Oleh: Dr. Pernando Sinabutar (Bekerja di Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VI Manado)
RReforma Agraria adalah penataan kembali struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan pemanfaatan tanah yang lebih berkeadilan melalui Penataan Aset dan disertai dengan Penataan Akses untuk kemakmuran rakyat Indonesia. Penataan Aset adalah penataan kembali penguasaan, pemilikan, penggunaan dan pemanfaatan tanah dalam rangka menciptakan keadilan di bidang penguasaan dan pemilikan tanah. Sedangkan Penataan Akses adalah pemberian kesempatan akses permodalan maupun bantuan lain kepada Subjek Reforma Agraria dalam rangka meningkatkan kesejahteraan yang berbasis pada pemanfaatan tanah, yang disebut juga pemberdayaan masyarakat.
Reforma Agraria merupakan salah satu program Nawacita Presiden Joko Widodo-JK seperti dimuat dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yaitu komitmen mengalokasikan sedikitnya 12,7 juta hektare kawasan hutan negara menjadi wilayah kelola masyarakat melalui pola perhutanan sosial dan reforma agraria 9 juta hektare, diantaranya reforma agraria dengan pelepasan kawasan hutan yang ditargetkan lebih kurang 4,1 juta hektare dan sisanya dari luar kawasan hutan. Program itu kembali dilanjutkan pada RPJMN berikutnya.
Objek Reforma Agraria adalah tanah yang lazim disebut dengan Tanah Objek Reforma Agraria (TORA). TORA bersumber dari kawasan hutan negara maupun hutan hak, bahkan hutan adat. Tanah yang bersumber dari kawasan hutan negara diindikasikan dalam peta indikatif alokasi kawasan hutan untuk penyediaan sumber TORA sesuai Surat Keputusan (SK) Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
Sumber TORA tersebut diklasifikasikan menjadi (1) 20% pelepasan kawasan hutan untuk perkebunan; (2) hutan produksi yang dapat dikonversi tidak produktif; (3) program pemerintah untuk pencadangan percetakan sawah baru; (4) permukiman transmigrasi beserta fasos-fasumnya yang sudah memperoleh persetujuan prinsip; (5) permukiman, fasilitas sosial dan fasilitas umum; (6) lahan garapan berupa sawah dan tambak rakyat; dan (7) pertanian lahan kering yang menjadi sumber mata pencaharian utama masyarakat setempat.
Pihak sebagai pemilik TORA adalah perorangan; instansi; badan sosial/ keagamaan; dan masyarakat hukum adat. Perorangan harus memiliki identitas kependudukan; instansi merupakan instansi pemerintah pusat atau instansi pemerintah daerah; badan sosial/keagamaan harus terdaftar sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan; dan masyarakat hukum adat adalah masyarakat yang keberadaannya ditetapkan dengan Peraturan Daerah dan memiliki bukti penguasaan tanah.
Kriteria penguasaan tanah tersebut adalah: (a) bidang tanah telah dikuasai oleh Pihak secara fisik dengan itikad baik dan secara terbuka; (b) bidang tanah tidak diganggu gugat; dan (c) bidang tanah diakui dan dibenarkan oleh masyarakat hukum adat atau kepala desa/kelurahan yang bersangkutan serta diperkuat oleh kesaksian orang yang dapat dipercaya. Penguasaan dan pemanfaatan tanah dalam kawasan hutan adalah untuk : (a) permukiman; (b) fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial; (c) lahan garapan; dan/atau (d) hutan yang dikelola masyarakat hukum adat. Permukiman merupakan bagian di dalam kawasan hutan yang dimanfaatkan sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung penghidupan masyarakat serta masyarakat adat. Fasilitas umum dan/atau fasilitas sosial merupakan fasilitas di dalam kawasan hutan yang digunakan oleh masyarakat untuk kepentingan umum. Lahan garapan merupakan bidang tanah di dalam kawasan hutan yang dikerjakan dan dimanfaatkan oleh seseorang atau sekelompok orang yang dapat berupa sawah, ladang, kebun campuran dan/atau tambak. Hutan yang dikelola masyarakat hukum adat merupakan hutan adat yang ditetapkan sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.
