Tubuhnya kecil. Tapi ada nyali besar di dalamnya. Sebab Wibi Hananta, pengelola UD Romansa Jati, Ngawi, punya pandangan yang sangat luas akan keberlanjutan bisnis mebel yang dijalani.
Bagaimana tidak, Pemuda 24 tahun itu nekad mendaftarkan perusahaannya untuk diaudit dalam Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) pada 2013, meski saat itu belum ada kewajiban bagi industri furnitur untuk mengikuti sistem tersebut. Apalagi, skala usaha UD Romansa Jati yang memproduksi meja-kursi kayu saat itu sesungguhnya jauh dari besar. Jangankan ekspor, bermain di pasar tanah air pun sulit.
Namun insting pemuda yang kini masih kuliah di jurusan Administrasi Bisnis Universitas Merdeka, Malang itu ternyata tepat. Perusahaannya berkembang pesat pasca mengikuti audit SVLK dan dinyatakan berhak memperoleh sertifikat legalitas kayu (LK), Desember 2013. “Kami kini rutin ekspor ke Belgia, Tiongkok, dan Maladewa,” kata Wibi.
Capaian bisnis yang pesat itu memang tak bisa dilepaskan dari pengakuan terhadap SVLK yang semakin kuat. Uni Eropa bahkan sudah menyetarakan dokumen V-Legal yang diterbitkan berbasis SVLK untuk keperluan ekspor, dengan lisensi FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance, and Trade). Ini artinya, produk kayu dengan dokumen V-Legal bisa masuk pasar Uni Eropa lewat jalur hijau, tanpa pemeriksaan yang memakan waktu dan biaya.
Menurut Wibi, manfaat SVLK tidak hanya bisa dirasakan oleh dirinya dan pelaku usaha mebel. Tapi juga untuk pengelolaan hutan yang lebih baik. Untuk tahu lebih banyak seluk beluk bisnis furnitur dan kaitannya dengan SVLK, berikut wawancara Agro Indonesia dengan pemuda eksentrik dengan telinga bertindik dan rambut bercat merah disela Indonesia Furniture Expo 2017 di Jakarta, pekan lalu.
Bisa diceritakan sedikit tentang usaha anda?
Ya, perusahaan kami memproduksi furnitur meja dan kursi untuk berbagai kebutuhan. Kami banyak memanfaatkan kayu limbah yang dikombinasikan dengan material lain seperti besi. Usaha ini dirintis ayah saya tahun 2003. Kami usaha kecil-kecilan saja pada awalnya untuk pasar dalam negeri. Baru pada tahun 2014, kami bisa melakukan ekspor, setelah sebelumnya pada Desember 2013, perusahaan kami dinyatakan lulus audit SVLK.
Jadi ada dampak besar ya dari implementasi SVLK di usaha Anda?
Yang kami rasakan begitu. Kami mendapat sertifikat SVLK dengan dukungan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan dan Multistakeholder Forestry Programme III. Kami juga difasilitasi untuk ikut dalam pameran furnitur. Di situ kami mendapat buyer dari Belgia, kemudian disusul Tiongkok dan Maladewa.
Bukan hanya untuk ekspor, kami juga lebih mudah untuk ikut dalam pengadaan barang pemerintah. Soalnya, banyak pemerintah daerah yang mulai mempersyaratkan dokumen SVLK dalam proses pengadaan barang.
Secara keuangan, apa yang paling dirasakan?
Tentu saja omset kami meningkat. Dulu hanya berkisar Rp400 juta-Rp600 juta per tahun. Setelah ekspor, omset terus meningkat. Tahun 2016 lalu, omset kami mencapai Rp1,2 miliar.
Keuntungan bagaimana?
Margin keuntungan juga meningkat. Kalau dulu paling hanya untung 10% dari penjualan. Sekarang bisa mencapai 30%.
Anda terbuka sekali mengungkapkan bisnis yang dijalani, padahal banyak loh yang enggan bercerita, bahkan soal omset. Mengapa?
Ya karena memang tak ada sesuatu yang harus saya tutupi. Perusahaan saya memanfaatkan bahan baku kayu secara legal. Legalitas usaha juga jelas dan komplet. Makanya bisa lulus audit SVLK.
Banyak loh perusahaan mebel yang mengaku kesulitan dengan SVLK. Mengapa Anda tidak?
Kesulitan yang dihadapi kawan-kawan mebel ini banyak pada legalitas usahanya. Kami juga pada awalnya begitu. Namun saat mengikuti audit SVLK, kami diharuskan melengkapi. Pelan-pelan kami lengkapi. Kami tak keberatan karena usaha kami ingin berkembang. Kami ingin usaha kecil-kecilan bisa bertambah besar. Makanya saat ada tawaran untuk mengikuti audit SVLK, kami antusias.
SVLK ini mendorong kami untuk terus memperbaiki tata kelola perusahaan kami. Harus melengkapi semua perizinan, mencatat pergerakan kayu, hingga soal karyawan. Manfaat ini yang belum dilihat oleh banyak kawan-kawan mebel.
Berkat SVLK, kami bisa ekspor sendiri langsung ke pembeli. Jadi mendapat harga yang lebih baik. Saat awal melakukan ekspor, kami minta bantuan perusahaan EMKL. Kemudian diminta untuk melengkapi persyaratan. Ternyata, syarat yang diminta sudah kami miliki semua. Jadi, kenapa nggak ekspor sendiri saja.
Sekarang, seberapa besar kapasitas UD Romansa Jati?
Dulu kami hanya mempekerjakan 8 orang. Kini seiring dengan berkembangnya usaha, kami mempekerjakan 15 orang. Saat pesanan sedang banyak jumlah pekerja bisa lebih banyak.
Setiap tahun, kami mengolah sekitar 40 m3 kayu. Meningkat jauh dibandingkan dulu yang hanya 25 m3 kayu.
Bagaimana Anda melihat iklim usaha mebel saat ini?
Tantangannya banyak. Harga kayu semakin naik karena pasokannya sedikit. Ini juga tidak lepas dari perilaku teman-teman pelaku usaha mebel. Karena tak punya SVLK, akhirnya harga ditekan. Akibatnya, untuk mengejar omset produksi digenjot banyak-banyak tapi harga diobral. Penggunaan kayu semakin boros. Akhirnya harga kayu naik.
Teman-teman seharusnya mengubah mindset. Harus mau mengembangkan usaha. Implementasi SVLK ini menjadi salah satu cara untuk mengembangkan usaha. Sebab ada perbaikan tata kelola perusahaan. Teman-teman juga harus melakukan inovasi. Jangan boros kayu. Gunakan material lain seperti besi atau kulit dalam memproduksi kayu. Seperti produk saya, bagian yang menggunakan kayu hanya sedikit, sisanya saya gunakan besi. Untuk bahan baku kayu pun saya gunakan yang kayu-kayu yang sisa seperti akar-akaran.
Di sini juga saya lihat SVLK bisa berperan. Dengan penggunaan kayu legal, maka tebangan pohon akan dilakukan secara selektif sehingga lebih baik bagi lingkungan. Masyarakat pun akan mau untuk menanam kembali karena ikut merasakan manfaatnya. Sugiharto