Serapan Bulog Makin Ciut

Kementerian Pertanian meminta Perum Bulog tetap konsisten menyerap beras produksi petani, meski gudang mereka masih penuh beras. Namun, Bulog menyatakan tahun ini akan menurunkan target penyerapan beras dalam negeri tinggal 1,2-1,7 juta ton atau separuh lebih dari serapan 2018 sebanyak 2,7 juta ton.

Bulog menegaskan tahun ini hanya mampu menyerap beras petani sekitar 1,2-1,7 juta ton. Ini penurunan beruntun dalam dua tahun terakhir. Bahkan, dibandingkan penyerapan tahun 2018 sebesar 2,7 juta ton, target penyerapan tahun ini anjlok separuh lebih. Sementara tahun 2019 target penyerapan sebanyak 1,8 juta ton.

“Ya, diinginkan 2,7 juta ton, tapi kan saya menghitung riil dengan kemampuan. Maka dari itu, kami maksimal (bisa menyerap) 1,7 juta ton,” tegas Direktur Utama Perum Bulog, Budi “Buwas” Waseso di Jakarta, Rabu (19/02/2020).

Rendahnya target penyerapan beras Bulog tak lepas dari masih penuhnya gudang-gudang beras Bulog akibat diubahnya kebijakan penyaluran beras Raskin atau Rastra menjadi bantuan pangan non tunai (BPNT). Dengan ditutupnya captive market tersebut, per 19 Februari 2020 gudang Bulog masih menyimpan beras 1,7 juta ton. Bahkan, separuh lebih atau sebanyak 900.000 ton adalah beras eks impor tahun 2018 — yang menurut Pasal 3 ayat (1) Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 Tahun 2018 harusnya dikeluarkan (disposal) karena melampaui batas waktu simpan paling sedikit empat bulan atau berpotensi turun mutu.

Di tengah kondisi gudang yang masih penuh beras, Bulog akan menghadapi panen raya musim gadu (Maret-April), di mana mereka harus menyerap beras petani jika harga di bawah HPP. Dan pagi-pagi pun, Kementerian Pertanian sudah meminta Bulog tetap konsisten menyerap beras petani. Untuk itu, Kementan mendukung langkah apapun yang ditempuh Bulog untuk menyalurkan beras yang menumpuk di gudang. “Dengan tersalurkannya stok beras, maka memberi ruang Bulog untuk menyerap beras petani,” ujar Kepala Badan Ketahanan Pangan (BKP) Kementan, Agung Hendriadi.

Namun, menurut pengamat ekonomi pertanian Khudori, ketika Rastra diubah menjadi BPNT, maka tidak ada lagi penyaluran beras bersubsidi di hilir. Dengan kondisi ini, tidak relevan bagi pemerintah untuk menugaskan Bulog menyerap beras petani melewati target serapan tahunan.

“Akan dikemanakan beras hasil serapan domestik itu? Beras selain bersifat bulky juga mudah rusak. Tanpa outlet penyaluran yang pasti, menugaskan BUMN ini menyerap beras atau gabah petani dalam jumlah besar dipastikan bakal membuat BUMN ini merugi,” ucapnya. AI

Selengkapnya baca: Tabloid Agro Indonesia, Edisi No. 756 (25 Februari-2 Maret 2020)