Agroforestry Kakao: Alternatif Keberlanjutan dalam Perhutanan Sosial

Ir. Diah. Y. Suradiredja, M.H

Oleh: Diah Y. Suradiredja (Anggota Kelompok Kerja Nasional – Perhutanan Sosial)

Indonesia merupakan negara pengolah produk kakao olahan terbesar ketiga di dunia setelah Belanda dan Pantai Gading.  Sekitar 80% dari total produksi nasional produk olahan kakao diekspor ke 96 negara, dengan volume mencapai 327.091 ton.  Dari data yang ada hingga tahun 2023, volume produksi biji kakao Indonesia pada tahun 2023 mencapai 641,7 ribu ton, mengalami penurunan sebesar 1,36% dibandingkan tahun 2022.  Pada tahun 2022, Indonesia mengekspor 385.981 ton kakao dengan nilai mencapai 1,26 miliar dolar AS.  Negara tujuan utama ekspor kakao Indonesia adalah India (16,76% dari total ekspor), Amerika Serikat (14,84%), dan Cina (10,33%).

Pulau Sulawesi menjadi sentra utama produksi kakao di Indonesia. Sampai Tahun 2024, Kementerian Pertanian mencatat lima besar provinsi penghasil Kakao, yaitu:

  1. Sulawesi Tengah:130,8 ribu ton (20,38% dari total produksi nasional).
  2. Sulawesi Tenggara:102,5 ribu ton (15,97%).
  3. Sulawesi Selatan:94,5 ribu ton (14,73%).
  4. Sulawesi Barat:64,5 ribu ton (10,05%).
  5. Lampung:38,5 ribu ton (6,00%).

Dari sisi data ekspor dan impor kakao, volume pada tahun 2023, Indonesia mengekspor sekitar 340,19 ribu ton kakao dengan nilai mencapai US$1,2 miliar.  Meskipun volume ekspor menunjukkan fluktuasi, terdapat penurunan dalam beberapa tahun terakhir.  Nilai neraca perdagangan kakao Indonesia pada tahun 2023 tercatat sebesar US$218,06 juta, terendah dalam lima tahun terakhir, menurun signifikan dari US$436,75 juta pada tahun sebelumnya.

Meskipun sebagai produsen besar, Indonesia masih mengimpor biji kakao mentah dalam jumlah signifikan untuk memenuhi kebutuhan industri dalam negeri.  Tercatat peningkatan impor kakao pada tahun 2023, dengan volume mencapai 340,45 ribu ton dan nilai sebesar US$979,64 juta. Kenaikan impor ini mencerminkan peningkatan kebutuhan industri pengolahan kakao dalam negeri.

Kementerian Pertanian, melakukan Proyeksi Ketersediaan Kakao. Estimasi 2023-2027, ketersediaan kakao Indonesia diproyeksikan mengalami pertumbuhan positif rata-rata sebesar 2,36% per tahun, dengan estimasi sebagai berikut:

  • 2023:600 ribu ton.
  • 2024:613 ribu ton.
  • 2025:629 ribu ton.
  • 2026:643 ribu ton.
  • 2027:659 ribu ton.

Siapa yang berperan dalam Rantai Pasok Kakao

Industri kakao di Indonesia melibatkan berbagai aktor yang berperan dalam rantai pasok, mulai dari produksi hingga pemasaran, dengan peran yang saling melengkapi, mulai dari petani kecil hingga perusahaan besar. Koordinasi antara berbagai aktor dan penguatan kapasitas petani kecil sangat penting untuk meningkatkan daya saing dan keberlanjutan sektor ini.

Pemain dalam industri kakao di Indonesia meliputi berbagai entitas mulai dari petani kecil hingga perusahaan besar. Petani kakao, yang sebagian besar adalah petani kecil, memainkan peran penting dalam produksi kakao, dengan lahan pertanian mereka yang tersebar di berbagai daerah seperti Sulawesi, Sumatera, dan Jawa. Perusahaan besar seperti PT. Bumitama Gunajaya Agro dan PT. Mars Symbioscience Indonesia juga berperan signifikan dalam pengolahan dan pemasaran kakao. Selain itu, koperasi dan kelompok tani, seperti Koperasi Kerta Semaya Samaniya di Bali, membantu meningkatkan kualitas dan produktivitas kakao melalui program-program edukasi dan sertifikasi. Dukungan dari pemerintah dan organisasi non-pemerintah juga membantu meningkatkan praktik pertanian berkelanjutan dan akses pasar bagi petani. Secara keseluruhan, kolaborasi antara berbagai pemain ini bertujuan untuk meningkatkan daya saing dan keberlanjutan industri kakao di Indonesia.

