Pendekatan Ekonomi untuk Memberantas Kegiatan Ilegal?

Pembukaan hutan untuk perkebunan sawit (Ilustrasi)
Lisman Sumardjani

Oleh: Lisman Sumardjani (Pengamat dan praktisi Kehutanan. Pernah menjadi Direktur di perusahaan Restorasi Ekosistem, Direktur Eksekutif  dan Sekertaris Jenderal di asosiasi industri kehutanan. Pendiri Yayasan Mangrove Indonesia, Yayasan Bumi Indonesia Hijau dan Yayasan Rotan Indonesia)

MMengapa orang melakukan perambahan hutan? Karena menguntungkan. Apakah mereka menanam sawit setelah membabat hutan negara secara ilegal karena cinta pohon sawit?  Bukan! Karena hasil dari kebun sawit ini bisa memberikan keuntungan ekonomi.  Mengapa tidak menanam karet?  Karena hasil karet tidak memberikan keuntungan.  Mengapa mereka mengaduk-ngaduk lahan hutan dan menjadi PETI (penambang emas tanpa ijin) – walau dilarang, dikejar-kejar aparat, dan bisa terkubur hidup-hidup?  Karena setelah dihitung-hitung, hasilnya, yaitu emas, tetap menguntungkan.  Mengapa melakukan illegal logging? Karena menguntungkan!

Jargon crime does not pay, sepertinya tidak berlaku. Yang berlaku crime does pay!  Padahal maksud dari jargon “kejahatan itu tidak menguntungkan” adalah mendorong moralitas masyarakat agar tidak melakukan kejahatan. Mengatakan bahwa perbuatan jahat dan kriminal akan menyebabkan masuk neraka, sepertinya terlalu jauh, apalagi buat manusia yang semakin materialistis, yang dasar dari setiap perilakunya adalah perhitungan untung-rugi. Jargon crime does not pay yang muncul pertama kali di tahun 1860 di Majalah UK Law Magazine & Law Review, rupanya merupakan antitesa dari kondisi kemakmuran di Era Victoria, Inggris pada periode 1837-1901. Sebagian masyarakatnya ingin turut menikmati kemakmuran melalui cara-cara apapun termasuk cara ilegal dan kriminal.  Dan hal ini masih berlangsung hingga hari ini, bahkan merasuki para pelaku perambahan dan ilegal di hutan Indonesia.

Jadi bagaimana caranya menghentikan perambahan dan kegiatan ilegal di hutan? Karena perilaku mereka itu didorong oleh pertimbangan ekonomi, maka kegiatan ilegal ini harus dipahami sebagai kegiatan ekonomi, sehingga untuk menghentikannyapun  harus juga melalui pertimbangan ekonomi.

Untuk memahaminya  mari kita fokus kepada perambahan hutan untuk membuka kebun sawit.  Dari pengamatan, seorang perambah hutan kelas teri yang ingin punya kebun sawit minimal harus punya modal Rp40 juta untuk 2 hektare (ha) kebun.  Harapannya dalam 10 tahun uang Rp40 juta tadi sudah akan kembali.  Walau ada juga perambah kelas kakap bermodal kuat yang ingin punya kebun sawit kelas bisnis seluas 200 ha, maka harus menyiapkan dana minimal Rp4 miliar. Perambah sekelas merekalah yang berani membawa eskavator dan alat berat lainnya masuk ke hutan dan melakukan kegiatan ilegal.

Mereka tahu bahwa kegiatannya perambahan hutan itu ilegal dan beresiko tapi selama ini usaha ini aman-aman saja.  Ini adalah uang investasi bisnis yang diyakini aman dan bisa kembali secara menguntungkan.  Bila uangnya berisiko hilang  perambahan tidak akan dilakukan.  Siapa yang mau masuk penjara sampai 10  tahun dan didenda Rp5 miliar sebagaimana diatur di UU No 18 Tahun 2013?

