Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Karut marut penyelesaian sawit ilegal nampaknya menggelinding baik bola salju liar yang tidak atau belum ada pokok penyelesaiannya dengan tuntas. Diera pemerintahan Joko Widodo selama satu dekade (2014-2024) telah dicoba untuk diurai penyelesaian secara tuntas, namun sampai dengan akhir pemerintahan Presiden Joko Widodo, malah makin nampak ketidakberdayaan pemerintah dalam menyelesaikan persoalan sawit ilegal ini secara tuntas. Nampaknya banyak kepentingan persoalan sawit ini terlibat di dalamnya, tidak sekedar kepentingan ekonomi, tetapi juga kepentingan politik, sosial, hukum dan seterusnya.
Regulasi yang disiapkan pemerintah melalui Undang-Undang (UU) no. 11/2020 tentang Cipta Kerja Bidang Kehutanan dan Peraturan Pemerintah (PP) no. 24/2021 tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan yang mengatur proses penyelesaian sawit ilegal dalam kawasan hutan dengan pendekatan ultimum remedium (yang mengutamakan sanksi adiministratif sebelum sanksi pidana diterapkan) nampaknya belum berjalan maksimal. Buktinya Satuan Tugas (Satgas) peningkatan tata kelola industri kelapa sawit dan optimalisasi penerimaan negara yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden (Kepres) no. 9/2023 tanggal 14 April 2023 dan diberikan tugas hingga 30 September 2024 untuk salah satunya menyelesaikan sawit ilegal dalam kawasan hutan ini, nampaknya belum berjalan dan dapat menyelesaikan persoalannya dengan tuntas.
Berawal dari dari kampanye negatif oleh pasar di Eropa terkait dengan minyak kelapa sawit di tengah isu perubahan iklim dan persaingan bisnis awal tahun 2020. Parlemen Eropa dan Dewan Eropa (waktu itu) sedang menyusun regulasi yang melarang produk yang berasal yang berasal dari deforestasi masuk Uni Eropa. Produksi tersebut meliputi daging sapi, kopi, cokelat, kedelai, kayu dan sawit. Namun, sayangnya upaya pemerintah untuk menangkis kampanye negatif tentang kelapa sawit ini, masih terganjal dengan adanya sawit ilegal yang masuk dalam kawasan hutan seluas 3,1 – 3,4 juta hektare. Sawit di kawasan hutan tentu saja ilegal. Kebun-kebun ini ada di hutan konservasi seluas 115.694 hektare, hutan lindung 174.910 hektare, hutan produksi terbatas 454.849 hektare, hutan produksi biasa 1.484.075 hektare dan hutan produksi yang dapat dikonversi 1.224.291 hektare.
Satgas tentang Tata Cara Pengenaan Sanksi Administratif dan Tata Cara Penerimaan Negara Bukan Pajak yang Berasal dari Denda Administratif di Bidang Kehutanan yang dipimpin oleh Menko Marves (waktu itu) Luhut Pandjaitan yang mempunyai masa tugas 1 tahun 5 bulan ini; ditugaskan untuk menyelsaikan 3,1-3,4 juta hektare, sampai berakhirnya tugas Satgas tersebut baru mampu menyelesaikan sebagian kecil dari tugas yang dibebankan. Dalam rapat nasional koordinasi pemutihan lahan sawit ilegal dalam kawasan hutan di Hotel Kempinski Jakarata, 28 Maret 2024 lalu, Sekretaris Jenderal (sekjen) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Bambang Hendroyono menyebut bahwa total sawit yang terindikasi masuk dalam kawasan hutan 3,37 juta hektare. Total perusahaan yang sudah mengajukan pemutihan lahan sawit hingga akhir Maret 2024 mencapai 365 perusahaan dari target pemerintah yang mencapai 2.130 perusahaan (17,13 %). Sementara Menteri KLHK sudah menetapkan 21 Surat Keputusan (SK) pemberian legalitas sawit di kawasan hutan. SK ini terdiri dari subyek hukum swasta dan masyarakat. Sementara subyek hukum dari kebijakan pemutihan lahan sawit di kawasan hutan mencapai 6.556 buah (0,32 %). Belum lagi, tidak transparannya sampai saat ini berapa sanksi administratif berupa denda yang dipungut berupa uang dari perusahaan yang sudah diputihkan ini.
Anehnya lagi, setelah pemerintahan berganti dari Presiden Jokowi ke Presiden Prabowo dan anggota kabinet juga berganti baik personil dan nomenklaturnya, Menteri Kehutanan Kabinet Merah Putih dalam pemerintahan Prabowo- Gibran, Raja Yuli Antoni setelah mengunjungi BPKP (01/11/2024) menyebut bahwa Kementerian Kehutanan akan menggunakan data mutakhir terkait sawit ilegal untuk menentukan target awal penanganan dan akan membentuk Satgas kembali sebagaimana Satgas yang dibentuk oleh Presiden Jokowi. Persoalan sawit ilegal ini adalah data mutakhir tentang kerugian negara dan tugas Satgas yang telah berakhir. Persoalan mendasar adalah keberanian eksekusi pemerintah terhadap perusahaan atau masyarakat yang melanggar PP 24/2021 tersebut. Padahal, Siti Nurbaya selaku Menteri KLHK era pemerintahan Jokowi menyebut proyeksi PNBP dari denda kebun kelapa sawit dalam kawasan hutan mencapai Rp50 triliun. Dia mengemukakan hal itu dalam rapat kerja bersama Komisi IV DPR yang disiarkan lewat channel YouTube, Selasa (13/6/2023). Setelah masalah sawit ilegal diambih alih dari KLHK ke Satgas Sawit yang telah bekerja hampir setahun lebih (2023-2024), malah kerugian negara masih minta dihitung ulang oleh Menteri Kehutanan kepada BPKP. Lalu data yang dimiliki KLHK selama ini untuk apa?
