Ekstensifikasi tanaman tebu memang sulit ditawar. Apalagi, produksi gula kristal putih (GKP) tahun ini diprediksi malah menurun dan berpotensi besar menambah jumlah impor, selain raw sugar untuk gula kristal rafinasi (GKR) untuk kepentingan industri yang memang masih tergantung dari impor.
Penurunan itu terlihat dari hasil taksasi (perkiraan) produksi GKP tahun ini yang menurun dibandingkan tahun lalu. Salah satu penyebab penurunan adalah iklim yang tidak mendukung serta masalah klasik masih rendahnya rendemen tanaman tebu.
“Produksi gula tahun ini turun dibandingkan tahun lalu,” kata Pelaksana Harian (Plh) Direktur Tanaman Semusim dan Rempah, Ditjen Perkebunan Gde Wirasuta kepada Agro Indonesia di Jakarta, Jumat (25/8/2016).
Data Ditjen Perkebunan Kementan mencatat, produksi gula pada tahun 2014 sebanyak 2,579 juta ton. Tahun 2015 produksi gula turun menjadi 2,497 juta ton. Tahun 2016, produksi gula juga mengalami penurunan menjadi 2,40 juta ton. “Penurunan produksi tahun ini karena faktor iklim. Selain itu, areal tanaman tebu juga mengalami penurunan,” katanya.
Luas areal tanaman tebu tahun 2016 mencapai 451.128 ha dengan produktivitas 73,3 ton/ha dan rendemen 7,04%. Taksasi produksi mencapai 2.327.294 ton.
Disebutkan, dari luas areal 451.128 ha tercatat areal tanaman tebu pabrik gula Badan Usaha Milik Negara (BUMN) seluas 257.424 ha dengan produksi 1.305.560 ton. Sedangkan luas areal tanaman tebu milik pabrik gula swasta hanya 193.700 ha dengan produksi 1.021.734 ton.
Gde Wirasuta mengatakan, Pulau Jawa sudah sulit untuk dilakukan perluasan tanaman tebu karena lahan pertanian sangat terbatas. Jika ada investor yang ingin investasi pada membangun industri gula, maka diarahkan ke luar Jawa.
“Di luar Jawa lahan masih tersedia cukup banyak. Namun, pembangunan industri gula harus disesuaikan dengan sarana dan prasarana yang ada di wilayah tersebut,” ungkapnya.
Untuk Pulau Jawa sebenarnya sudah tidak layak lagi dibangun pabrik gula yang baru, karena persaingan lahan dengan komoditas yang lain sudah sudah cukup ketat. “Di Jawa sulit mencari lahan untuk tanaman tebu. Persaingan dengan komoditas pertanian lain yang mempunyai nilai jual tinggi sangat ketat,” katanya.
Namun, ketika ditanya bahwa pihak Perhutani menyediakan lahan untuk tanaman tebu, Gde Wirasuta mengatakan, sampai sekarang belum ada kelanjutan kerjasama. “Kalau di tingkat atas beres, belum tentu di level bawah beres. Kejadian yang kita alami selama ini memang begitu,” tegasnya.
Luar Jawa
Menurut dia, jika penambahan luas areal tanaman tebu tidak ada penambahan yang signifikan, maka Indonesia sulit untuk memenuhi kebutuhan gula konsumsi masyarakat. “Tahun 2019 kita targetkan pemenuhan kebutuhan gula konsumsi masyarakat sebanyak 3,2 juta ton. Jika ditambah dengan kebutuhan industri makanan dan minuman, maka kita butuh produksi 5,7 juta ton,” katanya.
Dia menambahkan, untuk mencapai produksi sebanyak itu, kebutuhan lahan menjadi mutlak. Persoalannya, lahan tidak tersedia, terutama di Jawa. Selain itu, usia PG yang tua, menjadi tidak efisien.
Perum Perhutani sendiri menyatakan ada lahan yang siap untuk tanaman tebu sekitar 62.000 ha. Sampai dengan minggu kemarin, belum ada tindak lanjut untuk menggarap lahan yang disediakan Perhutani. “Mudah-mudahn saja lahan itu bisa dimanfaatkan untuk tanaman tebu di Jawa,” katanya.