Menghadapi perilaku ekonomi perambah hutan seperti ini, maka  Strategi Pertama yang dilakukan adalah menangani para perambah langsung di lapangan dan membawa kasusnya melalui jalur hukum. Bibit sawit dicabuti dan gubuknya dirusak.  Targetnya adalah membuat perambah rugi.  Bila merambah merugikan, asumsinya mereka akan kapok.  Namun dibalik perambah ternyata ada kelompok LSM dengan jaringan internasional.  Mereka melakukan serangan balik secara taktis. Kasus pencabutan bibit sawit dan pembakaran satu perambah dibawa-bawa sampai ke fora international COP di Bonn sebagai pembakaran rumah dan pelanggaran HAM masyarakat adat.

Dalam melakukan perambahan, pebisnis ilegal ini menggunakan masyarakat adat sebagai tameng atau menggunakan orang yang mengaku bagian atau keturunan masyarakat adat.  Sepertinya mereka melakukan perambahan di lahan adat mereka, namun kemudian lahan itu dijual dan diserahkan kepada pemodal.  Tak ada masyarakat adat yang memiliki kebun sawit. Tentunya masyarakat adat tidak punya modal Rp40 juta atau Rp4 miliar kan?

Kemudian karena perusahaan konsesi kehutanan tidak mempunyai legalitas hukum untuk menangkap pelaku kegiatan ilegal dan memprosesnya di jalur hukum sampai tuntas, maka hal tersebut harus dilakukan oleh aparat berwenang. Namun mengingat keterbatasan dana di pihak aparat, maka diperlukan dukungan anggaran mobilisasi dan operasional.  Agar satu kasus mulai dari penangkapan, penyidikan, penuntutan dan sampai ke pengadilan  diperlukan dukungan biaya operasional sampai Rp100 juta atau lebih.  Padahal kasus ini bisa saja terjadi setiap minggu.  Sementara Direktorat Jenderal Penegakan Hukum KLHK hanya punya anggaran tidak sampai Rp2 miliar setahun untuk menangani kasus di seluruh Indonesia.

Untuk memberantas kegiatan satu perambahan yang bermodal Rp40 juta, ternyata memerlukan biaya hampir Rp 100 juta untuk tuntas. Tidak heran bila kemudian pemberantasan kegiatan ilegal tidak bisa dituntaskan.  Sampai saat ini di Hutan Harapan, Jambi, salah satu areal Restorasi Ekosistem, terdapat perambahan kebun sawit seluas 10.508 ha (dari total areal konsesi seluas 98.555 ha) dan setengahnya sudah mulai panen.  Areal itu menghasilkan uang sejumlah Rp133,6 miliar setahunnya.  Ironisnya perusahaan yang mengelola areal tersebut bersusah payah menyediakan biaya operasional sejumlah sekitar 1,5 juta dolar AS atau Rp21 miliar. Padahal ada kegiatan ilegal dari arealnya yang menghasilkan uang 6 kali lebih banyak.

Bagaimana perusahaan yang tidak punya kemampuan bisa berhadapan dengan para pelanggar aturan yang setiap tahunnya menghasilkan uang minimal 10 juta dolar AS? Karena punya uang banyak itulah, maka para pembalak liar dan perambah sering lebih galak.  Bila ada pelaku ditangkap,  malam hari para pelaku menyerbu camp dan menculik karyawan perusahaan.  Perilaku yang hanya bisa dijumpai di film Narco di Mexico atau Kolombia.

Strategi kedua adalah menutup sumber uang para perambah.  Salah satu alasan ramainya perambahan hutan di lanskap Hutan Harapan adalah karena di sini terdapat infrastruktur industri sawit yang lengkap. Terdapat puluhan RAM, pedagang antara Pabrik Kelapa Sawit (PKS) dan petani sawit. Petani menjual TBS (Tandan Buah Segar) ke RAM dan RAM-lah yang menjual TBS ke 7 PKS yang ada.  Kontan, tak ada pertanyaan legalitas TBS atau  kebun penghasil TBS.

