Kekayaan hutan Indonesia yang beribu jenis harus dilestarikan kualitasnya dan dihindarkan dari praktik deforestasi yang terus terjadi.
Disamping berbagai jenis seperti kayu hitam Sulawesi, kayu ulin Kalimantan, Merbau dan kayu swan Papua sampai kayu gaharu Sumatera/Borneo dan cendana Nusa Tenggara ada kayu istimewa yang disebut sebagai magic wood yaitu kayu jati Jawa (Tectona grandis et. de Vries).
Kayu jati telah beratus tahun tumbuh di Jawa di tanah berkapur dan berpasir, umumnya jenis tanah grumusol, di dataran rendah, yang memiliki dua musim kemarau dan penghujan yang jelas.
Usia pohon ini tumbuh sampai usia ratusan tahun. Ketinggian pohonnya mencapai 25-30 meter dengan keliling batang setinggi dada bisa mencapai sekitar 8-10 meter.
Seorang sahabat peneliti hutan jati, Ir. Slamet Soedjono, bertanya, “Apakah cara penanganan jati di Perhutani harus diubah?”. Ini bertalian dengan perkembangan saat ini dalam hal penggunaan kayu.
Dr. Transtoto Handadhari, pakar kehutanan KAGAMA, yang juga Direktur Utama Perum Perhutani 2005-2008 dengan tegas menyatakan hal tersebut harus dilakukan, bahkan ditingkatkan pemuliaannya.
“Sebelum terlambat Pemerintah dan Perhutani sudah harus cepat mengambil langkah penyelamatan kualitas jati yang terus diturunkan umurnya karena alasan ekonomi, dan banyaknya jati kebon masyarakat yang tidak cukup baik pengelolaannya yang murah dan bisa ditebang kapan saja,” ujarnya.
“Penurunan kualitas jati dengan menurunkan umur panen, beredarnya kayu penjarangan tanpa catatan, banyaknya kayu ukuran besar yang mirip jati yaitu kayu meh (trembesi) serta maraknya penebangan liar akhir-akhir ini seperti di Blitar serta alih fungsi hutan jati di Jawa dalam kebijakan kehutanan untuk meningkatkan ketahanan pangan sangat merugikan citra magic woood jati Jawa tersebut”.
“Itu juga diperparah dengan munculnya Deklarasi Menteri Kehutanan yang menyatakan kayu jati dapat ditebang umur 5 tahun di sekitar tahun 2010-an yang saya tentang dalam pertemuan dengan para ahli di Fakultas Kehutanan UGM,” jelasnya.
Pertanyaan Slamet yang dikenal sebagai kamus hidup kehutanan tadi menurut Transtoto perlu didiskusikan dengan dasar keilmiahan dan tinjauan bisnis yang detil dan lengkap.
Dia mengingatkan bahwa adanya tanaman impor Jati Emas tahun 2000-an dari Thailand, dan bahkan Jati Plus Perhutani (JPP) dan lainnya yang berumur pendek akan merusak citra magic wood jati Jawa.
“Kiranya bisa dikompromikan. dengan memisahkan areal pemuliaan jati Jawa yang murni yang kualitasnya prima bersarkan usia minimal 60-70 tahun dan tehnik pemuliaan sempurna yang bisa kita beri nama Jati Prima Indonesia,” sarannya.
“Kompomi itu sangat perlu dengan jati komersial yang bisa ditanam dimana saja termasuk di kebun rakyat sampai daerah Nusa Tenggara dan dipanen sesuai kebutuhan pasar dan tehnologi yang berkembang.
“Untuk penguatannya sebaiknya dilindungi dengan Undang-Undang (UU) dan peraturan tehnis dan sanksi yang lebih detil lainnya. Sedangkan untuk kepentingan komersial bisa diberikan toleransi dengan menanam di lokasi-lokasi yang tidak prima, di tanah rakyat. Dan yang itu bisa dipanen dalam umur yg ber-beda. Dilengkapi dengan petunjuk resmi untuk jenis-jenis produk tertentu,” jelasnya lagi.
Menutup pembicaraan tentang hebatnya pohon dan kayu jati diatas menurutnya ada jenis pohon eksotik sedang dikembangkan di pIndonesia bernama pohon malapari (Pongamia pinnatta) yang mulai dikembangkan di daerah Mamberamo Raya dan daerah Papua sebagai tanaman biofuel yang melimpah untuk ketahanan enerji dan sekaligus meningkatkan ketahanan pangan yang menghasilkan berbagai produk makanan bergizi (Yohanis Enggi, 2024).
Tanaman yang sekali tanam bisa berbuah 3 (tiga) kali setahun dengan produksi pertama di tahun ke 3 sebesar bahan baku minyak nabati 40 kilogram per pohon dan menghasilkan minyak sekitar 240 liter itu dapat tumbuh di mana-mana di negeri ini sampai usia seratus tahun.
“Bela negara dalam bidang ernerji terbarukan dan pangan yang sangat potensial dan sangat efektif menyejahterakan rakyat dan mempercepat perbaikan hutan serta menghijaukan tanah kosong yang sangat luas,” tutup Transtoto kepada Agro Indonesia. ***