Kepastian Hukum dan Investasi Jadi Taruhan

Pembahasan Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Perlindungan dan Pengelolan Ekosistem Gambut (RPP gambut) memasuki masa-masa krusial. Draft RPP tersebut sudah sampai tahap final menunggu pengesahan. Namun, penolakan malah berhembus makin kencang.

Penolakan RPP gambut datang dari berbagai penjuru mata angin dan dari berbagai pemangku kepentingan. Dari kalangan pelaku bisnis, RPP gambut ditolak karena menimbulkan ketidakpastian hukum dan berusaha.

Sejumlah isu kritis yang diperdebatkan adalah soal penetapan fungsi lindung ekosistem gambut seluas 30% dari luas kesatuan hidrologis gambut dan soal penetapan kriteria baku kerusakan ekosistem gambut.

“Tinjau ulang RPP gambut,” cetus Wakil Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Rahardjo Benyamin di Jakarta, Jumat (8/8/2014).

Wajar jika APHI bersuara lantang. Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, dari 10,3 juta hektare hutan yang telah dibebani izin pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) hutan tanaman industri (HTI), ada 2,4 juta hektare yang berada di lahan gambut (lihat tabel). Sebagai salah satu stakeholder, APHI rupanya merasa belum terakomodasi dalam RPP gambut. Rahardjo mengingatkan, pemerintah harus memerhatikan aspirasi semua pihak, termasuk pelaku usaha, dalam menetapkan peraturan perundangan seperti diatur dalam Undang-undang No.12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Apalagi, meski tidak berlaku surut kepada izin-izin yang sudah diterbitkan, namun jika RPP gambut tersebut berlaku, dikhawatirkan akan membelenggu pengelolaan izin yang ada. “Apa yang kami kerjakan akan selau dikait-kaitkan dengan aturan dalam RPP gambut, walaupun kami memiliki izin yang sah,” kata Irsyal Yasman, yang juga Wakil Ketua APHI.

Pasal 9

Dalam draft RPP gambut, penetapan fungsi lindung ekosistem gambut seluas 30% dari seluruh kesatuan hidrologis gambut yang terletak pada kubah gambut dan sekitarnya tertuang pada pasal 9. Pada pasal tersebut, gambut dengan kedalaman 3 meter atau lebih secara otomatis juga ditetapkan sebagai fungsi lindung.

Ketua APHI bidang HTI, Nana Suparna menyayangkan munculnya ketentuan tersebut. Sebab, kata dia, penetapan hal itu mengacu kepada hasil penelitian yang sifatnya spesifik lokasi yang tidak bisa digeneralisir. Menurut Nana, tidak ada kajian ilmiah yang dapat dipertanggungjawabkan  soal pembatasan ketebalan gambut 3 meter atau lebih.

“Dengan penerapan teknologi pengelolaan air, ketebalan gambut tidak memiliki pengaruh yang berarti,” kata Nana.

Dia mengungkapkan, saat ini ada 2 juta hektare lebih lahan gambut dengan ketebalan lebih dari 3 meter yang telah diusahakan sebagai lahan budidaya. Pembatasan ketebalan gambut seperti diatur pada pasal 9 RPP gambut akan mengubah pola pengelolaan dan peruntukan kawasan budidaya gambut yang sudah berjalan saat ini.

Nana menekankan, lahan gambut yang tidak diusahakan secara legal dan terlantar justru lebih banyak mengalami kerusakan. Lagipula, tidak ada pihak yang dapat diminta pertanggungjawaban.

Sementara soal kerusakaan gambut dalam RPP tersebut diatur pada pasal 23 ayat 3. Berdasarkan ketentuan tersebut, ekosistem gambut dengan fungsi budidaya dinyatakan rusak apabila muka air di drainase berada lebih dari 1 meter di bawah permukaan gambut. Gambut juga dinyatakan rusak apabila sedimen berpirit dan atau kwarsa di bawah lapisan gambut terekspos.

Nana menjelaskan, tinggi rendahnya muka air drainase tidaklah bisa dijadikan patokan kerusakan gambut. Pasalnya, tidak ada permukaan gambut yang rata bak lapangan terbang. Tinggi air drainase juga sangat tergantung kepada musim. Saat musim penghujan, air drainase dipastikan akan lebih tinggi. Penentu lain ketinggian air drainase adalah jenis pohon yang ditanam.

Sementara soal pirit yang muncul di permukaan, Nana menyatakan dengan pemilihan komoditas yang tepat dan penggunaan teknologi gambut, maka hal itu bukan lagi persoalan.

Kepastian hukum

Dia mengingatkan perlunya memberi kepastian hukum dan berusaha untuk pengelolaan HTI. Skema pengelolaan HTI dan industri turunannya, kata Nana, adalah harapan di tengah merosotnya kinerja IUPHHK hutan alam (HPH). “Pengelolaan HTI membuka isolasi daerah tertinggal, menyerap tenaga kerja, dan mendorong pertumbuhan ekonomi,” kata Nana.

