Stop Alih Fungsi Lahan Pertanian

* COVID-19 Ancam Ketahanan Pangan

Pemerintah diingatkan untuk memperhatikan ancaman krisis pangan di tengah pendemi COVID-19 yang mewabah di dunia, termasuk di Indonesia. Peringatan itu juga sudah disampaikan oleh Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO).

Manajer Kampanye Air, Pangan dan Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Walhi, Wahyu Perdana menyatakan, dengan adanya peringatan itu, harusnya pemerintah menghentikan alih fungsi lahan pertanian menjadi peruntukan lain, seperti perumahan, perkebunan, lahan tambang, dan lain sebagainya.

“Karena kita tidak bisa bersandar pada industri ekstraktif skala luas saat berada dalam kondisi seperti ini. Kita tidak bisa meminta masyarakat untuk makan batubara dan sawit kan,” kata Wahyu dalam keterangan pers, Jumat (24/4/2020).

Alih fungsi lahan telah berdampak pada berkurangnya produktivitas pangan, sehingga bisa berujung pada krisis pangan. Wahyu menyinggung pernyataan Presiden Jokowi dalam rapat terbatas belum lama ini yang mengingatkan adanya prediksi kelangkaan pangan.

Kedaulatan pangan dan mengubah sistem kebijakan kali ini perlu dijadikan momentum. “Seharusnya kondisi ini bisa dijadikan momentum untuk memperbaiki, bukan hanya persoalan pangannya, tetapi juga tata kelola lahan pangannya,” kata dia.

Wahyu meminta pemerintah konsisten dengan regulasi yang sudah ditetapkan guna mencegah alih fungsi lahan. Salah satunya dengan berpegang teguh pada Undang-undang Nomor 41/2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Berkelanjutan.

Secara beleid, lahan pertanian ditetapkan seperti konsesi lahan pangan masyarakat dan tak dapat diubah peruntukkannya dalam periode waktu tertentu.

Menteri Pertanian (Mentan) Syahrul Yasin Limpo sering mengingatkan agar pihak pemerintah daerah (Pemda) melalui dinas pertanian (Distan) benar-benar menjaga keberlangsungan lahan pertanian agar tidak beralih fungsi.

Terjadinya alih fungsi lahan di beberapa daerah membuat kerugian besar pada capaian produksi serta sekitar 10.000 ha areal sawah kebanjiran. “Saya katakan lahan merupakan faktor produksi pertanian yang utama untuk mewujudkan ketahanan pangan secara nasional,” katanya.

Secara hukum, alih fungsi lahan pertanian memang sudah diatur dalam UU No.41/2009. Tidak main-main, aturan ini mengancam siapa aja yang melakukan alih fungsi lahan, baik langsung ataupun tidak langsung.

“Asal tahu saja, undang-undang ini masuk ranah tindak pidana dengan ancaman kurungan selama 5 tahun penjara dan pidana denda sebesar Rp5 miliar,” tegasnya.

Konsistensi dan Komitmen

Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Sarwo Edhy menjelaskan, untuk mencegah alih fungsi lahan, semua harus menunjukkan keseriusannya dalam menjalankan peraturan.

“Sekarang ini yang dibutuhkan adalah konsistensi dan komitmen para pemangku kepentingan, terutama Pemerintah Daerah untuk menerapkan dengan baik dan benar (law enforcement) aturan tersebut,” katanya di Jakarta, pekan lalu.

Dia menyebutkan, selama ini sudah ada UU No.41/2009 tentang Pelindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan berserta Peraturan Pemerintah (PP) No. 1 tahun 2011 tentang Penetapan dan Alih Fungsi Lahan Pertanian Berkelanjutan.

Selain itu, ada PP No.12/2012 tentang Insentif, PP No.21/2012 tentang Sistem Informasi Lahan Pertanian Berkelanjutan dan UU No.26/2007 tentang Penataan Ruang berserta PP-nya. “Aturan untuk menahan laju konversi lahan pertanian sudah ada, tinggal dijalankan dengan baik dan benar,” ujar Sarwo Edhy.

