Perluasan Lahan Jangan di Atas Kertas

Sudah bukan rahasia lagi, Indonesia dikenal dunia sebagai negara agraris. Bagaimana tidak, sebagian penduduknya sebagai petani. Namun sangat disayangkan jika saat ini masih ada impor untuk memenuhi kebutuhan pangan.

Sungguh ironis, jika melihat kondisi pangan di negara yang sebagaia besar penduduknya sebagai petani. Sebab hingga saat ini masih adanya impor yang masuk masih cukup besar.  Namun besarnya impor yang ada saat ini bukanlah tanpa sebab. Pertama, besarnya impor yang ada saat ini lebih karena produksi yang  belum mampu menutupi kebuhan. Kedua, tidak terpenuhinya produksi untuk memenuhi kebutuhan lebih karena terus berkurangnya areal tanaman.

Terbukti berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) bahwa setiap tahunnya luas areal tanaman terus berkurang hingga 100 ribu hektar. Alhasil, untuk memenuhi kebutuhan terpaksa harus dipenuhi dari impor. Artinya demand masih lebih tinggi dari suplay.

Melihat hal tersebut maka pemerintah dalam hal ini Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLH) akan memberikan lahan guna mendukung swasembada pangan dan mengangkat perekonomian petani khususnya didaerah perbatasan. Satu diantaranya yaitu pembukaan lahan seluas 1 juta hektar untuk petani perkebunan.

Namun, apakah hal tersebut bisa terealisasi? Sebab, jika menengok tahun lalu di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) rencana perluasan lahan seluas 500.000 hektare tidak teraralisasi bagaimana dengan saat ini yang dua kali lipat.

“Artinya jika ingin melakukan perluasan lahan lihatlah dahulu daerah mana saja yang memang ada. Jangan hanya mengajukan kebijakan diatas kertas saja tanpa melihat kondisi dilapangan,” jelas Herman Khaeron ketika dihubungi Agro Indonesia.

Hitung ulang

Bukan hanya itu, menurut Herman, jika pemerintah ingin membukan lahan untuk perkebunan kelapa sawit khususnya di daerah perbatasan harus dihitung ulang kembali. Jangan sampai perluasan lahan yang sudah dilakukan tapi justru tidak membawa manfaat bagi petaninya itu sendiri.

Contoh, jika membuka lahan kelapa sawit, apakah didaerah tersebut sudah ada industri hilirnya, setidaknya sudah ada pabrik kelapa sawit (PKS). Sebab jangan sampai petani sudah menghasilkan tandan buah segar (TBS) tapi tidak ada PKS yang berdiri di wilayah tersebut. Seperti diketahui, TBS setelah dipetik tidak boleh lebih dari 24 jam harus segera diolah atau diproses.

“Jangan sampai ada hasil tanamannya tapi industrinya tidak ada, maka hal ini justru akan menambah cost produksi, karena jika industri jauh dari lokasi bahan baku maka biaya pengiriman otomatis akan diatanggung oleh petani,” risau Herman.

Lebih dari itu, Herman mengkhawatirkan jika pemerintah membangun lahan tapi tidak membangun industri olahan khususnya didaerah perbatasan maka dikhawatirkan hasil dari petani tersebut akan berpotensi adanya penjualan ilegal ke negara sebelah.

Bagaimana tidak, setelah petani mendapatkan buah dari tanaman, maka petani otomatis akan langsung menjual hasilnya untuk memutar roda perekonomiannya. Sehingga mau tidak mau maka untuk segera mendapatkan hasil petani akan menjual dimana ada industri yang mau mengolahnya.

Melihat hal tersebut, maka disarankan jika pemerintah ingin membuka lahan perkebunan kelapa sawit di daerah perbatasan, maka pemerintah juga harus membangun PKS-nya juga. Dengan begitu, maka petani tidak perlu berpikir kemana harus menjualnya.

Tidak hanya itu, sebaiknya pemerintah jika ingin membuka lahan perkebunan maka pemerintah harus menggandeng perusahaan. Perusahaan tidak hanya sebagai penerima hasil dari petani tapi juga sebagai bapak dari petani.

