Plastik, Riwayatmu Kini

Sampah di perut Paus Sperma (Physeter macrocephalus) yang ditemukan mati terdampar di perairan Pulau Kapota, Resort Wangi-Wangi, Taman Nasional (TN) Wakatobi, Sulawesi Tenggara. (foto: istimewa)
Hermudananto

Oleh: Hermudananto (Dosen Kehutanan di Universitas Gadjah Mada; Alumnus University of Florida (Master)–USAID PRESTASI; Mahasiswa University of Florida (PhD)–LPDP BUDI-LN)

MMasih teringat dengan jelas November 2018 silam kejadian ikan paus jenis Sperm Whale yang mati terdampar di perairan Desa Kapota, Kecamatan Wangiwangi, Wakatobi, Sulawesi Tenggara dikarenakan sampah plastik.

Tidak tanggung-tanggung di perutnya ditemukan berbagai macam sampah plastik seberat 6 kg mulai dari gelas minuman, kantong kresek, bungkus mi instan, tali raffia, penutup galon, dan sampah plastik lainnya yang beracun dan tidak dapat diurai di dalam perut paus tersebut. Kejadian ini tidak jauh beda dengan yang dialami oleh seekor penyu berjenis Lekang yang juga ditemukan mati di kawasan Pantai Congot, Kecamatan Temon, Kabupaten Kulonprogo, Daerah Istimewa Yogyakarta, pada tahun yang sama.

Plastik tidak hanya beracun, tapi juga berbahaya bagi lingkungan kita. Limbah plastik yang dibuang sembarangan tidak hanya dapat menyumbat saluran air, tetapi juga termakan oleh mahluk hidup di daratan atau lautan.

Limbah ini juga sangat sulit terurai oleh mikroorganisme atau membutuhkan waktu yang cukup lama, bahkan hingga ratusan tahun. Pengelolaan cepat limbah plastik dengan cara dibakar pun juga memberikan dampak yang tidak sedikit. Selain gangguan pernapasan dan kesehatan mahluk hidup, hal ini juga dapat mencemari udara serta berkontribusi peningkatan emisi karbon yang berdampak pada perubahan iklim dunia.

Krisis polusi plastik ini sekarang sudah menjadi permasalahan global. Geyer beserta kolega dalam artikelnya berjudul Production, use, and fate of all plastics ever made mengemukakan fakta mengejutkan bahwa selama 65 tahun belakangan ini, produksi plastik tahunan meningkat hampir 200 kali lipat menjadi 381 juta metrik ton pada tahun 2015 dari tahun 1950 sebelumnya yang hanya memproduksi sampah plastik 2 juta metrik ton, dimana 38% penggunaan plastik untuk pengemasan produk.

Dapat dibayangkan limbah plastik yang akan dihasilkan dari produksi sebanyak itu. Data yang disampaikan oleh Dr. Jenna Jambeck dan tim tahun 2015 dalam artikelnya berjudul Plastic waste inputs from land into the ocean menyebutkan bahwa 275 juta metrik ton limbah plastik yang dihasilkan di 192 negara pesisir pada tahun 2010, sebanyak 4,8 hingga 12,7 juta metrik ton telah mencemari lautan.

Hal senada juga disampaikan oleh Royal Statistical Society, komunitas yang didirikan pada tahun 1834 di London, membeberkan data terbarunya tahun 2018 bahwa hanya sekitar 9% dari semua limbah plastik yang pernah dihasilkan (6.300 juta metrik ton) yang dapat didaur ulang, sisanya yaitu dibakar, terakumulasi di tempat pembuangan akhir, atau tersebar di daratan dan lautan.

Bagaimana dengan posisi Indonesia? The World Bank serta Dr. Jenna Jambeck dan tim menobatkan Indonesia sebagai negara kedua di dunia sebagai penghasil limbah plastik terbesar kedua setelah Tiongkok.

Beberapa fakta juga disampaikan oleh Asosiasi Industri Plastik Indonesia (INAPLAS) dan Badan Pusat Statistik (BPS), bahwa limbah plastik di Indonesia mencapai 64 juta metrik ton per tahun dimana sebanyak 3,2 juta metrik ton diantaranya dibuang ke laut, sehingga perlu penanganan yang sangat serius dari pemerintah dan seluruh elemen masyarakat untuk memperbaiki lingkungan, serta citra Indonesia di mata dunia ke depannya.

Kebijakan dan program untuk penanganan limbah plastik terus diupayakan oleh pemerintah Indonesia. Salah satunya tertuang dalam Peraturan Presiden No. 97 Tahun 2017 tentang pengelolaan sampah untuk mengurangi limbah plastik sebanyak 30%, serta menanganinya hingga 70% pada tahun 2025.

Dukungan datang dari beberapa Kementerian, seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan juga mengharuskan pengolahan sampah berupa pengurangan limbah plastik dengan Gerakan Indonesia Bersih yang dicanangkan pada tanggal 21 Februari 2019. Sejumlah Kementerian lainnya pun juga senada untuk mengurangi limbah plastik dengan mengeluarkan beberapa Instruksi serupa, seperti Kementerian Kelautan dan Perikanan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Keuangan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.

Baru-baru ini, di lingkungan pendidikan juga telah terbit instruksi dari Kementerian Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia berupa larangan penggunaan kemasan air minum berbahan plastik sekali pakai dan/atau kantong plastik yang berlaku mulai tanggal 25 Juni 2019. Konsekuensinya, kegiatan-kegiatan seperti rapat, pelatihan, seminar, workshop, konferensi, atau kegiatan sejenisnya yang selama ini mayoritas menggunakan air minum dengan kemasan plastik harus dialihkan dengan penggunaan dispenser yang menggunakan gelas untuk air minum.

