Tinjau Ulang RPP Gambut

Koordinasi yang buruk terkait isu lingkungan nampaknya bakal memicu kegaduhan sengit di antara pemerintah, pelaku usaha maupun masyarakat. Kali ini, Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Perlindungan dan Pengelolaan Eksositem Gambut, yang diusung Kementerian Lingkungan Hidup dan sudah memasuki draft final, ditentang banyak pihak. Apalagi, RPP ini sampai disebut lahir karena perang dagang serta memicu ketidakpastian hukum dan investasi.

Upaya pemerintah membuat aturan main perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup, sesuai  UU No. 32 Tahun 2009, mendapat tantangan berat. Gesekan terjadi ketika Kementerian LH dianggap kurang berkoordinasi saat menggarap produk hukum turunan berupa RPP Perlindungan dan Pengelolaan Ekosistem Gambut. Buntutnya, penolakan pun bermunculan.

Mudah ditebak, memang, sektor kehutanan dan perkebunan (pertanian) yang paling nyaring bersuara. Harap maklum, berdasarkan data Kementerian Kehutanan, dari 10,3 juta hektare (ha) hutan yang dibebani hak izin pemanfaatan hasil hutan kayu hutan tanaman (IUPHHK-HT) alias hutan tanaman industri (HTI), sekitar seperlima atau 2,4 juta ha berada di lahan gambut.

Dari sektor perkebunan? Data Kementerian Pertanian juga menunjukkan hal yang sama. Budidaya pertanian di lahan gambut mencapai 2,4 juta ha, di mana 1,6 juta ha dipakai oleh perkebunan kelapa sawit dan sisa 800.000 ha lagi untuk tanaman pangan dan hortikultura.

Jadi, bisa dibayangkan ketika Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) pun langsung bersuara lantang. “Tinjau ulang RPP gambut,” cetus Wakil Ketua APHI, Rahardjo Benyamin di Jakarta, Jumat (8/8/2014).

Suara yang sama juga disampaikan Kepala Balai Besar Sumber Daya Lahan Pertanian (BBSDLP) Badan Litbang Pertanian Kementan, Dedi Nursyamsi. Bahkan, Dedi melihat upaya membatasi pemanfaatan gambut lebih dikarenakan adanya kampanye hitam berlatar belakang perang dagang. “Sawit nasional selalu dikambing-hitamkan sebagai penyebab rusaknya lahan gambut,” tegas Dedi.

Itu sebabnya, kalangan pengusaha sawit pun mendesak pemerintah bersikap arif dan mengakomodir kepentingan semua pihak. “Selama ini pengusaha sudah mengikuti aturan yang ditetapkan dan pemanfaatan lahan gambut untuk perkebunan dibolehkan asal dikelola dengan baik. Jadi, harusnya tak ada lagi aturan yang tumpang tindih dan membingungkan yang menimbulkan ketidakpastian hukum,” ujar Direktur Eksekutif Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Fadhil Hasan. AI