Bahaya Ekspor Log

Lesunya bisnis di sektor hulu kehutanan akhirnya menyerempet “bahaya” membuka kembali penyakit lama, penyelundupan dan rusaknya lingkungan, yang sudah dikubur hampir 13 tahun silam. Lewat kajian Litbang Komisi Pemberantas Korupsi (KPK), ekspor log (kayu bulat) direkomendasikan untuk dikaji pembukaannya kembali oleh pemerintah. Sudah begitu parahkah bisnis kehutanan sampai benteng terakhir keunggulan bahan baku harus kembali diobral?

Ketika Muhammad Prakosa dan Rini Soewandi selaku menteri kehutanan dan menteri perindustrian dan perdagangan meneken SKB No.1132 dan No.292 tahun 2001, negeri ini mengubur resep mematikan IMF yang memerintahkan dibukanya ekspor kayu bulat (log) dan bahan baku serpih. Keduanya adalah “nyawa” dan keunggulan Indonesia dalam bersaing di pasar produk kayu internasional.

Namun, di saat industri pengguna kayu rakyat sedang berkembang pesat dan penanaman pun terus digalakkan pemerintah, tiba-tiba saja kran ekspor yang sudah dikubur itu mendadak digali dan ingin dihidupkan kembali. Bedanya, jika dulu yang minta pembukaan adalah IMF, kini rekomendasi itu datang dari hasil kajian Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) — yang termuat dalam Kajian Sistem Perizinan di Sektor Sumberdaya Alam, Studi Kasus Sektor Kehutanan.

Untungnya, Kementerian Perdagangan tidak silau dengan usulan lembaga anti rasuah yang menyentuh langsung persoalan ekonomi praktis ini. Bahkan, Wamendag Bayu Krisnamurthi menyebut Litbang KPK sebaiknya mencari info lebih lengkap soal perdagangan kayu dan sejarah penutupan ekspor log. Kalau perlu, kata Bayu, bandingkan kondisi saat ekspor dibuka dengan ekspor ditutup. “Kemendag tetap mengacu pada rezim nilai tambah,” tegas Bayu.

Bagaimana Kementerian Kehutanan? Sejauh ini, Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan tidak tegas menolak, dan menyebut “ekspor log masih dalam kajian, dan sampai kini belum boleh diekspor.”

Namun, Dirjen Bina Usaha Kehutanan Bambang Hendroyono nampaknya punya pandangan berbeda. Dia sepaham dengan potret Litbang KPK bahwa bisnis kehutanan lesu dan ekspor log bakal memperluas pasar log. Kalaupun belum bisa ekspor log, dia setuju mendorong ekspor kayu olahan dengan penampang yang lebih luas. Bahkan, Bambang menyebut agar luas penampang bisa ditingkatkan menjadi 50.000 mm2.  “Supaya kita bisa ekpor kayu olahan bernilai tinggi dan tak perlu ekspor log,” katanya.

Enak didengar, memang. Tapi buat industri kayu olahan, rencana itu sama saja bunuh diri. Dengan penampang seluas itu, sama saja Indonesia mengekspor bahan baku untuk bisa diolah lagi. Artinya? “Kita memberi peluru musuh untuk menembak kita,” tegas Ketua Umum Asosiasi Industri Kilang Kayu dan Kayu Pertukangan (ISWA), Soewarni. AI