Batok Santan Menjelajah Eropa

Pelopor Kerajinan Batok Kelapa, Subkhan Nur Taufiq

Batok kelapa atau tempurung begitu mudah ditemui di sekitar tempat tinggal kita. Apalagi di daerah pesisir yang banyak tumbuh pohon kelapa. Setelah daging kelapa diolah menjadi santan untuk campuran masakan, batok kelapa dibuang begitu saja sebagai sampah. Batok kelapa selalu saja menjadi masalah. Mengotori, susah membusuk, diolah menjadi arang pun tak laku atau dihargai sangat murah

Barang  yang selama ini dianggap sampah dan disepelekan oleh kebanyakan orang nyatanya punya nilai jual tinggi bila diolah oleh tangan-tangan kreatif dan kemudian dimanfaatkan untuk menjadi aksesoris. Kampung Santan, Guwosari, Pajangan, Bantul, Yogyakarta.

Kerajinan yang dihasilkan pun beragam rupa mulai dari gelas, piring, mangkok, lampu hias, celengan/tempat uang, tas dan suvenir serta hiasan rumah. Harganya juga bervariasi dan terjangkau. Barang-barang ramah lingkungan tersebut mampu menerobos ke penjuru Asia, Eropa dan Amerika.

Kerajinan berbahan tempurung kelapa bagi masyarakat Santan bukan hal baru melainkan sudah ada sejak 20 tahun yang lalu. Tidak heran jika Kampung Santan dikenal sebagai sentra kerajinan tempurung (batok) kelapa. Dimotori Subkhan Nur Taufiq, Kampung Santan kini menjadi Desa Wisata. Berikut petikan wawancara Agro Indonesia dengan Taufiq.

Apa yang mendasari bapak menggeluti usaha ini?

Pilihan saya mengolah tempurung kelapa karena saya melihat tempurung ini banyak disekitar kita dan selama ini sedikit sekali yang memanfaatkan bahkan cenderung dianggap tidak berharga, dibuang begitu saja dianggap sampah. Kenapa tidak kita olah menjadi benda yang lebih bernilai, lebih berharga, lebih bermanfaat.  Awalnya saat saya memulai tahun 1991, saya kerap menerima cibiran dan dinilai hanya membuang-buang waktu. Namun semua cacian saya jadikan sebagai motivasi untuk terus berkarya.

Yang saya buat pertama adalah gantungan kunci dan membuka galeri Cumplung Aji di rumah. Memasarkan gantungan kuncinya ke malioboro pun harus menerima kenyataan pahit. Dagangannya yang dijual dengan harga 500 perak hanya ditawar seharga 300 perak saja. Saya tidak menyerah, berbekal dari informasi yang ada saya memberanikan diri mengikuti sejumlah pameran baik lokal maupun nasional. Saya lihat untuk pasar lokal saat itu tidak melirik produk saya, atau produk dari tempurung. Jadi saya melirik ke pasar luar.

Tahun 1993 lewat pameran di Hotel Ina Garuda dan Hotel Ambarukmo Yogyakarta, produk saya mulai dilirik, mulai terbuka, ada buyer dari Singapura. Ini sebagai celah. Kemudian ditahun 1994, masuk di APIKRI Yogyakarta, lewat Apikri mulai banyak dikenalkan pasar dan produk yang sedang trend. Saat itu tahun 1994 lebih dikenal industri perak, kulit, gerabah. Di tahun 1995 baru terbuka jalan ke Eropa

Jadi batok ini sudah merambah Eropa, kemana saja?

Ya Asia dan Eropa, dari tahun 2001 Jepang sampai sekarang masih order. Untuk Eropa negara Jerman, Kanada, Perancis, Spanyol. Tahun 1995 lewat Apikri ada buyer dari Kanada.  Orang Kanada dan Apikri datang ke sini terus kita mecoba membikin produk itu. Akhirnya booming tahun 1995-1998. Besar besaran kita ekspor. Produknya alat musik marakas, yang digunakan setiap awal bulan Juni untuk dansa samba, setiap orang dapat 1 pasang alat musik marakas. Pertama ekspor 700 set marakas di tahun 1995 setelah itu puncaknya sampai 20.000 pasang marakas.

Bagaimana tangapan  masyarakat sekitar?

Tahun 2008-2010 inilah booming tempurung. Dan orang mulai terbuka, bahwa tempurung yang mungkin dikira benda tidak berguna, dan hanya bisa dibuat sebagai irus, ternyata bisa sampai ke luar negeri. Ini membuka mata dan pandangan masyarakat. Masyarakat sini mulai merasa, ternyata  kerajinan tempurung ini sangat menjanjikan. Tetapi begitulah orang awam, baru mau kerja setelah lihat ada contoh, ada yang berhasil dulu, tidak berani dan tidak mau mencoba. Waktu kita merintis dari awal belum punya apa apa, belum tertarik. Kita lihat dari warga sendiri tidak merespons. Dan setelah booming, kita bisa beli tanah, mobil dan  beli apa apa. Akhirnya mereka melihat, dari jual tempurung saja bisa begini. Mereka akhirnya mau mencoba. Kalau mengajak orang belum ada bukti, akan dianggap omong kosong, kalau kamu berhasil baru ikut.