  1. Petani Kecil (smallholder), merupakan pemain utama dalam produksi kakao Indonesia, menyumbang sekitar 90% dari total produksi nasional. Sebagian besar petani memiliki lahan kecil dengan luas kurang dari 2 hektar. Lokasi sentra produksi: Sulawesi (Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat), Sumatra (Sumatra Utara, Sumatra Barat, Lampung), dan Papua. Mereka memiliki ketergantungan pada tengkulak untuk menjual hasil panen.
  2. Tengkulak dan Pedagang Perantara, memainkan peran penting dalam mengumpulkan biji kakao dari petani kecil dan menjualnya ke pedagang besar atau pabrik pengolahan. Mereka sering menjadi sumber pendanaan bagi petani tetapi menetapkan harga yang lebih rendah dari harga pasar. Tantangannya adalah Ketergantungan petani pada tengkulak menyebabkan petani sulit mendapatkan harga yang adil.
  3. Perusahaan pengolah kakao di Indonesia, baik yang lokal maupun internasional, memainkan peran penting dalam industri kakao global. PT Asia Cocoa Indonesia, salah satu produsen terkemuka di Indonesia, didirikan pada tahun 1995 dan telah berkontribusi signifikan dalam membangun industri kakao lokal dengan mengolah biji kakao menjadi produk berkualitas tinggi. Selain itu, perusahaan internasional seperti PT Mars Symbioscience Indonesia juga beroperasi di Indonesia, memanfaatkan teknologi canggih untuk menghasilkan produk kakao yang memenuhi standar internasional. Kedua perusahaan ini bekerja sama dengan petani lokal untuk memastikan pasokan biji kakao berkualitas dan mendukung keberlanjutan lingkungan1. Dengan kolaborasi ini, industri kakao di Indonesia terus berkembang dan berkontribusi pada perekonomian nasional.
  4. Perusahaan skala besar yang beroperasi dalam industri kakao di Indonesia mencakup entitas lokal dan internasional yang memiliki pengaruh signifikan dalam pasar global. Yang sampai saat ini berperan adalah PT Barry Callebaut, salah satu perusahaan pengolah kakao terbesar di dunia, yang memiliki fasilitas pengolahan di Indonesia untuk memanfaatkan biji kakao lokal.   Mars Symbioscience Indonesia, bagian dari Mars Inc., perusahaan cokelat terkemuka.  Fokus perusahaan ini pada keberlanjutan kakao melalui program “Cocoa Development Center” untuk mendukung petani. Selain itu, PT Cargill Cocoa & Chocolate juga beroperasi di Indonesia, menawarkan produk kakao berkualitas tinggi dan berkelanjutan sambil bekerja sama dengan petani lokal untuk meningkatkan praktik pertanian dan hasil panen.  PT. Mondelez Indonesia, bagian dari Mondelez International, produsen cokelat seperti Cadbury, aktif dalam program keberlanjutan kakao melalui “Cocoa Life Program.”. Lalu ada PT. Olam International adalah perusahaan lainnya yang terlibat dalam industri kakao Indonesia, berfokus pada integrasi rantai pasokan dari perkebunan hingga produk jadi. Perusahaan-perusahaan ini tidak hanya berkontribusi pada ekonomi nasional melalui penciptaan lapangan kerja dan investasi, tetapi juga berperan dalam memajukan praktik pertanian yang berkelanjutan dan berstandar internasional.
  5. Perusahaan Skala Menengah dan Kecil yang beragam adalah perusahaan lokal yang mengolah kakao menjadi produk seperti cokelat batangan, bubuk kakao, dan produk berbasis kakao lainnya. Contoh: Krakakoa, Pipiltin Cocoa, dan Pod Chocolate, yang fokus pada produk cokelat premium dan keberlanjutan.
  6. Eksportir Kakao, bekerja dalam menyalurkan biji kakao mentah dan produk olahan ke pasar internasional. Negara tujuan utama: Malaysia, Amerika Serikat, Belanda, dan China. Contoh Eksportir Besar seperti PT. Barry Callebaut Indonesia, PT. Olam Indonesia, dan PT. Cargill Indonesia.
  7. Asosiasi dan Organisasi yang ada saat ini fokus pada industri kakao dan hulu ke hilir adalah (1) Asosiasi Kakao Indonesia (ASKINDO), yang berperan mewakili petani, eksportir, dan perusahaan pengolahan kakao; dan mengadvokasi kebijakan yang mendukung pengembangan industri kakao. (2) Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI), yang berperan mendukung pengembangan industri pengolahan kakao, dan berfokus pada hilirisasi produk kakao untuk meningkatkan nilai tambah.
  8. Pemerintah, sektoral yang langsung mengelola industri kakao dari hulu ke hilir adalah:
  • Kementerian Pertanian: Bertanggung jawab atas kebijakan dan program pengembangan kakao, termasuk peremajaan tanaman dan pelatihan petani.
  • Kementerian Perdagangan: Mengatur ekspor kakao mentah dan produk olahan untuk mendorong hilirisasi.
  • Pusat Penelitian dan Pengembangan Kakao: Mendukung penelitian untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas kakao.
  1. Lembaga Nonprofit dan Mitra Internasional. Peran dari mereka sangat signifikan untuk industry Kakao di Indonesia.
  • World Cocoa Foundation (WCF): Mendukung program keberlanjutan kakao dan kesejahteraan petani di Indonesia.
  • Rainforest Alliance dan Fair Trade: Mendorong sertifikasi kakao untuk memenuhi standar internasional dan meningkatkan pendapatan petani.
  • Swisscontact dan IDH (Sustainable Trade Initiative): Memberikan pelatihan dan mendukung program keberlanjutan kakao.
Kakao

