Terobosan Baru, Pabrik Baja Hemat Emisi dan Uang

Foto: Antara

Ilmuwan Inggris berhasil menemukan cara untuk memangkas emisi karbon dioksida (CO2) dari pabrik besi baja. Tak hanya itu. Temuan ini bisa menghemat uang pula.

Produksi baja menyumbang 7% emisi CO2 secara global. Pembuatan baja juga sulit untuk di-dekarbonisasi karena ketergantungannya yang tinggi pada batubara kokas untuk mengubah bijih besi menjadi bentuk logam mentahnya.

Dalam paper yang dimuat di Journal of Cleaner Production edisi bulan ini, ilmuwan dari University of Birmingham di Inggris mengusulkan penggunaan bentuk mineral perovskite untuk mendaur ulang karbon dioksida yang dihasilkan dari tungku atau tanur sembur pembuatan baja. Jika mereka berhasil membuatnya dalam skala besar, maka emisi selama proses pembuatan baja bisa dipangkas secara drastis, tanpa perlu peralatan atau mesin baru yang mahal.

“Kami hampir bisa sepenuhnya menutup loop. Dari semua gas berbahaya yang dilepas ke atmosfer kini bisa dimanfaatkan untuk sesuatu yang berguna, hanya sekadar mendaur-ulangnya dalam sistem tersebut,” papar Harriet Kildahl, penulis utama studi tersebut.

Saat ini, alternatif pembuatan baja tradisional yang paling banyak digadang-gadang adalah menggunakan hidrogen, diproduksi dengan listrik berbahan baku terbarukan — yang mengubah bijih besi menjadi besi. Proses ini sudah dikenal berpuluh-puluh tahun, tapi para produsen baja baru mau berinvestasi karena biayanya yang sangat mahal.

Mineral perovskite yang diuji oleh para peneliti bisa mengubah karbon dioksida menjadi karbon monoksida, yang bisa didaur ulang kembali ke tanur sembur (blast furnace) pembakaran sebagai alternatif batubara kokas. Hal ini akan memangkas biaya proses secara substansial, dan menjadikannya jauh lebih murah ketimbang proses pembuatan baja yang berbasis hidrogen.

Yang paling penting, teknologi ini juga bisa dipasang pada tanur sembur yang ada, memangkas emisi sekitar 90% dan menghindari adanya investasi besar yang dibutuhkan pada pembuatan baja berbasis hydrogen.

Perovskite adalah mineral jenis kristal, yang dalam kasus ini terbuat dari niobium, kalsium karbonat, bijih besi dan barium karbonat. Perovskite juga telah diusulkan sebagai bentuk baru bahan bakar dan sel surya.

Niobium, yang dianggap sebagai mineral penting, hanya ditambang di Brasil dan Kanada, sehingga menjadikan negara-negara besar — termasuk AS dan China — sangat tergantung dengan impor. Saat ini, niobium dipakai dalam campuran baja, termasuk untuk membuat mobil-mobil yang lebih ringan dan lebih hemat bahan bakar.

“Dari aspek efektivitas biaya, untuk mengurangi aset mangkrak, ini akan jauh lebih cepat ketimbang jalur yang lainnya,” ujar Prof. Yulong Ding, guru besar di University of Birmingham yang juga rekan penulis paper.

Metode ini sudah didemonstrasikan di sebuah laboratorium, tapi tidak dalam skala komersial, yang akan sangat penting untuk membuktikan kelayakannya.

Tantangan yang ada antara lain bagaimana menemukan materi yang bisa menggantikan peran penting batubara kokas pada tanur sembur. Pabrik percontohan komersial kemungkinan baru bisa berdiri dalam kurun lima tahun, kata penulis. AI