Bagaimana dengan  Dinas?

Pada tahun  1992 an Dinas Perindustrian” tidak ada yg respons”. Dulu kita mengeluh ke dinas maksudnya supaya ada pendampingan dalam pemasaran, pembinaan, tidak ada respons, karena mungkin waktu itu tempurung hanya dianggap hanya untuk nyadap karet, hanya untuk irus. Tapi setelah itu, begitu banyak tamu yang datang, dan Dinas adalah pintu masuk juga, mereka mulai melihat. Kita mulai sering diminta sebagai motivator bahkan sampai luar Jawa.

Banyak pelatihan ke luar Yogya

Saya menerima undangan pelatihan workshop ke luar Jawa yang saya datangi hanya satu kali,  di Sangir Taulaud. Cuma satu kali itu kita datang. Saya melihat tidak banyak keuntungan jika saya yang datang. Karena pengalaman saya, jauh jauh datang, perjalanan,  waktu, berisiko tinggi, tapi tanggapan orang tidak sesuai. Kalau di undang workshop mengisi acara, diskusi saja, hanya mendengar saja, tanpa melihat proses langsung, menurut saya kurang mengena.  Mungkin orang mengikuti asal ikut karena disubsidi, nanti dapat alat, nanti dapat pesangon. Kalau di daerah mereka, boleh dibilang tidak keluar dari rumah,  tanggungjawab kurang. Dan ternyata benar, setelah selesai tidak ada perkembangan. Setelah itu saya fokus kalau mau berlatih ya di rumah saya.

Jadi kalau mau pelatihan, silahkan datang, saya bisa memantau anak buah saya, sekaligus membantu yang pelatihan. Terus bagi mereka keuntungannya, adalah ada semangat dan kemauan untuk mencoba. Beda dengan kalau saya yang ke sana, hanya bisa membayangkan, tanpa praktek langsung. Hasilnya sangat berbeda,

Bagaimana dengan kondisi saat ini mengatasi persaingan?

Hal terpenting yang selalu diperhatikan adalah kualitas bukan kuantitas. Saya tidak pernah mengerjakan pesanan secara asal-asalan. Dan saya selalu melihat permintaan pasar, apa yang tren saat ini. Lebih suka jual putus, artinya ada barang, selesai dana dibayar. Tidak suka konsinyasi, karena bisa merugikan, berkaitan dengan modal yang juga harus berputar.  Harus jeli melihat pasar, dan perkembangan pasar. Banyak menjalin mitra dan pengusaha lain yang sejenis, bisa dirangkul sebagai mitra, bukan sebagai pesaing. Pilihan banyak tetapi  orang juga bisa melihat mana yg berkualitas,

Sedang merintis desa wisata, kapan goalnya?

Tahun ini kita sudah siapkan. Kita selalu berbenah. Akhir tahun 2020 ini wisata harus jadi. Artinya bisa diselesaikan yang kurang kurang tahun lalu. Dan setiap tahun kita juga mendapat  kunjungan dari Yayasan Penabur Jakarta, mengirim siswanya untuk outbond dan mengenal lingkungan desa Santan ini dari sejak tahun 2015. Kita juga bulan ini akan MOU dengan Yayasan Penabur untuk kerjasama. Ini terjadi rutin karena kepuasan mereka, yang bisa menikmati desa wisata ini sesaui yang mereka inginkan. Jelas ini memberi dampak positif bagi kami, warga Kampung Santan,  dari produk batoknya, homestaynya, makanan dan sebagainya. Jadi ada pendapatan tambahan dengan desa wisata ini.

Harapan ke depan?

SDM nya harus semakin terasah, mau belajar karena ini yang sebenarnya jadi masalah.  Dan  untuk desa wisata  ini semakin disempurnakan. Meski mengantongi sertifikat kejuaraan desa wisata, kita selalu berbenah. Kalau untuk outbond setiap saat ada, potensi yang ada disini akan kita munculkan seperti makanan khas sini, ingkung dan welcome drink dawet hijau cincau, kita hidupkan kembali,  juga homestay untuk yang menginap harus ditata kembali atau ditambah. Karena ini desa kecil, yang mengunjungi banyak, Ada potensi potensi desa yang bisa ditampilkan. Kampung wisata bisa menjembatani antara kalangan atas dan bawah. Kampung Santan menjadi destinasi wisata di Yogyakarta

Visi Misi Bapak?

Hidup ini hanya sekali, harus merespons hidup dengan baik, harus diisi dengan baik. Pemberdayaan keberkahan bagi orang lain

Anna Zulfiyah