Tantangan SDM Unggul Kehutanan

Siswa-siswa SMA asyik berbagi pengetahuan pada mini talkshow di stan BPPSDM KLHK pada Gelar Kebangsaan KLHK di Jakarta, Kamis (29/8/2019).
Pramono DS

Oleh: Pramono DS (Pensiunan Rimbawan)

“KITA butuh ilmu pengetahuan dan teknologi yang membuat kita bisa melompat dan mendahului bangsa lain. Kita butuh terobosan-terobosan jalan pintas yang cerdik yang mudah yang cepat. Kita butuh Sumber Daya Manusia (SDM)  unggul yang berhati Indonesia, berideologi Pancasila. Kita butuh SDM unggul yang toleran yang berakhlak mulia. Kita butuh SDM unggul yang terus belajar bekerja keras, berdedikasi. Kita butuh inovasi-inovasi yang disruptif yang membalik ketidakmungkinan menjadi peluang. Yang membuat kelemahan menjadi kekuatan dan keunggulan. Yang membuat keterbatasan menjadi keberlimpahan. Yang mengubah kesulitan menjadi kemampuan. Yang mengubah tidak berharga menjadi bernilai untuk rakyat dan bangsa. Berbekal inovasi, kualitas SDM, dan penguasaan teknologi kita bisa keluar dari kutukan sumber daya alam. Memang negara kita ini kaya bauksit, batubara, kelapa sawit, ikan, dan masih banyak lagi. Tapi tidak cukup di situ. Kalau kita melakukan hilirisasi industri kita pasti bisa melompat lagi”. Itulah sepenggal paragraf pidato Presiden Joko Widodo, didepan sidang bersama DPD dan DPR RI, 16 Agustus 2019.

Kabinet Indonesia Maju untuk masa kerja 2019-2024, telah terbentuk dengan basis pada penguatan SDM Indonesia yang unggul dan telah dipaparkan oleh Presiden.

Secara kebetulan, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tetap dinahkodai oleh orang yang sama, yakni Dr. Siti Nurbaya. Dengan demikian Menteri LHK, sangat paham apa kemauan presiden diera kepemimpinannya pada periode kedua ini. Oleh karena itu, untuk mendeskripsikan SDM unggul kehutanan perlu dipahami dulu tantangannya untuk lima tahun ke depan.

Kutukan Sumber Daya Alam (SDA)  Hutan

SDA kayu dari hutan alam, begitu melimpah diawal tahun 1970-an. Hutan alam Dipterocarpaceae (meranti sp) yang merupakan anugerah Tuhan yang luar biasa membentang luas di Sumatera dan Kalimantan. Permintaan akan kayu meranti di pasar internasional cukup tinggi. Bonanza kayu oleh rezim orde baru selama tiga dekade dimanfaatkan benar sebagai penggerak roda pembangunan, dan  merupakan penyumbang devisa negara nomor dua setelah minyak bumi. Akibatnya hutan alam diekploitasi habis habisan untuk diekspor kayunya  dalam bentuk bahan mentah log (gelondongan).

Izin pengusahaan kayu alam dalam bentuk HPH (Hak Pengusahaan Hutan) baik asing maupun domestik terus bertambah. Pada tahun 2000, misalnya, jumlah hak pengusahaan hutan (HPH) meningkat sekitar 600 unit dan mengusahakan areal hutan lebih dari 64 juta hektare. Devisa negara yang disumbangkan hampir setara dengan minyak bumi, 9 miliar dollar AS per tahun terhadap pendapatan nasional. Ekses yang timbul dari izin HPH yang tidak terkendali ini antara lain adalah tidak cermatnya lokasi kawasan yang ditunjuk. Banyak kawasan hutan yang mestinya berfungsi lindung/termasuk hutan gambut masuk dalam wilayah HPH. Sistem silvikultur TPTI (Tebang Pilih Tanam Indonesia) tidak dipatuhi di lapangan karena pengawasan aparat kehutanan setempat lemah. Singkatnya, kaidah kelestarian produksi hutan alam tidak berjalan dengan baik.

