontribusi sebesar  60% dari total produksi ikan budidaya di dunia. Dari total produksi sebanyak 47,6 juta ton ini 30,6 juta ton berasal dari ikan air tawar, 15,6 juta ton berasal dari air laut dan sisanya berasal dari air payau.

Posisi kedua ditempati oleh Indonesia dengan total produksi 4,3 juta ton pada tahun yang sama,  2015. Dari total produksi sebanyak 4,3 juta ton, 2,9 juta ton berasal dari air tawar dan 1,3 juta ton berasal dari air laut, sedangkan sisanya berasal dari air payau.

Pemerintah cq Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) sebaiknya memperbanyak sarana keramba jaring apung (KJA) untuk meningkatkan produksi perikanan budidaya nasional.

Ini lah saran simpatik dari General Manager PT Gani Arta Dwitunggal, Divisi AquaTec,  Andi Jayaprawira Sunadim. Andi pun menganalogikan KJA dengan lahan pertanian untuk bercocok tanam. Menurutnya, jika pemerintah ingin meningkatkan produksi pertanian, tentunya harus membuka banyak lahan usaha tani baru.

“Untuk budidaya ikan, kalau mau meningkatkan produksi, KJA harus ditambah. KJA adalah lahan budidaya ikan di laut, perlu upaya perbanyakan lahan berupa KJA,” kata Andi, kelahiran Bandung, 2 September 1988 ini.

Untuk mengetahui seputar KJA sebagai sarana  untuk meningkatkan produksi perikanan budidaya khususnya laut, berikut penjelasan alumnus Sekolah Bisnis dan Manajemen Institut Teknologi Bandung kepada Agro Indonesia pekan lalu.

Seperti apa kondisi sarana perikanan Indonesia dibanding Tiongkok sampai ada ketimpangan angka produksi?

Dibanding dengan Tiongkok, jumlah KJA di Indonesia masih tertinggal jauh. Ada sekitar 1.500.000 KJA yang digunakan para pembudidaya di Tiongkok.  Sementara di Indonesia baru ada sekitar 30.000 KJA yang terdiri dari 15.000 KJA kayu dan 15.000 KJA modern dari High Density Polyethylene (HDPE). Kebetulan, KJA modern yang dimaksud adalah produk AquaTec yang selama ini dipercaya KKP dan sudah terdaftar di ekatalog.

Jumlah KJA di Tiongkok otomatis mendongkrak angka produksi yakni sekitar 47,6 juta ton ikan budidaya segar per tahun, 15,6 juta ton diantaranya berasal dari air laut (FAO, 2015). Sementara itu angka produksi ikan budidaya Indonesia 4,3 juta ton per tahun, 1,3 juta ton diantaranya berasal dari air laut (FAO, 2015).

Melihat dari panjang garis pantai yang dimiliki oleh masing-masing negara, angka tersebut kelihatan sangat timpang. Tiongkok memiliki 30.000 km garis pantai dan menghasilkan 15,6 juta ton ikan budidaya air laut pada tahun 2015.  Sedangkan Indonesia dengan panjang garis pantai 95.000 km menghasilkan 1,3 juta ton ikan budidaya air laut pada 2015.

Hal ini menunjukkan potensi perikanan budidaya laut pesisir Indonesia masih belum termanfaatkan secara maksimal dan masih banyak potensi ekonomi yang bisa digarap untuk kemakmuran rakyat Indonesia dari budidaya laut pesisir. Oleh karena itu pemanfaatan potensi budidaya laut pesisir ini perlu dimanfaatkan secara optimal oleh semua stakeholder.

Di luar sarana, apa faktor lain yang menghambat produksi perikanan budidaya laut?

Pemerintah Indonesia sangat suportif terhadap masyarakat dengan senantiasa memberikan bantuan  KJA, benih dan pakan kepada koperasi yang beranggotakan nelayan. Namun nelayan terbiasa hidup dari hari ke hari, mengandalkan pendapatan sehari untuk dipakai di hari yang sama. Ketika nelayan dijadikan anggota koperasi untuk mengurus budidaya ikan, banyak yang tidak siap dan putus di tengah jalan dan yang berhasil panen tidak memutar uang hasil panen untuk berinvestasi benih dan pakan untuk siklus berikutnya.