Tantangan adalah Peluang

Jika dilihat dari peta para pihak yang bekerja dari hulu ke hilir, maka apa yang menjadi tantangan industri kakao di Indonesia? Mengapa Indonesia menghadapi berbagai kendala dan tantangan yang mempengaruhi produksi dan kualitas biji kakao pada tahun 2023 dan 2024?. Salah satu kendala utama adalah penurunan produktivitas tanaman. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), produksi kakao pada tahun 2023 mencapai 641,7 ribu ton, turun dari 650,6 ribu ton (1,36%)  dari tahun 2022.  Pada tahun 2023, produktivitas tanaman kakao di Sulawesi Selatan turun menjadi 0,61 ton per hektar, di bawah target yang diharapkan. Sulawesi Tengah menjadi provinsi penghasil kakao terbesar pada tahun 2023 dengan produksi 130,8 ribu ton, menyumbang 20,38% dari total produksi nasional.

Penurunan jumlah lahan untuk tanaman kakao di Indonesia juga menjadi kendala besar bagi perkembangan industri ini. Pada tahun 2023, luas lahan kakao di Indonesia tercatat sekitar 1,5 juta hektar, turun dari 1,7 juta hektar pada tahun 2017. Penurunan ini disebabkan oleh berbagai faktor seperti perubahan penggunaan lahan, konversi lahan ke jenis tanaman lain yang lebih menguntungkan, serta tekanan lingkungan seperti perubahan iklim dan degradasi tanah1. Hal ini berdampak pada penurunan produksi biji kakao dan meningkatkan ketergantungan pada impor biji kakao mentah untuk memenuhi kebutuhan industri pengolahan dalam negeri. Untuk mengatasi masalah ini, diperlukan upaya kolaboratif antara pemerintah, sektor swasta, dan petani untuk meningkatkan efisiensi penggunaan lahan yang ada dan mendorong investasi dalam teknologi pertanian yang lebih produktif dan berkelanjutan.

Selain itu, serangan hama seperti penggerek buah kakao (PBK) dan penyakit vascular streak dieback (VSD) juga menjadi masalah serius yang mengurangi hasil panen. Penggerek Buah Kakao (PBK), Hama Conopomorpha cramerella menurunkan hasil panen biji kakao hingga 82%. Serangan hama ini dalam satu musim dapat menurunkan hasil rata-rata sebesar 42% dan pada tahun berikutnya dapat mencapai 75%.