Dengan telah bergantinya rezim dari orde baru ke rezim reformasi, seiring dengan pudarnya kejayaan kayu dari hutan alam Indonesia, muncul masalah baru yang sebenarnya sudah diperhitungkan sebelumnya yaitu bencana ekologis akibat eksploitasi SDA hutan. Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) khususnya dari bekas hutan gambut yang menghasilkan bencana asap, selalu muncul setiap memasuki musim kemarau. Pemerintah pusat maupun daerah dibuat kalang kabut untuk mengatasi karhutla ini. Entah sampai kapan bencana asap dari karhutla tidak setiap tahun terjadi. Belum lagi banjir bandang yang terjadi di daerah hilir sungai yang hulunya bekas kawasan wilayah HPH. Konflik tenurial antar warga yang menimbulkan korban jiwa di kabupaten Mesuji akibat rebutan lahan bekas kawasan HPH dan banyak lagi contoh ekses yang ditimbulkan dari bonanza kayu ini.

Deforestasi dan Reforestasi

Isu deforestasi ternyata tidak hanya menjadi masalah bagi negara Indonesia saja, tetapi juga menjadi isu global.  Pemimpin tertinggi umat katolik, Paus Fransiskus mengatakan bahwa deforestasi dan berkurangnya keanekaragaman hayati dalam waktu cepat di negara-negara tertentu –termasuk Indonesia– tak bisa dianggap sebagai isu lokal. Hal ini karena masalah tersebut mengancam masa depan seisi planet ini (Kompas, 8 September 2019).

Indonesia, sebagai negara tropis mempunyai kekayaan sumberdaya hutan (SDH) tropika basah yang luar biasa luasnya. Data tahun 2017, luas hutannya mencapai 188,8 juta hektare (ha), yang terdiri dari hutan konservasi 11,7%, hutan lindung 15,7%, hutan produksi 36,0%.   Sebagaimana negara lain di daerah tropika seperti Ghana, Pantai Gading, Papua Nugini, Angola, Suriname, Liberia, dan Kolombia , masalah utama dalam kelola hutannya adalah deforestasi yang begitu cepat seiring dengan laju peningkatan jumlah penduduk yang kurang terkendali. Data tahun 2018, luas lahan kritis di Indonesia 14 juta ha dan akan bertambah setiap tahunnya meskipun laju deforestasi dapat ditekan dan menurun setiap tahunnya. Indonesia mencatatkan laju penurunan deforestasi dari 1,92 juta ha pada kurun waktu 2014-2015 menjadi 0,48 juta ha pada 2016-2017 dan sebesar 0,44 juta ha pada tahun 2017-2018.

Di sisi lain, kemampuan pemerintah dalam melakukan kegiatan reforestasi jauh dari menggembirakan. Sejak digaungkan Inpres Reboisasi dan Penghijauan  tahun 1976 di era orde baru dan program Rehabilitasi Hutan dan Lahan (RHL) di era reformasi,  pemerintah cq KLHK masih saja berkutat dengan angka-angka target reforestasi yang seolah olah angka target tersebut dapat mengurangi atau menekan data lahan kritis maupun angka laju deforestasi.  Angka target itupun juga tidak mampu menghilangkan sama sekali dalam batas yang minimal. Direktur Jenderal Pengendalian Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (PDASHL) KLHK, dalam sambutan pada Peringatan Hari Penanggulangan Degradasi Lahan Se-Dunia, 2018, menyatakan kemampuan pemerintah untuk merehabilitasi lahan hanya mencapai 500.700 ha. Sehingga, diperlukan waktu 48 tahun agar zero net degradation dapat tercapai, dengan asumsi ceteris paribus.

Reforestasi yang selama ini dilakukan perlu dievaluasi keberhasilannya. Menanam vegetasi kayu-kayuan di kawasan hutan dapat dinyatakan berhasil apabila tanaman telah mencapai usia sapling (5-6 tahun keatas). Dengan alasan keterbatasan anggaran,  kegiatan reforestasi ini dipelihara dan dievaluasi hanya sampai tahun ketiga dan selanjutnya pemeliharaanya diserahkan kepada kearifan alam. Data luas reforestasi yang dilakukan sejak 43 tahun yang lalu perlu diupdate kembali tingkat keberhasilannya  dengan pendekatan scientific forestry  agar dapat diperoleh angka reforestasi yang sebenarnya.