Tidak hanya dalam hal itu saja, kantin yang menyediakan berbagai macam jenis makan dan minuman pun turut menjadi sasaran instruksi ini agar dapat menggunakan bahan organik yang mudah terurai. Termasuk juga penggunaan spanduk, backdrop, baliho, atau media iklan berbahan plastik lainnya pun juga harus dikurangi dan beralih ke bahan yang lebih ramah lingkungan.

Laporan Kemenristekdikti tahun 2018 saja menginformasikan bahwa jumlah dosen di seluruh Indonesia hampir 300 ribu (belum termasuk tenaga pendidik) dengan jumlah mahasiswa sebayak 8 juta lebih dari 4.670 perguruan tinggi yang ada. Jumlah ini belum termasuk data sumber daya manusia yang berada di sekolah-sekolah, seperti SD, SMP, atau SMA. Dapat dibayangkan, jika instruksi ini benar-benar dilaksanakan dengan baik dan konsisten, maka akan banyak potensi limbah plastik yang dapat dikurangi oleh pihak-pihak yang terlibat dalam lingkungan pendidikan ini.

Setidaknya sudah ada 12 kota yang telah atau sedang merumuskan kebijakan larangan penggunaan plastik sekali pakai. Di Kalimantan, pemerintah daerah mengeluarkan Peraturan Wali Kota Balikpapan No 8 Tahun 2018 tentang pengurangan penggunaan kantong plastik.

Di Sumatra, pemerintah daerah disana juga menerbitkan Peraturan Wali Kota Jambi no 54 tahun 2018 tentang kebijakan strategis daerah tentang pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenisnya. Di Bali, penggunaan kantong plastik di toko-toko modern dan pusat perbelanjaan sudah dilarang sejak 1 Januari 2019 dengan dasar Peraturan Wali Kota Denpasar No 36 Tahun 2018 tentang pengurangan penggunaan kantong plastik. Serta di pemerintah daerah Jawa Barat mengeluarkan Peraturan Wali Kota Bogor Nomor 61 tahun 2018 tentang pengurangan penggunaan kantong plastik.

Aturan ini sementara masih diberlakukan untuk pertokoan besar, seperti Carrefour, Hypermart, Hero Group, sehingga jangan berharap jika kita berbelanja di supermarket tersebut untuk mendapatkan kantong plastik sekali pakai untuk mengemas belanjaan kita. Bahkan, Asosiasi Pengusaha Ritel Indonesia (Aprindo) juga memberlakukan kebijakan kantong plastik berbayar Rp 200 per lembar di gerai retail modern sejak 1 Maret 2019.

Upaya pengurangan limbah plastik pun juga turut disuarakan belum lama ini oleh Ibu Negara Republik Indonesia, Iriana Jokowi, saat menghadiri KTT G20 di Osaka, Jepang, yang dihadiri oleh ke-20 negara anggota termasuk 17 tamu undangan pada bulan Juni 2019 yang lalu. Ibu negara menjelaskan dengan lugasnya bahwa beliau terjun langsung ke lapangan untuk memungut limbah plastik dengan melibatkan juga anak-anak pramuka, serta bekerjasama dengan beberapa organisasi terkait di Indonesia pada Hari Peduli Sampah Nasional. Semangat ini tentu saja akan menginsiprasi banyak pihak untuk menjaga lingkungan dari limbah plastik.

Meminimalisir penggunaan plastik dari hal-hal sederhana. Saya memulainya dengan membawa Tumbler kemanapun saya pergi beraktifitas. Selain irit karena tidak perlu membeli minuman lagi ketika dahaga ini menghampiri, tentu saja saya tidak berkontribusi dalam menambah limbah plastik.

Kebiasaan ini bukan karena saya seorang dosen Kehutanan yang memperhatikan isu lingkungan, tapi lebih karena pengaruh lingkungan saat saya sedang mengambil master di University of Florida tahun 2015 silam. Tas-tas souvenir Goodie Bag dari seminar, workshop, atau konferensi yang pernah saya ikuti sebelumnya saya kumpulkan untuk saya pergunakan kembali biasanya saat berbelanja di supermarket atau membawa barang-barang tertentu, sehingga saya tidak memerlukan kantong plastik kembali.

Tidak hanya itu, kebiasaan membawa bekal makanan dari rumah ke kantor menggunakan tempat makanan juga kami upayakan untuk menekan penggunaan plastik dari konsumsi produk dengan kemasan tersebut, tidak hanya saya, tetapi juga istri dan anak-anak saya ketika mereka pergi ke sekolah.

Meskipun sesekali jajan makanan di luar, namun paling tidak upaya ini turut membantu kelestarian lingkungan kita. Saya berharap kebiasaan ini dapat memberikan inspirasi bagi orang-orang di sekitar saya, setidaknya saya sudah memulainya di dalam keluarga saya.

Kebijakan dan regulasi mengenai pengurangan penggunaan plastik itu perlu, namun lingkungan sekitar juga akan membantu memotivasi kita untuk mengurangi limbah plastik kedepannya.

Monitoring dan pengawasan berkala dari pemerintah untuk implementasi aturan-aturan yang sudah ditetapkan perlu lebih sering dilakukan untuk mewujudkan tujuan tersebut, dimulai dari sosialisasi berkala kepada masyarakat Indonesia yang terdiri dari 267 juta jiwa yang tersebar di berbagai pelosok penjuru nusantara ini.