Dari 7 PKS itu, satu milik BUMN, dan yang sangat gawat ada 2 PKS yang tidak punya kebun sama sekali.  Sangat mudah ditebak dua PKS ini akan mendorong meluasnya kebun sawit, agar pabriknya bisa terus berproduksi, tanpa mempedulikan dimana lokasi kebun,  legal atau tidak. Saat keluhan disampaikan ke BKPMD Provinsi Jambi mengapa PKS tanpa kebun bisa diijinkan, jawabannya adalah tak bisa melarang investasi meski menyatakan akan mempertimbangkan fenomena itu ke depan.

Dari 7 PKS itu, satu PKS milik PTPN anggota RSPO dan satu anggota ISPO. Keluhan dengan bukti-bukti perihal pabrik menerima TBS dari kebun ilegal, telah dikirim ke kedua organisasi tadi.  ISPO berjanji akan memperbaiki mekanisme sertifikasinya dan RSPO telah menegur PTPN dimaksud, namun dengan alasan pabrik yang menerima TBS dari perambah sedang direnovasi sehingga tidak ada tindak lanjutnya. Ketujuh PKS tadi masih menerima TBS dari kebun sawit perambahan.

Padahal kalau saja PKS itu tidak membeli TBS yang dipanen di areal perambahan, maka tidak ada lagi orang yang tertarik merambah hutan untuk perkebunan sawit.  Siapa yang mau investasi keluar uang, bila hasil panennya tidak ada yang beli?  Namun itu bagai panggang jauh dari api.  PKS mendapatkan untung dari jual beli TBS ilegal.  Kalau saja PKS mengambil untung 20%, maka ketujuh PKS tadi setiap tahunnya mereka mendapatkan untung sebesar Rp26,7 miliar setahun dari kebun sawit ilegal. Diperlukan kekuatan pemaksa besar  agar mereka mau kehilangan Rp26,7 miliar setahun sebagai ganti utuhnya hutan.  Tanpa itu, selama mereka mendapat untung, mereka tidak peduli dengan rusaknya hutan.

Menambah kompleksitas perambahan hutan ini, ternyata perbankan ikut berperan membiayai kegiatan ilegal ini dan ingin mendapatkan sebagian kue keuntungan. BRI dan Swamitra (ada kaitan dengan BUKOPIN) memberikan pinjaman kepada petani sawit tanpa mempedulikan dimana mereka berkebun.  Surat keterangan yang dijadikan pegangan oleh bank adalah “SPORADIK (Surat Pernyataan Penguasaan Fisik Bidang Tanah) yang dikeluarkan kepala desa. Walaupun sudah dilarang oleh pemda kabupaten, namun karena mendapatkan manfaat finansial, Sporadik ini masih saja beredar dan bisa dijadikan agunan ke bank.  Artinya siapapun bisa punya akses ke permodalan perbankan dan punya modal untuk melakukan perambahan hutan.

Berdasarkan analisis di atas, terlihat bahwa salah satu cara terbaik untuk menghentikan kegiatan ilegal di hutan adalah dengan menutup uang atau penghasilan. Mereka tahu kegiatan ilegal itu berisiko, namun tetap dilakukan karena dianggap menguntungkan.  Satu-satunya motivasi merusak hutan adalah uang.  Mereka akan berhenti melakukan kegiatan ilegal bila mereka sudah tidak mendapat untung dari kegiatan itu.

Untuk memberantas illegal logging,  pastikan tidak ada orang yang membeli kayu ilegal.  Tidak ada kilang kayu, tidak ada industri pengolahan kayu, dan juga tidak ada konsumen akhir perumahan yang menggunakan kayu ilegal.  SVLK dibuat untuk ini. Memberantas perambahan hutan untuk kebun sawit,  pastikan tidak ada satupun dari 608 PKS di Indonesia  yang membeli TBS dari kebun ilegal. Memberantas illegal mining pastikan produknya tidak ada yang membeli.  Memberantas perburuan penangkapan satwa liar, pastikan tidak ada pasar burung atau hewan yang memperjual belikan.

Semua produk dari kegiatan ilegal di hutan adalah komoditas yang diperjual belikan.  Tutup pasarnya,  tutup sumber uangnya, maka kegiatan ilegal akan berhenti. Siapa yang mau melakukan kegiatan ilegal di hutan kalau itu tidak menghasilkan uang dan merugikan?