HTI, lanjut dia, juga berperan positif dalam mengelola hutan produksi terlantar sehingga berkontribusi pada penyerapan gas rumah kaca. “Publik harus paham, kayu adalah green product. Jika kebutuhan kayu tidak dipenuhi, maka produk subtitusi yang tidak ramah lingkungan seperti baja ringan, alumunium, plastik akan bertambah banyak,” kata Nana.

Berdasarkan argumen tersebut APHI berharap RPP gambut dirancang ulang. Rahardjo menyatakan, pihaknya mengusulkan penetapan kriteria baku kerusakan ekosistem gambut agar tidak diatur dalam RPP, tetapi cukup dalam peraturan menteri sektor terkait, karena pengelolaan lahan gambut setiap sektor memiliki karakteristik tersendiri.

Rahardjo juga mengharapkan penyusunan RPP dimaksud seyogyanya didasarkan pada pendekatan sistem pengelolaan lahan gambut secara holistik, yaitu memaksimalkan pemanfaatan lahan gambut untuk kepentingan pembangunan nasional, dengan tetap meminimalkan dampak negatif dan kondisi-kondisi yang berpotensi merusak ekosistem gambut serta melakukan upaya-upaya perbaikannya melalui input metode, teknologi, manajemen dan pembelajaran dari pengelolaan gambut di lapangan.

Rahardjo menyatakan, dalam proses pembahasan RPP gambut, APHI selaku salah satu stakeholders yang akan terkena dampak pemberlakuan RPP tersebut belum begitu terlibat dalam proses pembahasannya sehingga hal ini berpotensi menimbulkan ketidakjelasan dan masalah dalam penerapannya ke depan. “Kriteria kuantitatif dalam RPP tersebut sulit diterapkan secara serupa di lapangan, karena pola pengelolaan lahan gambut yang dilakukan oleh pemegang IUPHHK sangat bervariasi tergantung tipikal, ketebalan, dan luas bentangannya,” papar Rahardjo. Sugiharto

Akomodir Teknologi, Bukan Sekadar Konservasi

Argumen yang dikedepankan soal pengelolaan gambut didukung oleh pakar gambut dan tanah IPB, Dr. Basuki Sumawinata. Menurut dia, dengan penerapan ilmu dan teknologi sumberdaya gambut bisa dimanfaatkan untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.

“RPP ini tidak mengakomodir kemajuan teknologi untuk perbaikan pemanfaatan, sehingga cenderung mengunakan prinsip kehati-hatian saja. Jadi, setiap ada potensi kerusakan, solusinya konservasi atau biarkan tidak dikelola,” kritik dia.

Basuki mengingatkan, tidak semua lahan gambut bisa secara otomatis ditetapkan sebagai kawasan lindung. Ada lahan gambut yang telah dibebani izin pemanfaatan seperti HTI. Di luar kawasan hutan, lahan gambut juga ada yang dibebani izin perkebunan ataupun infrastruktur. “Jangan lupa, Badan Pertanahan Nasional (BPN) juga telah banyak mengeluarkan sertifikat hak milik terutama terkait transmigrasi. Kalau seperti itu masa langsung ditetapkan sebagai kawasan lindung?” katanya.

Basuki menegaskan, penerapan teknologi ekohidro, di mana air gambut diatur ketinggian sangat tepat untuk pengelolaan gambut. Teknologi itu menjaga gambut tetap basah sehingga memaksimalkan petumbuhan tanaman yang berarti meningkatkan penyerapan karbon, mengurangi risiko kebakaran, menahan subsidensi gambut, dan menjaga emisi gas rumah kaca.

Berdasarkan kemajuan ilmu dan teknologi, Basuki menyatakan tidak seharusnya sebuah Peraturan Pemerintah (PP) mengatur sektor demikian detail. Apalagi telah ada undang-undang (UU) tersendiri di masing-masing sektor untuk hal itu. Sektor kehutanan, misalnya, telah memiliki UU, PP dan peraturan menteri kehutanannya sendiri. Demikian juga untuk perkebunan dan pertanian. “Jadi, soal pengelolan lahan sebenarnya serahkan kepada kementerian masing masing. Tidak tepat jika diatur oleh PP dari lingkungan hidup,” ujar Basuki.

Dia mengatakan, seharusnya yang dipantau  pada lahan budidaya yang berizin misalnya adalah outputnya, produktivitasnya, pencemarannya, faktor emisi gas rumah kacanya. Sementara tindakan pencegahan dilakukan pencegahan melalui pengembangan ilmu dan teknologi yg berkembang terus-menerus. Sugiharto