Titik Panas itu Menyusut Drastis

Datangnya musim penghujan menandai capaian Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) menjinakan si jago merah di hutan dan lahan. Ya, tanpa banyak sorotan, Kementerian LHK mampu meningkatkan keberhasilan pengendalian kebakaran hutan dan lahan (karhutla) pada tahun ini dibandingkan tahun 2016 lalu.

Setelah karhutla hebat tahun 2015, yang menghanguskan 2,6 juta hektare (ha), jajaran Kementerian LHK di bawah kepimpinanan Menteri Siti Nurbaya bekerja cepat untuk melakukan pengendalian karhutla. Hasilnya? Amukan api berhasil dikendalikan. Tercatat hanya terjadi karhutla di areal seluas 438.363 ha di tahun 2016.

Keberhasilan tersebut terus ditingkatkan. Tahun ini, hingga 5 Oktober, luas karhutla hanya 124.743 ha. Angka itu jelas sebuah catatan penurunan yang jauh dibandingkan tahun-tahun sebelumnya.

Keberhasilan pengendalian karhutla ini juga tergambar dari rekaman hotspot (titik panas) dari hasil pantauan satelit. Berdasarkan satelit NOAA periode 1 Januari-10 Oktober 2017, terdapat hotspot sebanyak 2.359 titik di seluruh Indonesia. Sebagai perbandingan, pada periode yang sama di tahun 2016, jumlah hotspot tercatat sebanyak 3.508 titik. Ini berarti jumlah hotspot yang terekam tahun ini turun sebanyak 1.149 titik atau sebesar 32,75%.

Penurunan hotspot juga direkam oleh satelit TERRA-AQUA (NASA) yang memiliki tingkat kepercayaan 80%. Satelit tersebut mencatat jumlah hotspot di seluruh Indonesia pada tahun ini sebanyak 1.719 titik. Jumlah tersebut turun hingga 48,17% jika dibandingkan dengan tahun 2016 pada periode yang sama, yakni sebanyak 3.568 titik.

Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian LHK, Raffles B. Panjaitan mengungkapkan, Menteri Siti Nurbaya telah menginstruksikan untuk dilakukan berbagai upaya pencegahan dan penanganan karhutla. “Salah satunya adalah pembentukan posko patroli terpadu di tingkat tapak, yaitu di desa-desa rawan karhutla,” kata Raffles, Selasa (10/10/2017).

Selain brigade pengendalian karhutla Kementerian LHK Manggala Agni, tim patroli terpadu juga menyertakan unsur TNI, Polri, LSM, BPBD, Masyarakat Peduli Api (MPA) dan pejabat pemerintahan sipil setempat. Tim patroli terpadu bergerak cepat untuk melakukan pengecekan lapangan jika ada indikasi karhutla. Tim juga melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat tentang bahaya dan pentingnya pengendalian karhutla.

Tahun 2016 lalu, tim patroli terpadu bergerak menyusuri 731 desa rawan karhutla. Untuk tahun 2017, tim telah menyusuri 1.203 desa dari target 1.014 desa rawan karhutla. “Kami membentuk 450 posko, di mana setiap posko bisa menjangkau 2-3 desa,” kata Raffles.

Pengecekan hotspot

Di setiap posko, Kementerian LHk menyediakan sarana dan prasarana yang memadai agar tim patroli bisa bereaksi cepat jika ada indikasi karhutla. Di Jakarta juga dibentuk Posko Pengendalian Karhutla tingkat nasional di Kantor KLHK yang beroperasi 24 jam. Posko ini memberi informasi terkini perkembangan hotspot dan prediksi potensi terjadinya karhutla untuk ditindaklanjuti tim patroli di lapangan.

Raffles menjelaskan, pengecekan hotspot di lapangan perlu dilakukan sebagai upaya pencegahan dini terjadinya karhutla. Hotspot atau titik panas merupakan indikator berupa titik koordinat lokasi yang diduga terjadi karhutla. Berdasarkan Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.32/MenLHK/Setjen/Kum.1/3/2016 tentang Pengendalian Karhutla, titik panas atau hotspot adalah istilah untuk sebuah piksel yang memiliki nilai temperatur di atas ambang batas (threshold) tertentu dari hasil intrepretasi citra satelit, yang dapat digunakan sebagai indikasi kejadian karhutla.

Hotspot tidak selalu berarti kebakaran. Jika terjadi hotspot di suatu lokasi, maka kemungkinan di tempat tersebut terdapat kebakaran, namun untuk mengecek kebenarannya diperlukan verifikasi lapangan.

“Disini lah perlunya upaya pencegahan harus dilakukan secara maksimal oleh semua pihak, tidak hanya manggala agni, tapi semua kalangan hendaknya juga ikut berpartisipasi dalam upaya pencegahan ini. Lebih baik mencegah daripada memadamkan,” kata Raffles.

