Selangkah Menuju Realisasi TORA di Bolsel

Verifikasi lahan untuk program TORA di Kebun Cengkeh di Bolaang Mongondow Selatan
Dr Pernando Sinabutar

Oleh: Dr. Pernando Sinabutar (Bekerja di Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah VI Manado)

Bolaang Mongondow Selatan (Bolsel) adalah salah satu kabupaten di Provinsi Sulawesi Utara yang termasuk dalam peta indikasi alokasi kawasan hutan untuk penyediaan sumber Tanah Obyek Reforma Agraria (TORA) yang diterbitkan oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kabupaten ini memperoleh alokasi TORA seluas lebih kurang 332,62 hektare (Ha) yang berada di Hutan Lindung (HL) Bakau Tanjung Dudepo dan Hutan Produksi tetap (HP) Bolaang Uki II dan dikuasai oleh 246 orang (246 bidang tanah).

“Sebetulnya, masyarakat di desa saya tidak mau ikut dalam program ini, mereka menganggap program ini hanya sekadar menyenangkan masyarakat saja, bahkan mungkin untuk bahan kampanye saja, selama ini banyak program pemerintah pusat hanya disosialisasikan saja, setelah itu bubar,” tutur Anwar Stirman yang menjabat sebagai Sangadi, sebutan kepala desa di Bolsel, Desa Trans Pato’a beberapa waktu lalu.

Sosialisasi penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan diselenggarakan Tim Inventarisasi dan Verifikasi (Tim Inver) Provinsi Sulawesi Utara. Kesabaran dan penjelasan secara perlahan-lahan supaya program TORA dimengerti masyarakat merupakan tantangan. Tim Inver menyakinkan masyarakat bahwa program tersebut adalah program prioritas pemerintah dalam rangka Reforma Agraria yang musti selesai.

Lahan yang dikuasai masyarakat dalam peta indikatif itu adalah lahan garapan berupa kebun kelapa, cengkeh, pala, durian dan coklat yang telah dikuasai lebih dari 20 tahun berturut-turut, akan tetapi terdapat juga yang dikuasai kurang dari 20 tahun. Cerita masyarakat di Desa Molibagu, Desa Salongo Timur, Desa Trans Pato’a, Desa Soguo dan Desa Toluaya di 2 kecamatan yaitu Kecamatan Helumo dan Bolaang Uki, relatif sama. “Tanah ini telah kami kuasai bertahun-tahun dan kami menanam kelapa, cengkeh dan coklat sejak tahun 70-an, buktinya sudah ada yang diwariskan, bahkan ada juga yang diperjualbelikan antar masyarakat di desa ini,” kata mereka.

“Belum ada tanah yang dikuasai bersertifikat, kami tidak mengurusnya, bahkan dalam jual belipun hanya kuitansi, kami saling percaya saja,” timpal Jhoni Lintong yang menguasai bidang tanah seluas 5.362 meter persegi (m2) di Desa Trans Pato’a Kecamatan Helumo.

Bidang tanah tersebut dibuka oleh H. Kadullah, orang tua dari Jusmal Kadullah pada tahun 1975 dan kemudian dibeli oleh Jhoni Lintong Tahun 1997. Sumitro Mohune (penduduk Desa Salongo Timur Kecamatan Bolaang UKi) yang menguasai bidang tanah seluas 6.591,95 m2 bercerita lain. “Kebun ini saya buka sendiri sejak tahun 1965, dan belum banyak yang berkebun seperti sekarang, dan tidak ada yang mengganggu. Saya termasuk yang membuka kebun secara sendiri di desa ini.”

Hal itu persis sama dengan penuturan Yuri Tino, yang menyebutkan bahwa sejak Tahun 1960 sudah berkebun di Desa Soguo Kecamatan Bolang Uki. “Mungkin saya yang paling pertama berkebun di tempat ini,” tuturnya.

Cerita dan penggalan wawancara itu menegaskan bahwa penguasaan bidang tanah di dalam kawasan hutan sudah terjadi sejak dahulu dan dilakukan secara turun temurun. Cerita itu membenarkan beberapa pendapat bahwa masyarakat sudah sejak dahulu menggantungkan hidupnya pada kawasan hutan yang penguasaannya tidak dapat dibuktikan secara tertulis (Sirait et al., 2004; Contreras dan Fay, 2006).

Bahkan menurut Affif (2005), masyarakat lebih mengandalkan cerita dan sejarah untuk melegitimasi penguasaan tanah miliknya. Lalu, Sinabutar (2015) menegaskan pendapat yang menyebutkan bahwa siapa pembuka lahan pertama, dialah pemiliknya. Penguasaan dan pemilikan seperti itu, tidak diakui dalam hukum positif, sehingga situasi tersebut semakin memunculkan konflik penguasaan atau yang lazim disebut konflik tenurial, terutama antara pemerintah dengan masyarakat.