Pada persoalan produktivitas, rupanya kualitas juga memiliki peran dalam penurunan produksi kakao. Masih banyak petani yang menggunakan metode budidaya tradisional tanpa penerapan teknologi modern, sehingga produktivitas tidak optimal.  Banyak tanaman kakao yang sudah tua dan rentan terhadap hama serta penyakit, menyebabkan produktivitas menurun. Penggunaan pupuk yang rendah dan kondisi tanah yang menunjukkan gejala ‘letih’ (soil fatigue) juga berkontribusi pada penurunan produksi.

Banyak biji kakao dari perkebunan rakyat tidak difermentasi dengan baik, sehingga kualitasnya lebih rendah dan berdampak pada harga jual. Fermentasi dan pengeringan yang kurang baik menurunkan kualitas biji kakao, sehingga kurang diminati di pasar internasional.  Hal lain juga, industri kakao rakyat ini memiliki ketergantungan pada Pasar Global. Harga kakao di tingkat petani dipengaruhi oleh fluktuasi harga di pasar internasional, yang dapat merugikan petani.

Secara umum, komoditas kakao di Indonesia menghadapi tantangan berupa penurunan produksi dan kualitas biji. Namun, dengan posisi strategis sebagai produsen dan pengolah kakao terbesar di Asia, terdapat peluang besar untuk meningkatkan nilai tambah melalui pengembangan industri pengolahan dan perbaikan mutu biji kakao. Upaya kolaboratif antara pemerintah, industri, dan petani sangat diperlukan untuk memastikan keberlanjutan dan daya saing komoditas kakao Indonesia di pasar global.

Dari beberapa penelitian dan pemikiran ahli dan para pihak yang bekerja di industri kopi, peluang untuk menghadapi tantangan tersebut diatas adalah dengan Menyusun Peta Jalan Agroforestry Kakao yang memasukkan aksi-aksi berikut:

  1. Peremajaan Tanaman: Melakukan peremajaan tanaman kakao yang sudah tua dengan varietas unggul yang lebih produktif dan tahan hama.
  2. Penerapan Teknologi: Mendorong penggunaan teknologi pertanian modern dan praktik budidaya yang baik untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas.
  3. Pengendalian Hama Terpadu: Mengimplementasikan metode pengendalian hama dan penyakit secara terpadu untuk mengurangi kerugian akibat serangan hama.
  4. Pelatihan dan penguatan Kelembagaan Petani: Peningkatan kapasitas petani melalui pelatihan teknik budidaya dan pascapanen yang baik. Serta pembentukan koperasi atau kelompok tani untuk memperkuat posisi tawar petani dalam rantai pasokan.
  5. Diversifikasi Produk: Pengembangan produk olahan kakao untuk meningkatkan nilai tambah dan pendapatan petani.
  6. Peningkatan Akses Pasar dan Modal: Memberikan akses yang lebih baik kepada petani terhadap pasar dan sumber modal untuk mendukung pengembangan usaha tani kakao.

Dengan upaya-upaya tersebut, diharapkan produksi dan kualitas kakao Indonesia dapat meningkat, sehingga mampu bersaing di pasar global.

Perhutanan Sosial dan Pendekatan Agroforestry Kakao Berkelanjutan

Kebijakan Perhutanan Sosial (PS) di Indonesia menunjukkan potensi besar untuk mengembangkan komoditas pertanian, kehutanan, dan perkebunan secara berkelanjutan. Perhutanan Sosial merupakan program yang dirancang untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal melalui pengelolaan hutan berbasis masyarakat. Dua hal yang menjadi dasar kuatnya PS adalah landasan kebijakan yang tujuan untuk, (1) memberikan akses legal kepada masyarakat untuk mengelola kawasan hutan negara dengan prinsip keberlanjutan; dan (2) meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan melalui pemanfaatan hasil hutan kayu dan non-kayu.

