Oleh: Ir. Diah. Y. Suradiredja, M.H (Mahasiswa Program Doktoral, IPB University)
Menghadapi Regulasi Bebas Deforestasi dari Uni Eropa – EUDR, kesibukan terjadi di negara-negara produsen yang orientasi eksportnya ke Uni eropa, seperti Indonesia. Pemahaman terhadap persyaratan yang harus dipenuhi dalam regulasi ini diperlukan untuk dapat melihat apakan kebijakan “hijau” memiliki dampak yang baik untuk lingkungan, karena ketelusuran asal muasal komoditi menjadi hal yang harus dibuktikan.
Apa yang harus dipenuhi berdasarkan ketentuan EUDR?
Uni Eropa (UE) telah memperkenalkan regulasi baru untuk memerangi deforestasi dan degradasi hutan, mengingat dampak lingkungan yang signifikan dari masalah ini. Antara tahun 1990 dan 2020, sebanyak 420 juta hektar hutan hilang di seluruh dunia, menjadi faktor krusial dalam perubahan iklim dan hilangnya keanekaragaman hayati. Perluasan lahan pertanian, yang menyumbang 90% deforestasi, terutama didorong oleh permintaan untuk komoditas seperti minyak kelapa sawit, kedelai, kayu, sapi, kakao, kopi, dan karet. Sebagai konsumen utama komoditas ini, UE telah menerapkan langkah-langkah ketat untuk memastikan bahwa kegiatan impornya tidak berkontribusi pada deforestasi.
EUDR disahkan oleh Dewan Eropa pada 16 Mei 2023 dan oleh Parlemen Eropa pada 19 April 2023, serta mulai berlaku pada Juni 2023. Implementasi penuh untuk operator atau pedagang diharapkan dalam 18 bulan, dan untuk UMKM di Eropa dalam 24 bulan setelah EUDR mulai berlaku. EUDR dirancang untuk mengatasi deforestasi dan degradasi lingkungan yang disebabkan oleh aktivitas pertanian, penebangan, dan konversi lahan, terutama di luar UE. Berdasarkan Pasal 3 EUDR, diatur bahwa komoditas yang masuk atau diekspor dari UE harus bebas dari deforestasi, diproduksi sesuai dengan peraturan nasional negara produksi, dan tercakup dalam pernyataan uji tuntas.
Ketentuan Due Diligence System
Mengenai sistem uji tuntas (Due Diligence System/DDS), operator yang menempatkan produk di pasar UE atau mengekspor dari UE harus melakukan uji tuntas wajib untuk memastikan bahwa hanya produk yang bebas deforestasi dan legal yang diizinkan. Hal ini mencakup:
- Legalitas: Memastikan produk sesuai dengan hukum negara produksi
- Bebas Deforestasi: Memverifikasi bahwa produk tidak diproduksi di lahan yang mengalami deforestasi setelah tanggal batas yang ditentukan.
- Ketertelusuran: Memberikan ketertelusuran ketat terhadap komoditas hingga plot tanah tempat mereka diproduksi menggunakan koordinat geolokasi. Sistem sertifikasi atau verifikasi pihak ketiga dapat mendukung tetapi tidak menggantikan kewajiban uji tuntas.
Lebih lanjut, salah satu aspek penting dari DDS adalah kebutuhan bagi operator untuk menyediakan informasi yang cukup meyakinkan dan dapat diverifikasi yang membuktikan bahwa produk bebas dari deforestasi. Ini termasuk bukti kepatuhan dengan undang-undang terkait di negara produksi, yang mencakup tidak hanya hak atas tanah tetapi juga undang-undang lingkungan dan tenaga kerja. Operator juga harus melakukan penilaian risiko yang menyeluruh untuk mengklasifikasikan komoditas sebagai risiko standar atau tinggi dan menerapkan strategi mitigasi risiko yang sesuai berdasarkan penilaian ini.
Selain itu, regulasi ini mengharuskan kepatuhan terhadap tanggal batas (cut-off date), yang menetapkan bahwa setiap aktivitas deforestasi dan degradasi hutan yang terkait dengan komoditas harus terjadi sebelum 31 Desember 2020. Untuk memastikan kepatuhan, UE telah membentuk sistem tolok ukur negara, di mana negara dikategorikan ke dalam berbagai tingkat risiko. Untuk negara dengan risiko standar, sebanyak 3% operator diperiksa, sedangkan negara dengan risiko tinggi melihat 9% pemeriksaan terhadap operator dan volume. Negara dengan risiko rendah mendapat manfaat dari proses uji tuntas yang disederhanakan, tanpa penilaian risiko dan mitigasi yang diperlukan, dan hanya 1% operator yang diperiksa.
