Oleh: Pramono Dwi Susetyo (Pernah bekerja di Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan)
Suatu kali saya mengurus pergantian sertifikat rumah yang menggunakan format lama dalam bentuk buku menjadi sertikat format baru (elektronik serifikat) yang hanya satu lembar dengan menggunakan barcode di Kantor Agraria/BPN Kota Bogor. Salah satu syarat yang diperlukan adalah cetak foto geo tagging letak tanah dan rumah dari aplikasi GPS Map Camera yang aplikasinya dapat diunduh di playstore smartphone kita. Hasilnya letak rumah dan tanah kita dapat dipantau dari peta google map, dari mulai alamat RT/RW, Kelurahan, Kecamatan dan Kota, Provinsi dan Negara. Posisi Lat-6.543843 derajad dan Long 106.817621 derajad dan difoto dari geotagging tanggal 29/07/24 10.22 AM GMT + 07:00.
Teknologi geotangging nampaknya sangat membantu dan mempermudah dalam mendata posisi persil tanah/lahan bagi kepemilikan masyarakat dalam waktu singkat dan sekejap bagi Kementerian ATR/BPN. Apa sebenarnya geotangging itu? Geotagging adalah proses penambahan metadata yang berisi informasi geografis tentang suatu lokasi ke dalam peta digital. Data biasanya terdiri dari koordinat lintang dan bujur, tetapi mungkin juga menyertakan stempel waktu, serta tautan ke informasi tambahan. Metadata geotagging dapat ditambahkan secara manual atau terprogram. Di Google Maps dan layanan GPS serupa, penandaan geografis juga dapat disebut sebagai dropping pin. Pin dapat ditandai dengan informasi kontekstual untuk berbagi informasi tentang lokasi fisik tertentu. Jenis info kontekstual yang populer termasuk foto, video, URL situs web, dan kode QR.
Geotagging dapat membantu pengguna menemukan berbagai informasi spesifik lokasi dari perangkat. Misalnya, seseorang dapat menemukan gambar yang diambil di dekat lokasi tertentu dengan memasukkan koordinat garis lintang dan garis bujur ke dalam mesin pencari gambar yang sesuai. Data lokasi geografis yang digunakan dalam geotagging dapat, dalam hampir setiap kasus, diturunkan dari sistem penentuan posisi global, dan berdasarkan sistem koordinat lintang/bujur yang menyajikan setiap lokasi di bumi dari 180° barat hingga 180° timur sepanjang khatulistiwa. dan 90° utara melalui 90° selatan di sepanjang meridian utama.
Teknologi geotagging semakin banyak dimanfaatkan adalah karena geotagging memiliki banyak fungsi diantaranya adalah memberikan informasi lokasi; memberikan informasi peta; mencegah pemalsuan lokasi; memberikan informasi akurat; dan memudahkan penelusuran. Bagi Kementerian ATR/BPN, teknologi geotagging nampaknya sangat relevan dan membantu dalamn tugas-tugas dan operasionalisasi lapangan dan wajib digunakan dan dimanfaatkan bagi para petugas lapangan Kemeterian ini. Bagaimana dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang sama-sama mempunyai tugas yang mirip dengan Kementerian ATR/BPN dalam mengurus bentang lahan (spatial). Hanya yang membedakan Kementerian ATR/BPN mengurus lahan di luar kawasan hutan, sedangkan KLHK mengurus lahan di dalam kawasan hutan.
Geotagging di Kehutanan
Teknologi geotagging di kehutanan sebenarnya telah digunakan pada perusahaan/korporasi besar yang bergerak di kehutanan seperti Sinar Mas Group yang menggunakan teknologi ini untuk memantau hutan tanaman industri (HTI) untuk bahan baku pulp (bubur kertas) dari kerusakan tanaman, kematian, pencurian (illegal logging) dan potensi konflik tenurial dengan masyarakat setempat. Di KLHK sendiri teknologi geotagging terpantau dan pertama kali di intodusir oleh Direktur Jenderal Pengelolaan DAS dan Rehabilitasi Hutan (PDASRH) KLHK, Dyah Murtiningsih dalam refleksi akhir tahun 2022 KLHK; mengatakan bahwa pengukuran, pemantauan, dan verifikasi (MRV) rehabilitasi hutan menjadi tantangan ke depan. Direktorat ini baru mengembangkan geotagging tanaman yang memastikan setiap bibit tertanam dengan georeferensi secara spasial (tata ruang). Mungkinkah geotagging bibit tanaman hutan yang baru ditanam dapat dipantau hingga menjadi pohon dewasa?
Secara, teoritis bibit tanaman hutan yang baru ditanam memang dapat dipantau dan diikat dengan teknologi geotagging, namun dengan jumlah bibit yang ribuan bahkan jutaan batang tanaman yang ditanam dilapangan dengan proses pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang cukup panjang dari mulai bibit dalam bentuk anakan (seedling) sampai menjadi pohon dewasa (trees) membutuhkan waktu 15 – 20 tahun, rasanya sulit dan tidak masuk akal memantau batang demi batang setiap bibit yang ditanam.