Kemendagri akan Tindak Tegas

Sementara, Plh Dirjen Bina Pembangunan Daerah Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) Hari Nur Cahya Murni menegaskan, Kemendagri terus melakukan pembinaan dan pengawasan terhadap daerah. Terutama terkait dengan Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Tata Ruang agar memperhatikan keberadaan lahan pertanian ini.

“Sesuai peraturan Perundang-undangan, (tugas) Kemendagri melakukan pembinaan dan pengawasan, termasuk melakukan evaluasi terhadap Ranperda Tata Ruang,” tegas Hari Nur Cahya Murni.

Hal ini terkait dengan UU No.41/2009 yang mengamanatkan Pemerintah Daerah agar menetapkan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (LP2B) dalam Perda RTRW. Jika ada Daerah yang mengabaikan LP2B dalam Perda RTRW-nya, atau mengubah peruntukan yang sudah ditetapkan, maka Kemendagri berjanji akan bertindak tegas.

“Peran Kemendagri adalah melakukan evaluasi terhadap Rancangan Perda tersebut, termasuk perubahannya,” lanjutnya.

Kemendagri sendiri mendukung penuh pelaksanaan UU No. 41/2009 tentang Lahan Pertanian Berkelanjutan, dan mendorong LP2B segera ditetapkan Pemda di seluruh Indonesia. Ini semua demi mencegah alih fungsi lahan agar lahan pertanian tetap lestari.

“Kita sudah melaksanakan dan mendukung penuh jika ada kebijakan LP2B,” pungkas Hari Nur Cahya Murni.

Subak Terancam

Sementara itu Kepala Balai Pelestarian Cagar Budaya (BPCB) Bali, Ni Komang Aniek Purniti mengaku bagaimana alih fungsi lahan mengancam luas areal sawah. Padahal, dampak perekonomian warga lokal yang menganut sistem subak mengalami peningkatan.

Hal ini dapat dilihat di daerah Jatiluwih yang perekonomiannya meningkat akibat adanya peningkatan kunjungan wisatawan ke sana. “Akan tetapi, masalahnya adalah mengenai alih fungsi lahan yang bermunculan, sehingga areal persawahan semakin berkurang,” katanya.

Komang Aniek mengungkapkan hal itu di Whatsapp Interaktif dalam Rangka Perayaan Hari Warisan Dunia 2020 ‘Lanskap Budaya Provinsi Bali: Sistem Subak sebagai Manifestasi Filosofi Tri Hita Karana’, Rabu (22/4/2020).

Subak sendiri oleh UNESCO (organisasi dunia yang menangani pendidikan, ilmu pengetahuan dan kebudayaan) telah ditetapkan sebagai bagian dari Daftar Warisan Dunia dalam kategori budaya. Dengan ditetapkannya subak sebagai Warisan Dunia, tentu masalah alif fungsi lahan seharusnya tidak terjadi.

Komang Aniek mengatakan, pada dokumen warisan dunia, sudah tertulis dengan jelas jumlah luasan lahan yang harus dilindungi. Apabila berkurang akan mendapat teguran dari UNESCO.  Termasuk sistem subak harus tetap dilindungi.

“Apabila ada salah satu komponen tersebut hilang, maka ssitem tersebut tidak akan berjalan dengan baik. Makanya harus ada regulasi yang melindungi kelestarian tentang sistem subak,” jelasnya.

Untuk regulasi yang mengatur alih fungsi lahan sudah ada di tingkat provinsi dan kabupaten. Untuk di tingkat provinsi untuk mencegah terjadinya peningkatan alih fungsi lahan, regulasinya adalah Perda No.16/2009.

Garis besar isinya adalah mulai tahun 2009 hingga 2029 alih fungsi lahan sawah hanya bisa ditolerir 10%, yang artinya dalam setahun hanya diperbolehkan 0,5%, yakni 400-900 ha. Kalau alih fungsi lahan lebih dari yang ditetapkan dalam regulasi akan ada pelanggaran. “Untuk saat ini, pemerintah sudah bertindak tegas terhadap pelanggaran alih fungsi lahan. Selain itu, upaya pemerintah daerah dalam upaya pelestarian subak memberikan subsidi kepada petani dan pemberian beasiswa kepada anak petani,” jelas Komang Aniek. PSP