Tantangan dalam Implementasi EUDR
Meski EUDR bertujuan untuk mengurangi dampak deforestasi melalui regulasi ketat dan persyaratan uji tuntas, pelaksanaannya penuh dengan tantangan. Beberapa potensi permasalahan yang ditimbulkan dari pemberlakuan EUDR antara lain:
- Sistem Tolok Ukur Negara (Country Benchmarking System): Sistem ini mengklasifikasikan negara berdasarkan risiko deforestasi (risiko rendah, sedang, tinggi) yang dapat membebani negara-negara dengan tingkat deforestasi yang tinggi.
- Persyaratan Geolokasi dalam DDS: Persyaratan ini menuntut ketertelusuran dari hulu ke hilir, mengharuskan koordinat geografis untuk lahan ≤ 4 hektar dan poligon untuk lahan > 4 hektar, yang dapat menambah biaya dan kompleksitas dalam pengumpulan data.
- Akses Data: Regulasi ini mengharuskan data terbuka untuk publik, yang dapat menimbulkan masalah terkait privasi dan kerahasiaan data.
- Beban bagi Petani Pekebun: Terutama dalam hal persyaratan geolokasi, yang dapat mengakibatkan petani pekebun dikecualikan dari rantai pasok dan berdampak pada pembatasan perdagangan.
- Sertifikasi Produk: Ketidakjelasan mengenai pengakuan sertifikasi produk yang ada, dan apakah akan diganti dengan kewajiban uji tuntas.
Lebih lanjut terkait petani kecil (smallholders), salah satu masalah signifikannya adalah inklusivitas petani kecil, yang seringkali kurang memiliki dokumentasi yang memadai. Di Indonesia, misalnya, hanya sebagian kecil dari 2,6 juta petani kecil yang memiliki sertifikat elektronik kepemilikan tanah. Selain itu, memastikan praktik pertanian berkelanjutan di semua wilayah merupakan tantangan besar lainnya. Proses tolok ukur diperumit oleh berbagai tingkat risiko di negara yang berbeda. Ketertelusuran, yang melibatkan pelacakan asal dan pergerakan komoditas secara akurat, sangat kompleks, terutama dengan persyaratan data geolokasi. Tidak hanya itu, namun regulasi di negara seperti Indonesia melarang berbagi informasi kepemilikan tanah dan informasi geospasial, karena menimbulkan kekhawatiran tentang kerahasiaan data.
Selain itu, definisi “hutan” di bawah EUDR telah menimbulkan kekhawatiran signifikan di kalangan eksportir, terutama negara dari wilayah tropis seperti Indonesia dan Malaysia. EUDR mengadopsi definisi spesifik yang mencakup lahan dengan pohon lebih tinggi dari 5 meter dan penutup kanopi lebih dari 10%, mengecualikan lahan yang didominasi oleh penggunaan pertanian atau perkotaan. Definisi ini tidak mencerminkan karakteristik ekologis pada wilayah tropis secara memadai, yang semakin menyebabkan kompleksitas dan potensi masalah ketidakpatuhan bagi eksportir. Ketidakselarasan antara definisi EUDR dan standar lainnya, seperti pendekatan High Conservation Value (HCV) atau High Carbon Stock (HCS), pun semakin memperumit kepatuhan.
Terakhir, waktu pengimplementasian EUDR yang telah ditetapkan juga menimbulkan tantangan signifikan bagi petani kecil, yang seringkali kekurangan sumber daya dan pemahaman yang diperlukan untuk mencapai kepatuhan. Regulasi ini mengharuskan bahwa mulai 2 Desember 2024, semua komoditas yang masuk ke UE harus bebas dari deforestasi, dengan kepatuhan yang diverifikasi melalui Sistem Informasi EUDR. Jadwal yang ketat ini memberikan waktu persiapan yang tidak memadai bagi petani kecil untuk beradaptasi dengan persyaratan baru, berisiko mengeluarkan mereka dari rantai pasok. Uji tuntas yang ketat dan kewajiban pengelolaan data EUDR membutuhkan sumber daya yang besar dan secara operasional, sehingga memperparah kesulitan yang dihadapi petani kecil. Tanpa dukungan yang memadai dan panduan yang jelas, petani kecil akan kesulitan untuk memenuhi standar EUDR, yang berpotensi menyebabkan berkurangnya ketersediaan bahan baku dan dampak ekonomi yang lebih luas. ***