Apakah Pemerintah Punya Dana?

Tumpangsari di kawasan hutan

Terbitnya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 88 tahun 2017 tentang Penyelesaian Penguasaan Tanah dalam Kawasan Hutan direspons positif berbagai kalangan. Perpres diharapkan bisa menyelesaikan persoalan penguasaan tanah di kawasan hutan yang mencapai jutaan hektare.

Hasil analisis dari berbagai peta tematik yang dilakukan Fakultas Kehutanan IPB, seperti diungkap Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Hariadi Kartodihardjo, penguasaan tanah dalam kawasan hutan ternyata mencapai 17,4 juta hektare (ha).

“Perpres ini bukan hanya diharapkan mampu mengkoordinasi perbedaan kepentingan antarsektor dan daerah, tetapi juga diharapkan mampu memberi jalan keluar terhadap kebuntuan persoalan penguasaan tanah dalam kawasan hutan di lapangan yang sudah menahun,” kata Hariadi (lihat: Titik Kritis Penyelesaian Penguasaan Tanah Dalam Kawasan Hutan).

Hariadi memiliki beberapa catatan untuk dipertimbangkan Tim Percepatan Penyelesaian Pengusahaan Tanah dalam Kawasan Hutan. Dia mengingatkan agar fakta-fakta lapangan bisa menjadi perhatian supaya Perpres 88/2017 bisa operasional.

Dekan Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, Pontianak, Gusti Hardiansyah juga menilai positif terbitnya Perpres 88/2017. Menurut dia, beleid tersebut bisa menjadi dasar untuk resolusi konflik kepemilikan lahan di kawasan hutan.

Gusti mengingatkan, tingginya potensi konflik karena ada proses pengukuhan kawasan hutan yang lebih lambat dibandingkan keberadaan masyarakat di tempat-tempat tertentu. “Sudah tepat jika ada regulasi yang memberi pengakuan atas lahan yang dikuasai masyarakat,” katanya, Jumat (29/9/2017).

Namun, Gusti menegaskan, regulasi tersebut harus diiringi dengan proses inventarisasi yang tepat untuk mencegah adanya ‘penumpang gelap’ yang mengklaim lahan di kawasan hutan. Inventarisasi, katanya, harus dilakukan parsial satu persatu secara mendetil dengan memperhatikan connecting history mereka yang menguasai lahan.

“Jika memang mereka sudah menguasai sejarah panjang penguasaan lahan, tentu lahan tersebut bisa di-enclave,” kata dia.

Gusti, yang juga Staf Khusus Gubernur Kalimantan Barat untuk Perubahan Iklim, menambahkan, di Kalbar sebenarnya sudah melakukan inventarisasi awal untuk penyelesaian penguasaan lahan di kawasan hutan sejak tiga tahun lalu. Namun, inventarisasi tersebut belum bisa ditindaklanjuti karena belum ada payung hukumnya.

Harus cepat

Sementara itu, pakar hukum kehutanan Dr Sadino mengingatkan pentingnya dilakukan proses inventarisasi secara cepat dan tepat terhadap penguasaan tanah di kawasan hutan. Proses ini tentu membutuhkan biaya yang tidak sedikit.

“Nah, persoalannya, apakah pemerintah punya biaya untuk melakukan inventarisasi ini. Wong saat ini saja banyak tergantung pada utang,” kata dia.

Tanpa inventarisasi yang cepat, maka Perpres 88/2017 justru akan menjadi pintu bagi mereka yang baru merambah hutan untuk tetap menguasai lahan. “Mereka bisa beralasan bahwa tanah yang mereka kuasai sedang diinventarisasi. Padahal, pemerintah belum memiliki dana untuk melakukan inventarisasi,” katanya.

Situasi ini pada akhirnya melahirkan situasi business as usual yang tidak menuntaskan pengukuhan kawasan hutan.

Dia mengingatkan, banyak plasma perkebunan sawit besar yang lahannya berada pada areal yang menurut peta penunjukan berada di dalam kawasan hutan. Sadino sendiri memperkirakan luasnya bisa mencapai 1,5-2 juta ha. Luasan tersebut belum termasuk areal pemukiman, fasilitas umum dan fasilitas sosial.

Perlu sosialisasi

Sementara itu, Sekjen Konsorsium Pembaruan Agria, Dewi Kartika mengapresiasi terbitnya Perpres 88/2017. Adanya Perpres tersebut bisa menjadi jalan keluar untuk penyelesaian persoalan agraria yang dihadapi selama ini.

“Dalam persoalan pertanahan di kawasan hutan, selama ini petani seperti menghadapi tembok yang tidak memberi jalan keluar,” kata dia ketika dihubungi, Jumat (29/9/2017).

