Dunia selayaknya berterima kasih kepada Indonesia, Republik Kongo, dan Republik Demokratik Kongo. Ketiga Negara ini memiliki komitmen kuat untuk melindungi laham gambut tropis yang ada di wilayahnya. Komitmen itu berarti menahan lepasnya emisi gas rumah kaca yang bisa berdampak pada pemanasan global penyebab perubahan iklim.
“Tolong kabarkan, pentingnya peran kami bagi dunia,” kata Menteri Pariwisata dan Lingkungan Hidup Republik Kongo Arlette Soudan-Nonault di Jakarta, Selasa (30/10/2018).
Hadir juga pada kesempatan tersebut Dirjen Kehutanan Kementerian Lingkungan Hidup dan Pembangunan Berkelanjutan Republik Demokratik Kongo Jose Ilanga Lofonga. Keduanya, bersama Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Indonesia Siti Nurbaya melakukan dialog dengan wartawan usai peluncuran Pusat Gambut Tropis Internasional (Internatonal Peatland Center/ITPC).
Republik Kongo, Republik Demokratik Kongo, dan Negara-negara yang berada di lembah Kongo (Congo basin) diketahui memiliki wilayah gambut tropis yang sangat luas. Pada tahun 2017 lalu, jurnal ilmiah Nature, mempublikasikan penelitian yang mengungkap temuan lahan gambut seluas 145.500 kilometer persegi (km2) di pusat lembah Kongo. Luas lahan gambut yang ada di sana bisa jadi lebih luas karena areal yang ditemukan cuma mencakup sekitar 4% dari wilayah lembah Kongo.
Sementara di Indonesia, berdasarkan peta yang dirilis KLHK, ada 26,4 juta hektare Kesatuan Hidrologis Gambut (KHG).
Menurut Arlette, Republik Kongo bersama Republik Demokratik Kongo adalah Negara yang memiliki hutan tropis terluas kedua di dunia setelah Amazon, Amerika Selatan. Sementara untuk gambut, kedua Negara itu bersama Indonesia adalah pemilik lahan gambut tropis terluas di dunia. “Jadi betapa pentingya negara kami,” katanya.
Dia melanjutkan, Negaranya ingin agar gambut yang ada tetap bisa dipertahankan dan dimanfaatkan secara berkelanjutan. Alasan itulah yang membuat Negaranya ingin belajar ke Indonesia. “Indonesia memiliki pengalaman untuk pengelolaan gambut,” katanya.
Arlette menjelaskan, dirinya sempat berkunjung ke Kalimantan Barat dan melihat bagaimana pengelolaan lahan gambut di sana. Dirinya memahami, bahwa pemanfaatan gambut dengan cara dikeringkan adalah tidak berkelanjutan, Selain itu, konversi dalam skala besar untuk kegiatan pertanian juga tidak baik bagi kelestarian gambut. Praktik tebas bakar juga harus dihindari.
Arlette melanjutkan, dari kunjungannya, dia juga melihat pemanfaatan gambut harus dilakukan dengan tata air yang ketat agar keberlanjutannya bisa dipertahankan. Selain itu, dia juga melihat bagaimana pengelolaan lahan gambut dimanfaatan dengan melibatkan masyarakat setempat untuk melakukan budidaya pertanian seperti lidah buaya. Sugiharto