“Jadi, jika pemerintah ingin membuka lahan maka pemerintah juga harus membangun industrinya. Kemudian pemerintah juga harus menggunakan metode inti plasma jika ingin membuka lahan perkebunan di daerah perbatasan,” saran Herman.

Oleh karena itu, Herman mengimbau jika pemerintah tidak bisa membangun industrinya atau hanya membangun perkebunannya saja, maka alangkah baiknya jika pembangunan lahan perkebunan kelapa sawit dialihkan ke pembangunan peternakan sapi potong.  Sebab, di daerah perbatasan pernah ditemukan bahwa sebuah kelapa keluarga (KK) memiliki 20 ekor sapi potong.

Sapi potong

Melihat pengalaman tersebut, alangkah baiknya pembangunan daerah perbatasan diisi dengan peternakan sapi potong, sebab hal tersebut bisa juga untuk mendukung swasembada daging sapi. Jadi, alangkah baiknya jika pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit didaerah perbatasan diganti dengan pembangunan peternakan sapi. Idealnya 1 orang KK diberikan 10 ekor sapi.

“Peternakan sapi lebih cocok di daerah perbatasan karena daerah tersebut masih terdapat hamparan lahan hijau. Sehingga petani tidak perlu merasakhawatir untuk mencari pakannya,” ujar Herman.

Sementara itu, menurut Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman menyambut baik jika ada pembukaan lahan untuk pertanian, khususnya di daerah perbatasan. Namun, diakuinya untuk proses tersebut tidaklah mudah, meski tetap harus dilakukan guna meningkatkan produksi.

“Jadi, untuk pembangunan lahan di daerah perbatasan, kemungkinan akhir tahun ini administrasinya sudah selesai,” janji Amran.

Hal senada dikatakan Gamal Nasir, Direktur Jenderal Perekbunan Kementerian Pertanian, bahwa pihaknya penyambut baik dengan adanya pembangunan lahan perkebunan kelapa sawit di daerah perbatasan. Sebab, dengan adanya pembangunan lahan perkebunan kelapa sawit diperbatasan, otomatis akan meningkatkan produksi nasional crude palm oil (CPO).

Seperti diketahui, permintaan CPO setiap tahunnya terus meningkat, baik di dalam negeri ataupun luar negeri. Bahkan, saat ini pemerintah sedang menggalakan gerakan energi terbarukan guna mengurangi impor bahan bakar minyak (BBM) yang setiap tahunnya terus meningkat.

Adapun pembangunan perkebunan kelapa sawit diperbatasan ini menggunakan pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR). Pola tersebut dianggap ideal karena petani selaku pemilik lahan didampingi dengan perusahaan selaku penerima hasil panen. Namun, berbeda dengan pola sebelumnya, jika dahulu masyarakat mendapatkan lahan seluas 2 ha untuk setiap KK, maka pembangunan perkebunan kelapa sawit di perbatasan ini setiap KK akan mendapatkan lahan seluas 4 ha.

“Jadi, pembangunan perkebunan kelapa sawit di daerah perbatasan ini setiap KK akan mendapatkan lahan seluas 4 ha. Hal ini dilakukan agar produksi CPO bisa lebih besar lagi,” terang Gamal.

Selain pemberian lahan, Gamal menerangkan, terkait untuk benih dan pupuknya pemerintah akan membicarakan lebih lanjut. “Jadi, saat ini baru wacana pemberian lahan seluas 4 ha untuk masyarakat. Sedangkan untuk bantuan benih dan pupuknya akan dibicarakan lebih lanjut,” tambah Gamal.

Lebih lanjut, Gamal menegaskan, agar tidak terjadi konflik untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit di daerah perbatasan, maka pemberian lahan tersebut dilakukan oleh Bupati atau Pemerintah Daerah (Pemda) dengan menggandengn investor. Sengaja Pemda yang akan memberikan lahan karena Pemda lebih menguasai kondisi masyarakatnya. Yuwono/Jamalzen