Cerita Sukses di Bolsel
Bolaangmongondow Selatan (Bolsel) adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara yang termasuk dalam peta indikatif alokasi kawasan hutan untuk penyediaan sumber TORA yang diterbitkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kabupaten ini memperoleh alokasi seluas lebih kurang 332,62 hektare yang berada di Hutan Lindung (HL) Bakau Tg. Dudepo dan Hutan Produksi tetap (HP) Bolaang Uki II dan dikuasai oleh 246 orang (246 bidang tanah). Lahan yang dikuasai masyarakat dalam peta indikatif itu adalah lahan garapan berupa kebun kelapa, cengkeh, pala, durian dan coklat yang telah dikuasai lebih dari 20 tahun berturut-turut, namun terdapat juga yang dikuasai kurang dari 20 tahun.
Cerita sukses tersebut bermula dari Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2017 tentang penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan yang membuka ruang untuk memberikan perlindungan hukum dan menyelesaikan hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan yang menguasai tanah di dalam kawasan hutan. Bahkan, aturan operasionalnya yaitu Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 3 Tahun 2018 tentang pedoman pelaksanaan tugas inventarisasi dan verifikasi penguasaan tanah dalam kawasan hutan (Inver PTKH) juga serta merta diterbitkan.
Cerita itu berlanjut dengan semangat masyarakat, bahkan Sangadi (sebutan Kepala Desa di Kabupaten Bolsel) dan Bupati mengikuti seluruh tahapan dan kelengkapan data yang dipersyaratkan dalam Perpres dan Permenko, hingga diterbitkan Rekomendasi Gubernur Sulawesi Utara terhadap usulan penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan di Kabupaten Bolsel.
Lanjut lagi, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sesuai dengan Surat Nomor S. 252/Menlhk/Setjen/Pla.2/4/2019 tanggal 22 April 2019 memberikan persetujuan terhadap pola penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan, dengan persetujuan perubahan batas terhadap areal seluas lebih kurang 322,10 hektare, dan sisanya lebih kurang 10,52 hektare untuk perhutanan sosial.
Lalu, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Surat Nomor S. 513/PKTL/KUH/Pla.2/4/2019 tanggal 29 April 2019 memerintahkan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VI Manado untuk melaksanakan penataan batas terhadap bidang tanah yang akan dikeluarkan dari kawasan hutan sesuai dengan peta persetujuan perubahan batas kawasan hutan.
Terakhir, BPKH Wilayah VI Manado melaksanakan penataan batas terhadap bidang tanah yang akan dikeluarkan itu dan secara bersama-sama dengan Panitia Tata Batas (PTB) telah menyetujui dan menandatangani Berita Acara Tata Batas (BATB) dan peta hasil tata batas sebagai akhir penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan di Bolsel.
Seterusnya, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan akan menerbitkan Surat Keputusan Perubahan Batas Kawasan Hutan yaitu Hutan Lindung (HL) Bakau Tg. Dudepo dan Hutan Produksi tetap (HP) Bolaang Uki II dengan mengeluarkan bidang tanah yang telah dikuasai masyarakat seluas 322,10 hektare dengan rincian 15,60 hektare di HL Bakau Tg. Dudepo (16 bidang) dan 306,50 hektare di HP Bolaang Uki II (230 bidang).
Cerita itu akan ditutup dengan terbitnya sertifikat kepemilikan sebanyak 246 bidang (sertifikat) oleh instansi yang berwenang menerbitkannya.
Reforma Agraria dengan objek redistribusi tanah yang bersumber dari tanah yang berasal dari pelepasan kawasan hutan negara dan/atau hasil perubahan batas kawasan hutan yang ditetapkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan sebagai sumber TORA, antara lain: (1) tanah dalam kawasan hutan yang telah dilepaskan sesuai peraturan perundangundangan menjadi TORA; dan (2) tanah dalam kawasan hutan yang telah dikuasai oleh masyarakat dan telah diselesaikan penguasaannya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan, telah sukses di Bolsel. Tinggal mengunggu redistribusinya.