Operasi udara

Selain lewat jalur darat, pengendalian karhutla juga dilakukan melalui operasi udara oleh Satuan Tugas (Satgas) Udara. Satgas Udara terdiri dari Kementerian LHK, Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), TNI Angkatan Udara, dan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT).

Selama 2017, dukungan operasi udara melibatkan 26 unit pesawat untuk water bombing dan teknologi modifikasi cuaca (TMC). Pesawat yang digunakan Satgas Udara, yakni jenis Kamov kapasitas 5.000 liter, Sikorsky 61 dan MI kapasitas 4.000 liter, Bell kapasitas 3.000 liter dan Bolcow kapasitas 0,6 ton.

Menurut laporan Posko Pengendalian Kebakaran Hutan Dan Lahan Kementerian LHK, per tanggal 11 Oktober 2017 telah dilakukan water bombing sebanyak 82.560.650 liter dan penyemaian garam 181,44 ton untuk TMC di seluruh Indonesia.

Langkah lain yang juga berdampak pada keberhasilan pengendalia karhutla adalah inisiasi pembuatan bangunan fisik tata air, khususnya di lahan gambut. Bangun fisik tersebut berupa sekat kanal, embung dan sumur bor dan mulai dilakukan sejak tahun 2015. Saat ini telah terbangun sekat kanal sebanyak 15.636 unit, embung 2.581 unit dan sumur bor 1.527 unit. “Banyak lembaga pemerintah dan swasta yang turut serta dalam pembuatan bangunan tersebut,” kata Raffles. AI

Panggilan Hati Masyarakat Peduli Api

Capaian bagus pengendalian karhutla tak lepas dari peran masyarakat, termasuk mereka yang tergabung dalam Masyarakat Peduli Api (MPA). Meski harus merasakan panasnya api, perihnya mata terkena asap, serta nafas sesak, para anggota MPA bersemangat melakukan berbagai upaya pengedalian karhutla.

Salah seorang anggota MPA, M. Yani (42 tahun), petani asal Desa Tanjung Terantang, Kecamatan Arut Selatan, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah mengungkapkan, dirinya menjadi anggota MPA karena panggilan hati untuk menjaga lingkungan desa dari ancaman karhutla.

“Kami ingin agar desa kami bebas dari kebakaran. Oleh karena itu, kami siap mendukung program pemerintah dalam pengendalian kebakaran, dan salah satunya dengan bergabung menjadi MPA,” ujar Yani.

Semangat tersebut juga ditularkan Yani kepada masyarakat di desanya. Kini, anggota MPA di Desa Tanjung Terantang sudah mencapai sekitar 25 orang. “Kami terus melakukan regenerasi untuk keanggotaan MPA, khususnya untuk menggantikan anggota yang cukup tua dan memiliki keterbatasan untuk ke lapangan”, ujarnya.

Diakui Yani, menjadi MPA memang belum memberikan manfaat secara ekonomi. Namun, Yani dan rekan-rekan MPA di desanya merasa bangga telah memiliki kemampuan dan pemahaman yang lebih baik dalam penanganan karhutla, serta ilmu dalam pembukaan lahan tanpa bakar (PLTB).

“Menjadi MPA memberikan pemahaman baru bagi kami, karena sistem pertanian di Kalimantan ini sangat berbeda dengan di Pulau Jawa, yaitu Sistem Tugal. Jadi sekarang kami tahu bagaimana solusi dalam pembukaan lahan yang benar untuk mencegah terjadinya karhutla,” tutur Yani.

Saat ini ada dua kelompok MPA di Desa Terantang yang dinamakan Kelompok Api Loncat dan Kelompok Bintang Api, dan pemadaman yang dilakukan pun umumnya  masih dalam skala kecil karena peralatan yang terbatas. Yani juga bersyukur, pemerintah melalui Kementerian LHK telah memberikan bantuan beberapa peralatan pada bulan September lalu, dan Yani berharap, selain peralatan, pemerintah juga dapat terus memberikan pelatihan yang berkesinambungan.

“Apabila kebakaran sudah cukup luas, kami segera berkoordinasi dengan Manggala Agni. Sedangkan jika sudah dapat kami atasi, kami cukup melaporkan kepada Manggala Agni secara lisan ataupun melalui telepon seluler” jelas Yani.

Selain pemadaman, Yani bersama rekan-rekan MPA juga aktif melakukan sosialisasi kepada masyarakat mengenai pentingnya upaya pencegahan karhutla. Perjuangan Yani ini mengantarnya sebagai penerima apresiasi Wana Lestari dari Kementerian LHK sebagai MPA Terbaik Tingkat Nasional Tahun 2017. Penghargaan diberikan langsung oleh Menteri LHK Siti Nurbaya. AI