Tetapi, lanjut Gde Wirasuta, untuk memacu produksi gula nasional, maka pengembangan pabrik gula baru harus dilakukan di luar Jawa, karena lahan masih tersedia cukup luas.
“Lahan di luar Pulau Jawa masih tersedia cukup luas. Untuk luar Jawa, kita membutuhkan tambahan areal tanaman sekitar 630.000 hektare. Areal ini kalau tersedia bisa untuk pabrik baru atau penambahan luas areal pabrik yang ada sekarang ini,” ungkapnya.
Kementan menargetkan swasembada gula tahun 2017, maka dicanangkan produksi tebu 100 ton/ha dengan rendemen 10%. Hal ini sudah bisa dicapai oleh beberapa petani di Jawa Timur dan akan dijadikan percontohan.
Menteri Pertanian Amran Sulaiman pernah mengatakan, untuk memperluas lahan di Jawa akan dilaksanakan kerjasama dengan menggunakan lahan Perum Perhutani. Untuk ekspansi lahan di luar Jawa sudah ada kerjasama antara Menteri BUMN, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Kementerian Pertanian, Perum Perhutani dan Asoiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI).
Sedikitnya ada alokasi lahan 2 juta ha terdiri dari 1 juta ha untuk peternakan sapi, 500.000 ha untuk tebu dan 500.000 ha untuk jagung. “Sekarang masih dikaji lahan mana saja yang agroklimatnya cocok. Kemungkinan besar menggunakan lahan di Sulawesi Tenggara yang sangat cocok untuk tebu,” katanya.
Gde Wirasuta menyebutkan jika mau mencapai swasembada gula perlu tambahan lahan paling sedikit 350.000 ha. Saat ini luas areal tanam tebu sekitar 451.128 ha. Tambahan luas areal yang cukup tersedia di luar pulau Jawa.
“Jika luas areal tanaman ditambah dan rendemen tanaman naik menjadi 10%, maka kita akan berswasembada gula,” ungkapnya. Namun, untuk sementara ini rendemen tanaman cenderung turun. Tahun ini saja rendemen hanya 7%.
Pemerintah dalam waktu dekat ini siap membangun sedikitnya 10 unit PG baru, sebagai upaya untuk mendongkrak swasembada gula. Pembangunan pabrik ini rencananya akan dilakukan secara bertahap di beberapa lokasi di luar Pulau Jawa, seperti Sulawesi Tenggara, Sulawesi Selatan, Gorontalo, Merauke, Aceh, Sumatera Selatan dan Lampung. “Pabrik akan dibangun secara bertahap denga kapasitas total pabrik baru mencapai 30.000 ton cane per day (TCD),” katanya.
Tahap pertama dimulai pada tahun 2015, di mana akan dibangun tiga pabrik gula baru. Data Kementan menyebutkan, saat ini sudah ada dua perusahaan yang sudah memiliki izin pembangunan dan dalam proses pembebasan lahan, yaitu PT Pratama Nusantara Sakti dan PT Kilau Indah Cemerlang. Jamalzen
Investor Pertanyakan Jangka Waktu Kerjasama
Indonesia sampai saat ini masih harus mengimpor komoditas sapi, jagung dan gula. Impor terpaksa dilakukan karena produksi dari dalam neegri tidak mencukupi kebutuhan nasional.
Untuk mengatasi ketergantungan impor itu, sejumlah langkah telah dilakukan pemerintah. Misalnya, pada pertengahan Juli lalu, Presiden Joko Widodo memanggil tiga menteri ke Istana. Mereka adalah Menteri Pertanian Amran Sulaiman, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Siti Nurbaya, dan Menteri Agraria dan Tata Ruang (ATR) saat itu, Ferry Mursyidan Baldan.
Dalam pertemuan itu, Presiden mengevaluasi proses penyediaan lahan untuk investasi pangan, yang diprioritaskan untuk sektor peternakan sapi, jagung, dan tebu untuk memasok bahan baku gula. Jokowi sadar, tanpa menggenjot investasi, akan sulit meningkatkan produksi ketiga komoditas itu.