Masalahnya belum ada tolok ukur keberhasilan rehabilitasi hutan. Keberhasilan rehabilitasi hutan harus dibuktikan dalam bentuk portofolio berdasarkan tata waktu yang runut dan logis dari tanaman berupa anakan (seedling) hingga menjadi pohon dewasa (trees). Portofolio rehabilitasi hutan adalah hasil kerja yang menjadi tanggung jawab Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan di bidang rehabilitasi hutan dan lahan dari mulai tanaman berupa anakan menjadi pohon dewasa yang membutuhkan waktu minimal 15 tahun. Rehabilitasi hutan yang lebih banyak dilakukan dan diterjemahkan dengan kegiatan penanaman kembali (revegetasi) tanaman hutan dalam kawasan hutan yang telah kritis (terdeforestasi) baru dapat disebut berhasil apabila telah menjelma menjadi pohon dewasa dan komunitas vegetasinya telah mampu membentuk menjadi hutan baru sebagaimana yang dipahami selama ini sebagai kawasan hutan.
Empat tahap tanaman tumbuh menjadi pohon: a) seedling (semai) permudaan, mulai ditanam dalam lubang sampai setinggi 1,5 meter (usia 0-5 tahun); b) sapling (sapihan, pancang) permudaan, dari tinggi di atas 1,5 meter sampai pohon muda berdiameter kurang dari 10 sentimeter usia 6-10 tahun; c) pole (tiang) yaitu pohon muda berdiameter 10-35 sentimeter (usia 11-15 tahun); dan d) trees (pohon dewasa) yang berdiameter di atas 35 sentimeter (di atas 15 tahun). Untuk menjadi pohon dewasa dari bibit/anakan mulai ditanam, membutuhkan waktu 15-20 tahun.
Bukti portofolio rehabilitasi hutan: a) Dalam Peraturan Menteri Lingkungan 23/2022 disebutkan bahwa penilaian keberhasilan tanaman pada fase ini dilakukan pada saat akhir penanaman, pemeliharaan I, dan pemeliharaan II. Artinya, penilaian tanaman dilakukan tiga kali, yakni pada saat tanaman berumur 1, 2, dan 3 tahun, sebanyak 75% atau 1.237 anakan per hektare dengan jarak tanam 2 x 3 meter. Penyulaman tanaman yang mati dilakukan pada saat pemeliharaan tahun berjalan sebesar 10%, pemeliharaan I sebesar 20%, dan pemeliharaan II sebesar 10%. Sesuai ketentuan silvikultur hutan dalam proses pertumbuhan tanaman kehutanan dapat dilakukan penjarangan (thinning) dan pemangkasan (pruning) minimal dua kali pada saat tanaman mengalami phase sapling dan pole; b) Bila diasumsikan jarak tanam diperlonggar dengan penjarangan menjadi 3 x 3 meter dengan persen tumbuh 7 %, dalam satu hektar tanaman harus hidup minimal 8.33 pancang tanaman; c) Bila diasumsikan jarak tanam diperlonggar dengan penjarangan menjadi 4 x 4 meter dengan persen tumbuh 100%, dalam satu hektare tanaman harus hidup minimal 625 tiang; d) Minimal pohon yang hidup 80% dari tiang tanaman yang ada atau hidup sebanyak 500 pohon tanaman.
Meskipun peraturan menyebutkan pemeliharaan lanjutan dan pengamanan diserahkan kepada pemangku kawasan, pengelola kawasan dan/atau Dinas Provinsi, faktanya pemeliharaan lanjutan lebih banyak diserahkan kepada mekanisme alam dalam proses tumbuh selanjutnya dari mulai lepas pemeliharaan II (seedling). Proses penilaian tanaman pada fase sapling, pole maupun trees tidak pernah dilakukan. Dengan demikian, portofolio keberhasilan tanaman hanya dilakukan pada fase seedling. Padahal waktu tumbuh tanaman hingga pohon terjadi 5-15 tahun. Seharusnya minimal ada tiga kali bukti portofolio rehabilitasi hutan. Empat portofolio penilaian tanaman tersebut adalah fase secara berurutan. Bagaimana kita memperoleh data valid rehabilitasi hutan dan lahan telah berhasil?. Padahal, di masa krisis iklim, memastikan rehabilitasi hutan sangat penting ketimbang klaim reforestasi yang hanya berdasarkan data luas penanaman di awal kegiatan rehabilitasi.
Yang dapat dilakukan teknologi geotangging untuk kegiatan rehabilitasi hutan barangkali adalah memantau luas keberhasilan tumbuh dan berkembang tanaman hutan dari dari tahapan bibit masih dalam kondisi anakan (seedling) dan penyusutan luas pada saat menjadi sapihan dan terus menyusut luasnya pada saat sapihan sapihan menjadi tiang dan menyusut lagi luasnya pada saat menjadi pohon dewasa sepanjang paradigma kegiatan rehabilitasi hutan masih menggunakan paradigma lama yakni pemeliharan dan pengawasan tanaman selepas umur 3 tahun masih dilepas dan diserahkan kepada mekanisme alam. ***