Kementerian Pertanian (Kementan) menyiapkan strategi pengamanan produksi untuk menghadapi kemarau panjang. Mulai dari pemanfaatan pompa, asuransi, bantuan benih hingga optimalisasi jaringan irigasi. Berbagai strategi itu ditempuh untuk mengamankan produksi pangan.
Hal itu dikemukakan Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) Kementan, Sarwo Edhy di Jakarta, Rabu (18/9/2019). Dia menyebutkan, jika sumber airnya cukup, maka dilakukan pemanfaatan sumber sumber air. Sejauh ini sudah ada 11.654 unit embung dan 4.042 unit Irigasi Perpompaan yang dibangun pada periode 2015-2018.
“Identifikasi sumber air alternatif yang masih tersedia dan dapat dimanfaatkan melalui perpompaan dan irigasi air tanah dangkal,” ujar Sarwo Edhy.
Jumlah pompa air yang sudah dialokasikan pada periode 2015-2018 mencapai 93.860 unit. Khusus pada daerah terdampak kekeringan, pompa air yang tersedia mencapai 19.999 unit.
Hal lain yang bisa dilakukan, jika sudah mengalami kekeringan dan puso, maka segera dilakukan pengajuan ganti rugi bagi petani yang lahan sawahnya terkena puso dan sudah terdaftar sebagi peserta Asuransi Usaha Tani Padi (AUTP). “Jika tidak ikut AUTP, maka akan diberikan bantuan benih padi, jagung, dan kedelai,” katanya.
AUTP dilaksanakan pada petani yang menggarap sawah di pengairan teknis, semi teknis dan sederhana dengan premi yang dibayarkan petani Rp36.000/hektare (ha) dan subsidi pemerintah Rp144.000/ha.
Jika terjadi gagal panen karena serangan hama, kekeringan atau banjir, petani akan mendapatkan ganti rugi sebesar Rp6.000.000/ha. “Target AUTP tahun ini 1 juta ha. Realisasinya kini sudah mencapai 232.255 ha,” katanya.
Upaya lain, jika terjadi kekeringan tetapi belum puso, akan dicari sumber air, normalisasi saluran, mobilisasi pompa dan koordinasi dengan instansi terkait. “Jika kekeringan dan tidak bisa tanam padi akan diberi bantuan benih jagung dan kedelai,” tegasnya.
Koordinasi dan pengawalan air dengan cara monitor ketersediaan air di waduk dan bendungan, harus bisa dilakukan. Dengan mengutamakan jadwal irigasi pada wilayah yang standing crop-nya terdampak kekeringan.
“Selain itu, kami menerapkan dan mengawal gilir-giring air pada daerah irigasi yang airnya terbatas. Serta melakukan penertiban praktik pompa-pompa air ilegal di sepanjang saluran irigasi utama,” tutur Sarwo Edhy.
Selain itu juga dilakukan optimalisasi peranan Brigade Alsintan dalam memobilisasi bantuan pompa air di wilayah yang terdampak kekeringan. Bagi lahan yang masih memiliki ketersediaan sumber air, bila masih memungkinkan, maka ditanami dengan palawija atau aneka kacang.
Kalender Tanam
Kementan telah mengeluarkan Informasi Kalender Tanam (KATAM) Musim Tanam Kemarau 2019. KATAM telah terintegrasi dengan prakiraan iklim musim kemarau 2019 oleh BMKG.
“Selain itu, sosialisasi antisipasi kekeringan dan percepatan tanam juga telah dilakukan di beberapa wilayah yang potensi luas tanamnya cukup besar dan yang menjadi wilayah endemik kekeringan,” katanya.
Monitoring hari tanpa hujan dari BMKG per tanggal 10 September 2019 menunjukkan bahwa sebagian besar wilayah Pulau Jawa, Bali dan Nusa Tenggara sudah tidak mengalami hujan lebih dari 30 hari.
Data Direktorat Perlindungan Tanaman Direktorat Jenderal Tanaman Pangan tanggal 6 September 2019 menunjukkan, terdapat sekitar 100 kabupaten/kota yang terdampak kekeringan pada MK 2019 dengan total 264.968 ha dan puso 70.201 ha.
Total luas kekeringan (Januari-Agustus) 2019 mencapai 264.968 ha. Sebagian besar kekeringan terjadi di Jawa Barat, Jawa Tengah, Yogyakarta dan Jawa Timur.
“Apabila dibandingkan dengan luas tanam saat ini yang mencapai 9.552.848 ha, persentase luas kekeringan pada musim kemarau masih sangat kecil berkisar 2,77%,” katanya.
Luas areal sawah yang mengalami puso mencapai 70.201 ha atau 26,49% dari total luas kekeringan dan 0,73% dari total luas tanam. “Dampak kekeringan ini tidak berpengaruh nyata dalam mengurangi stok produksi beras nasional sampai saat ini,” katanya.
Pelatihan Khusus
Sementara itu, Kelompok Tani Dewi Sri Desa Muktisari Kecamatan Gandrungmangu, Kabupaten Cilacap, mendapat pelatihan khusus tentang bagaimana cara memanfaatkan embung pertanian dalam upaya adaptasi dan antisipasi perubahan iklim di tingkat usaha tani.
“Embung tersebut sudah seharusnya dikelola dengan baik dengan sumberdaya manusia yang mempunyai kemampuan pengelolaan dan daya adaptasi yang baik,” kata Penyuluh Pertanian, Kabupaten Cilacap, Pajarno saat Pertemuan Adaptasi Perubahan Iklim Di Tingkat Usaha Tani (API-TUT) Kabupaten Cilacap 2019, beberapa waktu lalu.
Pajarno berharap dengan adanya pertemuan tersebut petani bisa memiliki daya adaptif yang meningkat, meskipun terjadi perubahan iklim. “Pertemuan ini untuk meningkatkan kapasitas petani dalam adaptasi perubahan iklim di tingkat usaha tani,” ujarnya.
Kepala Seksi Lahan dan Irigasi Bidang Prasarana dan Sarana Pertanian Dinas Pertanian Kabupaten Cilacap, Mlati Asih Budiarti mengatakan, kegiatan Pertemuan Adaptasi Perubahan Iklim di Tingkat Usaha Tani (API-TUT) bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan petani tentang perubahan iklim serta meningkatkan pemanfaatan embung pertanian, dam parit dan long storage.
“Pertemuan tersebut membahas pengetahuan tentang bagimana cara memanfaatkan embung pertanian. Dalam upaya adaptasi dan antisipasi perubahan iklim. Diharapkan, petani bisa memiliki daya adaptif yang meningkat meskipun perubahan iklim terus terjadi,” harapnya. PSP