Hal ini yang mengakibatkan banyak keramba yang kosong atau mangkrak. Keramba dibiarkan dalam kondisi prima, namun tidak dipakai untuk budidaya ikan. Oleh karenanya, dibutuhkan sistem inti plasma yang dibina oleh pengusaha sehingga koperasi terbiasa untuk memutar modalnya dan membuat kegiatan budidaya ikan menjadi berkelanjutan. Nelayan perlu diberikan penyuluhan untuk membangun jiwa usaha mereka, sehingga usaha budidaya dapat berlangsung untuk jangka panjang dan terus berkembang.

Bagaimana dengan urusan investasi dan pemasaran yang kerap dikeluhkan pengusaha?

Pengusaha budidaya ikan di Indonesia membutuhkan kemudahan dari pemerintah dalam hal investasi dan pemasaran. Dari segi investasi, proses perizinan untuk membuka usaha budidaya ikan perlu dipermudah dan izin yang diberikan seperti hak guna lahan perairan perlu memiliki periode yang cukup, yaitu minimal 5 tahun. Dengan demikian, pengusaha memiliki kepastian hukum dan usaha, sehingga mampu berfokus pada kegiatan budidaya.

Dari segi pemasaran, pemerintah dapat membantu pengusaha budidaya ikan dengan meninjau kembali peraturan-peraturan yang memberatkan proses ekspor ikan ke luar negeri, dikarenakan banyak komoditas ikan di Indonesia yang harganya mahal hanya jika diekspor ke luar negeri dalam keadaan hidup, seperti contohnya ikan kerapu.

Ikan kerapu macan memiliki harga Rp130.000/kg dan ikan kerapu tikus memiliki harga Rp400.000/kg jika dijual dalam keadaan hidup ke Tiongkok. Namun, jika dijual di Indonesia, ikan kerapu hanya memiliki harga berkisar Rp50.000-70.000/kg. Untuk meminimalisir mortality rate dan meningkatkan ekspor, ikan kerapu perlu diambil langsung dari keramba ke perahu.

Selain itu batasan ukuran kapal asing pengambil ikan perlu dihilangkan untuk meningkatkan efisiensi transportasi dan jumlah pelabuhan tempat singgahnya kapal asing pengambil ikan perlu diperbanyak.

Kabarnya ada KJA AquaTec dengan teknologi terbaru yang dilirik Tiongkok. Bisa dijelaskan?

Saat ini AquaTec sudah mampu memproduksi KJA submersible, KJA offshore teknologi tinggi pertama di Asia. KJA submersible pertama kali dipasang di Lampung dan Bali. Setelah salah satu perusahaan Tiongkok meninjau produk KJA submersible tersebut, mereka membeli 1 unit untuk testing di Hainan. Setelah terpasang, KJA submersible AquaTec terbukti sukses dan perusahaan tersebut memutuskan untuk membeli 80 unit KJA submersible.

Idenya dari mana sehingga tercipta KJA submersible?

Inovasi KJA submersible berawal dari keprihatinan kami terhadap kondisi alam di laut lepas. Selain ombak besar, kegiatan budidaya dengan KJA juga rentan dengan terpaan badai typhoon. Belum lagi masalah plankton booming dan pencurian yang bisa terjadi kapan saja.

Oleh karena itu AquaTec menciptakan KJA submersible dengan sistem penenggelaman dan pengapungan dalam waktu yang sangat cepat. KJA submersible dapat ditenggelamkan sebelum badai datang dan diapungkan kembali setelah badai reda. Selama ditenggelamkan, KJA submersible aman dari ombak setinggi 11 meter. Hal yang sama dapat dilakukan untuk menghindari plankton booming dan pencurian. Cocok untuk pembudidaya yang ingin memanfaatkan potensi perikanan budidaya di laut lepas.

Fenny YL Budiman