Kementerian Pertanian (Kementan) melalui Ditjen Prasarana dan Sarana Pertanian (PSP) akan mengoptimalkan program Lahan Pertanian dan Pangan Berkelanjutan (LP2B) di 16 provinsi. Untuk itu akan diadakan sosialisasi dan kajian alih fungsi lahan serta strategi pengendaliannya.
Menurut Direktur Perluasan dan Perlindungan Lahan, Indah Megahwati, 16 provinsi itu adalah Aceh, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Banten, DI Yogyakarta, Bali, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan dan Sulawesi Selatan.
Ditjen PSP, kata Indah, akan segera melakukan sosialisasikan UU No. 41 tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan dan turunannya, kemudian akan dilakukan kajian alih fungsi lahan dan strategi pengendaliaannya. Setelah itu akan dilanjutkan dengan penyusunan LP2B skala 1:5.000 hingga 1:10.000.
“Selanjutnya mengeluarkan rekomendasi strategi perlindungan lahan berdasarkan kajian alih fungsi lahan sawah dan peta LP2B,” tuturnya di Jakarta, Rabu (6/2/2019).
Dia menjelaskan, dalam pelaksanaannya akan dibentuk pokja LP2B untuk melakukan koordinasi dan sosialisasi. Nantinya akan membuat kajian alih fungsi lahan yang meliputi alih fungsi lahan sawah aktual, rencana alih fungsi lahan (black design alih fungsi) dan alih fungsi lahan secara legal.
Selain itu akan dilakukan penyusunan peta LP2B, monitoring dan evaluasi dan memberikan rekomendasi. Pembentukan pokja dan sosialisasi ditagetkan selesai bulan Februari 2019.
Sementara pelaksanaan kajian alih fungsi lahan dan pemetaan LP2B dengan swakelola IPL (kerjasama dengan instansi lain) atau swakelola mandiri yang ditargetkan selesai Juni 2019. Sosialisasi kajian akan dilakukan pada Juli dan rekomendasi dikeluarkan bulan Agustus 2019.
Konsistensi Pemda
Alih fungsi lahan menjadi perhatian Kementan, setelah keluarnya hasil pemotretan lahan baku sawah oleh BPS, Badan Informasi Geospasial (BIG) dan Lembaga Antariksa dan Penerbangan Nasional (LAPAN) bahwa telah terjadi penurunan luas sawah baku di Indonesia.
Pada tahun 2013 luas lahan sawah masih 7,75 juta hektare (ha), namun lima tahun berselang (tahun 2018) berkurang menjadi 7,1 juta ha atau terjadi penurunan seluas 650.000 ha. Konversi lahan ini terjadi untuk perumahan, industri dan infrastruktur.
“Terlepas dari itu, yang jelas alih fungsi lahan sulit dihindari. Buktinya, berbagai peraturan mulai dari Undang-Undang (UU) hingga Peraturan Pemerintah (PP) sudah ada, namun konversi lahan tatap terjadi,” papar Indah.
Menurut dia, agar tidak terus terjadi alih fungsi lahan, kuncinya adalah konsistensi pemerintah daerah (Pemda) setempat. Jika Pemda konsisten untuk mempertahankan lahan pertaniannya, maka konversi bisa diatasi. Indah berpesan agar lahan produktif yang masih ada supaya dipertahankan dengan menerapkan ketentuan yang ada.
Di samping itu, Ditjen PSP Kementan juga selalu mencari potensi lahan baru, baik melalui program cetak sawah baru maupun optimalisasi lahan tidur yang selama ini belum dimanfaatkan.
Indah berharap, usulan penerbitan Perpres tentang lahan baku pertanian segera terealisasi. Perpres ini nantinya akan melengkapi peraturan yang sudah ada. Dalam LP2B akan ada insentif bagi pemilik lahan yang tidak mengalihfungsikan lahannya.
Begitu juga dengan pemilik lahan yang ingin membuka sawah, insentif bisa berbentuk saprodi seperti bibit dan pupuk. Untuk insentif keuangan belum disepakati. Saat ini Perpres LP2B sudah berada di Sekretariat Negara untuk pemberian nomor Perpres.
Peran TNI
Sejak tahun 2017, program cetak sawah yang terdiri dari land clearing, land leveling, pembuatan tali air dan jalan produksi, ditangani oleh TNI bekerjasama dengan instansi pertanian setempat. Melalui kerja sama seperti ini, terbukti keberhasilan program ini bisa mencapai di atas 70%.
Sementara jika menggunakan pola lama, yaitu swakelola petani, tingkat keberhasilannya rata-rata di bawah 40%. Bahkan, ada yang gagal sama sekali, sehingga berdampak pada permasalahan hukum.
Menurut Indah, program cetak sawah merupakan salah satu upaya untuk menambah luas baku lahan sawah, sekaligus sebagai salah satu solusi dan kompensasi terhadap alih fungsi lahan yang terjadi saat ini. “Dalam kurun 4 tahun terakhir (2015-2018) sudah melaksanakan kegiatan cetak sawah baru di berbagai daerah seluas 215.811 ha,” katanya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertanian dan Perkebunan Aceh, A. Hanan, SP, MM mengatakan, pihaknya tidak ingin program cetak sawah baru menimbulkan masalah hukum yang akhirnya menjerat aparatur, seperti yang terjadi di beberapa daerah dalam beberapa tahun terakhir.
“Untuk itu, kita sepakat program cetak sawah baru kita bekerja sama dengan teman-teman TNI. Untuk pekerjaan fisik menjadi tugas TNI, sementara yang terkait dengan teknis tetap menjadi tanggung jawab kita,” kata Hanan.
Hanan berharap adanya sharing anggaran dari APBK maupun APBA untuk mendukung program yang menjadi salah satu fokus upaya khusus (upsus) percepatan swasembada pangan ini. Hanan menyadari selama ini program cetak sawah hanya mengandalkan anggaran dari APBN yang jumlahnya sangat terbatas dan semua provinsi berebut untuk mendapatkan.
“Kami berharap ada sharing anggaran dari kabupaten maupun provinsi untuk mendukung program ini, karena program ini langsung menyentuh hajat hidup masyarakat,” katanya. PSP