Persoalan sawit ilegal lainnya
Belum habis keheranan kita akan penyelesaian sawit ilegal dalam kawasan hutan yang belum tuntas, kita dikejutkan lagi dengan pernyataan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Nusron Wahid, yang mengatakan bahwa kementeriannya akan fokus pada penertiban 537 perusahaan/badan hukum yang memiliki Izin Usaha Perkebunan (IUP) tanpa Hak Guna Usaha (HGU). Selama 100 hari kerja dalam Kabinet Merah Putih, Nusron mengatakan akan memberi sanksi pada perusahaan itu. “Sanksi utama yang akan diterapkan adalah denda pajak, dengan besaran yang saat ini sedang dihitung oleh Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP),” kata Nusron Wahid dalam Rapat Dengar Pendapat di Komisi II DPR, seperti dikutip dalam keterangan tertulis pada Rabu, 30 Oktober 2024. Kementerian ATR/BPN mencatat pada 2016 hingga Oktober 2024, ada 537 perusahaan kelapa sawit yang memiliki IUP tapi tidak memiliki HGU. Dari jumlah itu, ada sekitar 2,5 juta hektar lahan. Nusron Wahid mengatakan penertiban ini untuk memastikan kepatuhan terhadap regulasi yang telah ada sebelumnya, yakni Keputusan Mahkamah Konstitusi tanggal 27 Oktober 2016 terkait Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan, khususnya Pasal 41. “Jadi sebelumnya yang boleh menanam kelapa sawit itu harus punya IUP atau punya HGU, sekarang dengan adanya keputusan Mahkamah Konstitusi itu adalah punya IUP dan juga punya HGU,” pungkas Menteri Nusron Wahid.
Apakah kebun sawit tanpa HGU masuk dalam ranah sawit ilegal? Sudah dapat dipastikan bahwa 537 perusahaan kelapa sawit seluas sekitar 2,5 juta hektare untuk memperoleh lahannya berasal dari pelepasan kawasan hutan melalui alih fungsi lahan hutan produksi yang dikonversi (HPK). Tata cara pelepasan kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK) diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) No. P.96/2018 dan diubah dengan Peraturan Menteri LHK No. 50/2019. Yang terkahir diubah lagi dalam PP no. 23/2021 tentang penyelenggaraan kehutanan pasal 55 hingga pasal 70.
Beberapa pasal penting yang terkait dengan kasus sawit yang telah memilik izin usaha perkebunan (IUP) akan tetapi belum/tidak memiliki izin hak guna usaha (HGU adalah pasal 69 ayat (3) yang berbunyi “Menteri KLHK/Kehutanan berkoordinasi dengan menteri yangmenyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanahan dan menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang pertanian melakukan evaluasidalam jangka waktu 3 (tiga) tahun terhadap kawasan hutan yang telah dilepaskan”. Selanjutnya ayat (4) menyebut 1 Dalam hal berdasarkan hasil evaluasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) terhadap kawasan hutan yang telah dilepaskan belum diterbitkan hak atas tanahnya (HGU) ditetapkan kembali oleh Menteri menjadi kawasan hutan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Pasal 70, menyebut berdasarkan keputusan Menteri tentang penetapan batas areal pelepasan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 68, status lahan diproses sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan.
Jelas sudah bahwa PP no. 23/2021 tentang pelepasan kawasan hutan. Meskipun izin/persetujuan pelepasan kawasan hutan telah terbit dari Menteri LHK/Kehutanan, apabila dalam waktu tiga tahun setelah diadakan evaluasi tidak kunjung terbit HGU nya, maka status lahan tersebut harus dikembalikan lagi ke negara menjadi kawasan hutan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sudahkan kebun sawit yang seluas 2,5 juta hektare tanpa HGU dan telah dilepaskan sebagai kawasan hutan akan dikembalikan menjadi kawasan hutan atau akan juga diputihkan penerbitan HGU nya meski sudah terlambat. Yang jelas negara banyak dirugikan oleh adanya sawit tanpa HGU karena perusahaan ini telah bertahun tahun tidak membayar Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) proses penerbitan HGU yang membutuhkan pelayanan pengukuran dan pemetaan batas bidang tanah (Tu) dan pelayanan pemeriksaan tanah (Tpb) oleh Panitia B; dan tidak membayar pajak bumi dan bangunan (PBB). Apabila rencananya HGU nya akan diputihkan maka demi keadilan maka perusahaan perkebunan sawit harus dikenakan sanksi denda biaya penerbitan HGU dan PBB dihitung selama waktu mereka telah menanam sawit hingga saat ini. ***