Progres Perhutanan Sosial

Sebagai ikon program KLHK, mestinya progres Perhutanan Sosial (PS) pada akhir kerja Kabinet Indonesia Kerja lima tahun lalu (2014-2019) sangat menggembirakan baik dari segi realisasi luas yang ditargetkan maupun kualitas  6000 izin yang telah diterbitkan. Namun faktanya, progres PS nampaknya masih memprihatinkan. Dari target 12,7 juta ha selama lima tahun, berdasarkan laporan terakhir sampai November 2019, jumlah PS yang sudah mendapatkan izin baru mencapai 3,5 juta ha dan diharapkan sampai Desember 2019 dapat mencapai 4 juta ha dari target 12,7 juta ha. Ini berarti bahwa sampai akhir tahun periode pertama Menteri Siti Nurbaya, hanya mampu menyelesaikan target PS sebesar kurang dari 50 % (hanya 31,49%).

Di sisi lain, berdasarkan keberhasilan PS,  dari 6.000 izin hutan sosial yang sudah diberikan, 23 unit atau 0,63 % yang produk hutan sosialnya sudah mandiri (kategori Platinum), 143 unit atau 2,75% telah berhasil dalam pembinaan pada aspek kelembagaan, kawasan dan usaha  (kategori Gold), 1.483 unit atau 28,51% telah berhasil dalam pembinaan pada aspek kelembagaan dan kawasan (kategori Silver), dan 3.541 unit atau 68,09 % baru berhasil dalam aspek kelembagaan saja (kategori Blue). Ini berarti bahwa izin usaha PS yang sesuai dengan harapan presiden baru 166 unit atau 3,38 % saja yang mampu menggerakkan perekonomian masyarakat pinggiran (yang bermukim di dalam dan di sekitar kawasan hutan) untuk meningkatkan kesejahteraannya. Sisanya 5.834 unit atau 96,62% belum dapat menikmati berkah dari izin PS ini dan entah sampai kapan.

Bersyukur bahwa penunjukan kembali Dr. Siti Nurbaya sebagai Menteri LHK, setidak tidaknya memberikan harapan bahwa program PS ini akan terus dilanjutkan dan ditingkatkan. Namun demikian untuk mencapai harapan tersebut, perlu strategi baru yang mendukungnya. Presiden dalam satu kesempatan mengatakan bahwa perlu adanya penyederhanaan regulasi dengan menerbitkan undang undang omnibus law yang merevisi sejumlah beleid lain sekaligus. PS juga membutuhkan simplifikasi regulasi khususnya perizinan PS yang selama ini progres realisasi luasnya dinilai rendah. Dari lima skema PS, nampaknya penyederhanaan perizinan diperlukan pada kegiatan Hutan Adat (HA) dan  Kemitraan Kehutanan (KK) agar izinnya tidak berbelit-belit dan membutuhkan waktu yang cukup lama. Di samping itu, penunjukkan dan penetapan tenaga penyuluh dan pendamping kegiatan PS perlu dievaluasi secara berkala oleh KLHK guna mendorong pendampingan dan pembinaan PS agar mencapai tahap pembinaan kelola usaha yang mampu menggerakkan perekonomian pemegang izin PS (minimal  masuk dalam kategori Gold).

SDM Unggul Kehutanan yang Dibutuhkan

Melihat kompleksitas tantangan bidang kehutanan lima tahun ke depan, sudah barang tentu SDM unggul yang dibutuhkan mampu menjawab tantangan tersebut. Efisiensi industri kehutanan dengan terbatasnya bahan baku kayu dari hutan alam, bencana ekologis kabut asap yang menghantui kesehatan manusia setiap tahun khususnya di Sumatera dan Kalimantan, deforestasi hutan yang makin masif yang belum dimbangi oleh keberhasilan reforestasi untuk mengembalikan tutupan hutan, dan progres realisasi Perhutanan Sosial yang masih rendah dibanding dengan target yang ditetapkan.

SDM unggul dapat diperoleh dari rekruitmen pegawai baru yang unggul kualifikasi dan kompetensinya serta diklat pegawai yang sudah ada melalui kurikulum dan silabus yang mampu menjawab kebutuhan dan tantangan masa kini. Badan Penyuluhan dan Pengembangan SDM (BP2SDM) LHK yang mempunyai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) ini, harus mampu memformulasikan model SDM unggul kehutanan pada era revolusi industri 4.0 yang bermain pada tataran digitalisasi, teknologi informasi (TI) dan artificial Intelegence (AI) sesuai dengan kemauan presiden sebagaimana kutipan penggalan paragraf pidato diatas. Semoga.