Program PS telah mencapai kemajuan signifikan hingga tahun 2024.  Hingga Mei 2024, program Perhutanan Sosial telah mencapai luas 7,08 juta hektar, terdiri dari 10.232 unit persetujuan, dan melibatkan 1,3 juta kepala keluarga di seluruh Indonesia.  Pada Oktober 2024, capaian ini meningkat menjadi 8,01 juta hektar dengan 10.952 unit persetujuan, dan memberikan manfaat kepada lebih dari 1,3 juta kepala keluarga., dengan terbentuk 14.766 Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) yang aktif mengelola dan memanfaatkan hutan berdasarkan potensi yang ada.

Program PS ini telah memberikan Kontribusi nyata melalui Nilai Transaksi Ekonomi dan Indeks Desa Mendiri (IDM). Pada tahun 2023, nilai transaksi ekonomi KUPS mencapai Rp1,13 triliun, melebihi target yang ditetapkan sebesar Rp1 triliun. Untuk tahun 2024, target nilai ekonomi ditingkatkan menjadi Rp1,5 triliun.  Terdapat peningkatan signifikan dalam status desa yang terlibat dalam program Perhutanan Sosial. Desa sangat tertinggal berkurang dari 2.193 desa pada tahun 2016 menjadi 189 desa pada tahun 2023. Sementara itu, jumlah desa mandiri meningkat dari 33 desa pada tahun 2016 menjadi 1.803 desa pada tahun 2023.

Komoditi di areal Perhutanan Sosial memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat lokal sekaligus menjaga keberlanjutan lingkungan. Dukungan dalam bentuk pelatihan, infrastruktur, akses pasar, dan kebijakan yang mendukung sangat penting untuk mengoptimalkan potensi ini. Konsep Agroforestry Kakao dalam PS adalah pendekatan pengelolaan pertanian yang mengintegrasikan tanaman kakao dengan berbagai jenis tanaman lain, seperti pohon peneduh, tanaman pangan, kayu, atau tanaman hortikultura. Agroforestry dirancang untuk meningkatkan produktivitas tanah, keberlanjutan ekosistem, dan kesejahteraan petani.

Pengertian Agroforestry Kakao, adalah pendekatan  berkelanjutan yang menggabungkan sistem budidaya kakao  dengan pohon-pohon atau tanaman lain dalam satu lahan, yang memperhatikan aspek lingkungan dan ekonomi. Sistem ini menciptakan ekosistem yang mendukung produksi kakao sekaligus memberikan manfaat tambahan, seperti perlindungan tanah, pengurangan dampak perubahan iklim, dan diversifikasi pendapatan petani. Empat aspek yang disasar pendekatan ini adalah (1) Keberlanjutan Lingkungan, yaitu menjaga keseimbangan ekosistem dan meningkatkan kualitas tanah; (2) Diversifikasi Pendapatan, yaitu menghasilkan produk tambahan seperti kayu, buah-buahan, dan tanaman pangan; (3)  Mitigasi Perubahan Iklim, yaitu menyerap karbon dan mengurangi emisi gas rumah kaca; dan (4) Manfaat Ekosistem, yaitu meningkatkan keanekaragaman hayati, melindungi tanah dari erosi, dan mengurangi evaporasi air.

Dari sisi keberlanjutan ekologis, sistem ini mampu meningkatkan kesuburan tanah melalui daur ulang bahan organik dari daun pohon. Mengurangi erosi tanah dan meningkatkan retensi air. Juga mendukung keanekaragaman hayati dengan habitat yang lebih kompleks.  Sebagai contoh PS Kakao, Kelompok Usaha Perhutanan Sosial (KUPS) Kakao HKm Batee Lhee Hijau, di Desa Meunasah Bungo, Kecamatan Peudada, Kabupaten Bireuen, Provinsi Aceh telah membuktikan adanya pengurangan erosi tanah dan meningkatkan retensi air. Dengan penerapan teknik sambung pucuk dan pembibitan yang efektif, mereka berhasil meningkatkan produktivitas dan kualitas kakao, serta menciptakan peluang ekonomi yang lebih baik.

Salah satu contoh yang menonjol juga adalah di perkebunan kakao di Sukabumi, Indonesia. Para peneliti dan petani di sana telah menerapkan berbagai teknik konservasi tanah, seperti terasering dan mulsa, untuk mengatasi erosi tanah dan meningkatkan retensi air. Teknik-teknik ini terbukti efektif dalam mengurangi erosi tanah dan meningkatkan retensi air, yang menghasilkan tanaman kakao yang lebih sehat dan meningkatkan hasil panen.