Indonesia harus membangun dari pinggiran adalah salah satu program Nawacita yang terus disuarakan Presiden dan Wakil Presiden Jokowi-JK. Dalam bidang kehutanan, program membangun dari pinggiran adalah Reforma Agraria melalui asset reform dan akses reform dengan menyelesaikan dan memberikan perlindungan hukum atas hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan yang menguasai tanah di dalam kawasan hutan. Hal itu tertera dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019 yaitu komitmen mengalokasikan sedikitnya 12,7 juta Ha kawasan hutan negara menjadi wilayah kelola masyarakat melalui pola perhutanan sosial dan reforma agraria 9 juta Ha , diantaranya reforma agraria dengan pelepasan kawasan hutan yang ditargetkan lebih kurang 4,1 juta Ha dan sisanya dari luar kawasan hutan.

Dalam rangka itu, Presiden menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 Tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan dan untuk operasionalnya diterbitkan Peraturan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Permenko) Nomor 3 Tahun 2018 tentang Pedoman Pelaksanaan Tugas Inventarisasi dan Verifikasi Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan (Inver PTKH). Perpres itu menjadi jawaban atas banyaknya penguasaan tanah di dalam kawasan hutan.
Perjalanan Perpres sejak diterbitkan tanggal 6 November 2017 hingga saat ini tidak mudah. Sama dengan kebijakan lainnya, kebijakan inipun jika tidak dipahami semua pihak dengan baik dan jelas, manfaatnya tidak dirasakan. Perpres mensyaratkan bahwa apabila ada pihak (misalnya masyarakat) “merasa” menguasai bahkan memiliki sebidang tanah di dalam kawasan hutan, pihak itu harus mendaftar ke kepala desa, untuk dikumpul secara kolektif dan diketahui oleh camat, kemudian diusulkan kepada bupati/walikota. Seterusnya, bupati/walikota melanjutkan permohonan ke Ketua Tim Inver PTKH untuk ditelaah, diverifikasi, dibahas sampai akhirnya gubernur menetapkan rekomendasi.

Kemudian, gubernur menyampaikan rekomendasi ke Menteri Koordinator Bidang Perekonomian untuk mempertimbangkan apakah dikeluarkan dari kawasan hutan (melalui perubahan batas), atau diberikan perhutanan sosial. Bahkan, Perpres itu memungkinkan resettlement maupun tukar menukar kawasan hutan. Nampaknya, dua hal yang disebutkan terakhir agak sulit, karena pembiayaan dibebankan kepada pemohon.

Berdasarkan pertimbangan itu, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan memerintahkan pelaksanaan tata batas terhadap rekomendasi yang dipertimbangkan untuk diubah batasnya. Hasil tata batas akan dipergunakan Menteri untuk menerbitkan keputusan perubahan batas kawasan hutan. Liku-liku penyelesaian ini tidak mudah.

Masyarakat Bolsel bersyukurlah. Selangkah lagi pemerintah akan mengakui hak masyarakat yang selama ini telah menguasai bidang tanah dalam kawasan hutan. Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Surat Nomor S. 252/Menlhk/Setjen/Pla.2/4/2019 tanggal 22 April 2019 telah memberikan persetujuan pola penyelesaian penguasaan tanah dalam kawasan hutan terhadap areal seluas lebih kurang 322,10 Ha untuk dilakukan perubahan batas, dan sisanya lebih kurang 10,52 Ha diarahkan perhutanan sosial. Kemudian, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan melalui Surat Nomor S. 513/PKTL/KUH/Pla.2/4/2019 tanggal 29 April 2019 telah memerintahkan Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VI Manado untuk melaksanakan penataan batas terhadap bidang tanah yang akan dikeluarkan dari kawasan hutan sesuai dengan peta persetujuan perubahan batas kawasan hutan. Jika masyarakat masih meragukan kesungguhan pemerintah dalam memberikan perlindungan hukum dan menyelesaikan hak-hak masyarakat dalam kawasan hutan yang menguasai tanah di dalam kawasan hutan, segeralah negasikan keraguan itu. Pemerintah telah hadir membangun masyarakat dari pinggiran dan hal itu akan terus disuarakan, sehingga persoalan tenurial dalam kawasan hutan dapat dikurangi, dengan tetap mengedepankan aturan main (rule of the game).

Perpres dengan proses dan tahapan yang rumit, sesungguhnya implementatif. Bukti penyelesaian penguasaan bidang tanah yang dikuasai masyarakat dalam kawasan hutan telah ada antara lain Keputusan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan perintah tata batas Direktur Jenderal Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan. Niat masyarakat untuk memperoleh ruang kelola secara legal melalui penerbitan sertifikat akan menjadi kenyataan. Tinggal selangkah lagi Bolsel!!!!!