Dewi menuturkan, implementasi Perpres 88/2017 bisa diawali dengan berfokus pada 31.000 desa yang saat ini berada di kawasan hutan. Dengan luas mencapai 5 juta ha, bentang alam di desa-desa tersebut sudah berupa ladang, sawah, pemukiman, dan berbagai fasilitas umum dan fasilitas sosial.

Dewi juga mengingatkan pentingnya sosialisasi. Sosialisasi perlu dilakukan kepada pemerintah daerah (pemda) yang akan memegang peran penting dalam proses inventarisasi. Selain itu, sosialisasi terhadap Perpres 88/2017 juga diharapkan bisa meningkatkan partisipasi masyarakat pada proses pemetaan. “Sebab, yang tahu batas antara lahan garapan ya hanya petani itu sendiri,” katanya.

Meski menyambut positif, Dewi juga menilai Perpres 88/2017 banyak kekurangan. Di antaranya adalah belum menyediakan solusi untuk wilayah yang kawasan hutannya kurang dari 30%, seperti di Jawa dan Lampung. Satu-satunya solusi yang ditawarkan adalah melalui Perhutanan Sosial.

Menurut Dewi, meski memberi perluasan akses bagi masyarakat untuk mengelola hutan, namun skema seperti Hutan Desa, Hutan Kemasyarakatan, atau kemitraan tak bisa menjawab fakta perubahan pemanfaatan lahan yang sudah terjadi. Lahan yang sudah berbentuk pemukiman, ladang atau sawah tentu tidak bisa dijadikan bagian dari perhutanan sosial.

Apalagi, lanjut dia, skema perhutanan sosial ternyata tak berjalan mulus. “Ada juga yang menolak seperti yang saat ini terjadi di Jawa,” kata Dewi.

Kekurangan lain yang ada pada Perpres 88/2017 adalah tak adanya solusi untuk penguasaan tanah di kawasan konservasi. Padahal, kata Dewi, banyak masyarakat yang memanfaatkan lahan jauh sebelum kawasan konservasi di tetapkan oleh pemerintah. “Masyarakat adat yang sudah ada terlebih dahulu tentu tak bisa begitu saja direlokasi,” kata dia.

Dewi menambahkan, meski digarap masyarakat, bukan berarti lahan tersebut kehilangan tutupan hutannya. Banyak praktik oleh masyarakat yang ternyata memiliki tutupan hutan yang baik. Sementara pada kawasan hutan, banyak yang ternyata sudah tak berhutan. Sugiharto

Lebih Baik Didorong Implementasi Perhutanan Sosial

Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) menilai ada sisi positif dari terbitnya Perpres 88/2017. Beleid tersebut dipandang sudah diwarnai dengan paradigma kehutanan dibandingnya Peraturan Bersama Mendagri, Menteri PU, Menteri Kehutanan dan Kepala BPN.

“Perpres 88/2017 seiring dengan yurisdiksi di sektor LHK,” kata Diektur Eksekutif APHI, Purwadi Soeprihanto.

Meski demikian, ada kekhawatiran dari Perpres 88/2017. Ketentuan tersebut bisa menggelitik masyarakat untuk mengajukan pengakuan atas tanah yang dikuasai di dalam kawasan hutan. “Pada akhirnya tentu akan mempengaruhi keseimbangan kelestarian hutan yang dikelola,” kata Purwadi.

APHI menilai, ketimbang dilepas dari kawasan hutan, lebih baik jika tanah yang dikuasai di dalam kawasan hutan dikelola dalam skema perhutanan sosial. Dengan begitu, keseimbangan kelestarian di areal izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) tidak terganggu dan masyarakat bisa mendapat pembinaan dari perusahaan pemegang IUPHHK.

“Kami memandang implementasi perhutanan sosial lebih baik untuk menyelesaikan penguasaan tanah di kawasan hutan,” kata Purwadi.

Kekhawatiran yang muncul tak lepas dari adanya klausul tentang penguasaan tanah sepanjang 20 tahun. Klausul ini bisa memicu mereka yang sudah menjalin kemitraan dengan IUPHHK untuk kemudian mengajukan klaim atas tanah. Di sisi lain, masih banyak penguasaan lahan yang berdasarkan surat keterangan atas tanah (SKT) yang diterbitkan kepala desa.

Apalagi, dalam Perpres 88/2017, suara pemegang IUPHHK pada tanah yang diklaim tidak dijadikan pertimbangan. Ini berbeda dengan regulasi lama untuk pelepasan kawasan hutan, di mana tim terpadu akan meminta pendapat dari pemegang IUPHHK, meski pendapat itu tidak menentukan keputusan tim terpadu.

“Pada intinya, kami memandang optimalisasi skema perhutanan sosial akan lebih baik untuk menyelesaikan penguasaan tanah di kawasan hutan yang sudah dibebani IUPHHK,” kata Purwadi. Sugiharto

Baca juga:

Perpres Pelepasan Hutan Untuk Rakyat

Inventarisasi dan Verifikasi Jadi Kunci