Secara ekonomi Agroforestry Kakao akan memberikan manfaat ekonomi melalui diversifikasi pendapatan petani dengan hasil dari tanaman tambahan.  Hal ini merupakan upaya untuiki meningkatkan stabilitas pendapatan, terutama saat harga kakao menurun.  Hasil penelitian Patinasarai (2028) menunjukkan bahwa pendapatan pada usahatani kakao yang terbesar rata-rata sebesar Rp 20.826.087. Adapun Total penerimaan pada usahatani kakao yang dilakukan oleh petani sebesar Rp594.000.000 , per enam bulan sedangkan rata-rata penerimaan pada usahatani kakao sebesar Rp 22.000.000, per enam bulan. Adanya perbedaan besarnya penerimaan di setiap skala kepemilikan lahan disebabkan oleh perbedaan jarak tanam dan buah yang dihasilkan yang ditanam oleh masing-masing petani.

Sebagai sebuah system agroforestry, komponen yang harus terbangun sebagai Komponen Utama Agroforestry Kakao adalah

  1. Tanaman Kakao: Sebagai tanaman utama yang ditanam dengan jarak tanam optimal untuk memaksimalkan produktivitas.
  2. Pohon Peneduh: Pohon seperti gliricidia, sengon, atau dadap digunakan untuk melindungi kakao dari sinar matahari langsung dan memberikan lingkungan yang mendukung pertumbuhan kakao.
  3. Tanaman Intercropping: Tanaman pangan (seperti pisang, jagung, kacang-kacangan) atau tanaman hortikultura (seperti cabai dan jahe). Tanaman ini memberikan pendapatan tambahan bagi petani selama tanaman kakao masih muda.
  4. Pohon Kayu atau Buah: Pohon kayu seperti jati, mahoni, atau pohon buah seperti mangga, durian, atau alpukat dapat memberikan nilai ekonomi tambahan.

Wilayah Sulawesi dan Sumatra, banyak petani telah mengadopsi agroforestry kakao, meningkatkan produktivitas kakao sekaligus menghasilkan pisang, jagung, dan kayu. Program Pemerintah dan NGO: Beberapa program pelatihan agroforestry, seperti yang didukung oleh pemerintah dan organisasi internasional, telah meningkatkan adopsi sistem ini.

Agroforestri Kakao di areal PS adalah usaha budi daya yang mengkombinasikan elemen pertanian (termasuk di dalamnya perikanan dan peternakan) dengan elemen kehutanan (seperti pohon, semak, dan bambu) baik secara bersamaan maupun secara rotasi (sekuensial).  Selain berpotensi memberikan keuntungan ekonomi bagi petani, agroforestri juga bisa memperbaiki ekosistem yang rusak akibat deforestasi dan sistem perkebunan monokultur (sejenis).

Perhutanan Sosial (PS) sebagai agroforestri kakao menawarkan peluang besar untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan keberlanjutan lingkungan. Salah satu contoh nyata adalah di Kabupaten Konawe, Sulawesi Tenggara, di mana petani menerapkan sistem agroforestri dengan menanam kakao bersama dengan buah-buahan seperti pisang, kelapa, durian, dan rambutan, serta kayu-kayuan seperti jati dan tembusu. Sistem ini tidak hanya meningkatkan diversifikasi pendapatan petani, tetapi juga memberikan manfaat lingkungan seperti penyerapan karbon, lapisan serasah yang melindungi tanah dari erosi, dan peningkatan kualitas tanah.

Data terkini menunjukkan bahwa program-program agroforestri ini telah memberikan hasil yang positif. Misalnya, di Bali Barat dan Trenggalek, program kerjasama antara Koalisi Ekonomi Membumi (KEM) dan PT Amartha Mikro Fintek telah memberikan akses pendanaan mikro, meningkatkan kapasitas, serta literasi keuangan digital bagi pelaku usaha dan petani lokal. Program ini bertujuan untuk memperkuat sektor perhutanan sosial dan sistem agroforestri di beberapa wilayah yurisdiksi, sehingga mendukung pengembangan ekonomi lokal yang berkelanjutan dan inklusif.  Lalu, kita akan melangkah kemana? ***