Untuk itu, pemerintah melalui ketiga kementerian tersebut berkomitmen menyediakan lahan sebanyak 2 juta hektare (ha) untuk digarap sebagai lahan produksi pangan. Sikap Perum Perhutani yang menyediakan lahan 62.000 ha untuk digunakan sebagai lahan produksi pangan merupakan suatu pengejawantahaan dari keputusan pemerintah itu.
Sikap Perhutani pun mendapat sambutan hangat dari kalangan produsen gula, baik produsen gula kristal putih (GKP) maupun gula kristal rafinasi (GKR). Mereka menyebut apa yang dilakukan Perhutani akan mampu meningkatkan produksi gula nasional.
“Kami menyambut baik kebijakan itu dan pasti akan ditindaklanjuti,” ujar Direktur Eksekutif Asosiasi Gula Rafinasi Indonesia (AGRI), Faiz Achmad, akhir pekan lalu.
Menurutnya, produsen gula di dalam negeri saat ini membutuhkan lahan perkebunan tebu yang merupakan bahan baku produksi gula. Sayangnya, ketersediaan lahan tebu masih sulit didapat.
“Karena itu, apa yang dilakukan Perhutani adalah suatu langkah yang bagus,” ujarnya. Walaupun begitu, Faiz meminta agar kebijakan penyediaan lahan itu diikuti juga dengan aturan pendukung lainnya.
“Misalnya, adanya aturan setingkat menteri mengenai lamanya waktu kerjasama pengelolaan lahan itu,” ujarnya. Jangka waktu kerjasama itu juga tidak boleh hanya jangka pendek saja, tetapi di atas 15 tahun, sehingga industri bisa menjalankan kegiatannya dengan baik.
Selain adanya payung hukum, pihak Perhutani juga harus bersedia membuka data mengenai lahan yang akan ditawarkannya itu kepada pelaku industri gula. “Data lahannya harus jelas, apakah dalam satu hamparan atau terpisah-pisah sehingga industri gula bisa membuat perhitungan tentang kelayakan bisnisnya,” katanya.
KTM
Tindakan Perhutani menyediakan 62.000 ha lahannya untuk kegiatan produksi pangan saat ini sudah mendapat tanggapan dari PT Kebun Tebu Mas (KTM), sebuah produsen gula yang belum lama beroperasi.
Perusahan yang memiliki pabrik gula di Kecamatan Ngimbang, Lamongan, Jawa Timur dan membenamkan investasi senilai 390 juta dolar AS itu telah melakukan pembicaraan dengan pihak Perhutani untuk menggunakan lahan BUMN tersebut guna ditanami tebu.
“Kami telah mengajukan permohonan kepada pemerintah, semoga segera ada keputusan dari pihak Perhutani,” kata Manager Plantation KTM, Wayan, kepada Agro Indonesia, akhir pekan lalu.
Dia menyebutkan, KTM masih membutuhkan lahan tebu untuk memenuhi kebutuhan bahan baku gula pabriknya yang memiliki kapasitas giling 12.000 ton tebu per hari. Diperlukan setidaknya 30.000 ha lahan tebu.
“Saat ini, pihak KTM sudah melakukan kerjasama dengan petani tebu dengan luas lahan yang tercakup sekitar 24.000 ha,” ujarnya. Dia berharap kekurangan lahan tebu itu bisa ditutupi oleh kerjasama pengelolaan lahan milik Perhutani.
“Kami mengharapkan awal 2017 nanti pengelolaan lahan Perhutani itu sudah bisa dilakukan sehingga kegiatan produksi gula KTM bisa berjalan dengan lancar,” katanya.
Adapun lahan Perhutani yang ingin dikelola KTM adalah lahan yang berada di kawasan Tuban, Bojonegoro, Lamongan dan Gresik, yang letaknya tidak terlalu jauh dengan lokasi pabrik gula milik perusahaan itu. B Wibowo