Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) mempermudah proses pengadaan telur ulat sutra dari luar negeri dengan menerbitkan Peraturan Menteri LHK No 37 tahun 2017. Lewat kebijakan ini, usaha budidaya ulat sutra yang banyak dilakukan masyarakat di sekitar hutan diharapkan bisa kembali bergairah. Produksi kokon lokal pun diharapkan meningkat sehingga menekan impor benang sutra yang lebih menguras devisa.
Permen LHK No 37/20017 tentang Pengadaan dan Peredaran Telur Ulat Sutra diteken Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya, 7 Juni 2017. Ketentuan ini merevisi ketentuan lama yang sebelumnya diatur berdasarkan Peraturan Menteri Kehutanan (permenhut) Nomor P.56/2007 tahun 2007.
Direktur Bina Usaha Perhutanan Sosial dan Hutan Adat Kementerian LHK Hargyono menjelaskan, sejatinya tak ada larangan untuk memasukan telur sutra dari luar negeri. Hanya saja birokrasinya panjang. “Sekarang dipermudah untuk meningkatkan produksi kokon di tanah air,” katanya Jumat (7/7/2017).
Dalam regulasi lama, telur ulat sutra yang hendak diimpor harus melewati proses uji adaptasi yang dilakukan oleh Badan Litbang dan Inovasi Kementerian (BLI). Proses ini kerap memakan waktu lama, bahkan hingga setahun sehingga akhirnya dianggap menyulitkan.
Hargyono menjelaskan, dalam ketentuan baru, kewajiban uji adaptasi tetap diberlakukan. Namun, uji adaptasi hanya diberlakukan satu kali di awal rencana impor. “Jika telur sutra memiliki spesifikasi yang sama dan berasal dari hasil persilangan galur murni yang sama dari sumber yang sama, uji adaptasi tak perlu dilakukan lagi,” ujar Hargyono.
Lantas, bagaimana memastikan bahwa telur sutra yang diimpor tidak akan membuat masalah di kemudian hari? Hargyono menjelaskan, meski mempermudah proses uji adaptasi, namun telur sutra yang diimpor tetap harus dilengkapi dengan sertifikat yang menerangkan asal usul, sertifikat kesehatan, dan sertifikat kualitas dari otoritas negara asal. Sertifikat ini lazim diterapkan untuk lalulintas produk asal hewan dan tumbuhan.
“Jadi prosedur pemeriksaan oleh badan karantina di negara asal dan di sini tetap diberlakukan. Ini sebagai pengaman dari penyebaran hama penyakit tanaman,” kata Hargyono.
Kemudahan lain yang ditawarkan dalam regulasi baru adalah perizinan yang cukup di tingkat Unit Pelaksana Teknis Kementerian LHK cq Kepala Balai Perhutanan Sosial dan Kemitraan Lingkungan (PSKL). Dahulu, perizinan harus diurus hingga ke tingkat pusat. Mereka yang mau melakukan impor tak lagi dibatasi, bisa pemerintah, badan usaha milik negara atau swasta maupun perorangan.
Hargyono menjelaskan, kebijakan pengadaan dan peredaran telur ulat diharapkan bisa saling menyokong dengan kegiatan pengembangan spesies ulat sutra lokal. Dia menyatakan, dengan adanya kebijakan ini maka produksi kokon oleh pembudidaya ulat sutra diharapkan bisa meningkat. “Tiga tahun belakangan produksi kokon sekitar 28.500 kilogram per tahun. Kami berharap di akhir 2017 volumenya sudah naik 0,5%,” katanya.
Hargyono menyatakan, dengan meningkatnya produksi kokon, maka produksi benang sutra di tanah air diharapkan bisa meningkat. Ujungnya adalah pengurangan impor benang sutra yang lebih menguras devisa karena berharga mahal. “Lebih baik harga benang sutra yang mahal dinikmati petani lokal kita ketimbang petani dari negara lain,” kata dia.
Saat ini produksi kokon di tanah air memang masih minim. Setahun, hanya bisa menghasilkan sekitar 80 ton benang sutra saja. Padahal, kebutuhan benang sutra nasional tiap tahunnya mencapai 800 ton. Untuk memenuhi kebutuhan itu, impor benang sutra, utamanya dari Tiongkok pun harus dilakukan.
Kebijakan pengadaan dan peredaran telur ulat sutra ini dibahas cukup mendalam bahkan dengan melibatkan wakil rakyat. Sempat digelar Diskusi Kelompok Terfokus Peningkatan Produksi Kokon Sutra Alam yang dihadiri sejumlah kepala daerah dan anggota Komisi VII DPR Andi Jamalo Dulung dan Andi Yuliani Paris.
Desakan Masyarakat
Pemerintah memang cukup lama didesak untuk membenahi regulasi pengadaan dan peredaran telur sutra. “Sudah seharusnya larangan impor telur sutra ditinjau ulang,” kata pemilik PT Arkan Sutra M Kurnia Syam beberapa waktu lalu.
Dia menjelaskan, ada keputusan di level teknis yang menutup impor telur sutra sejak empat tahun belakangan meski dalam regulasi tak ada larangan tersebut. Akibat adanya larangan impor telur sutra, investasi pabrik pemintalan benang senilai Rp2 miliar yang dibangun Kurnia di Wajo, Sulawesi Selatan kini mangkrak. Kondisi tersebut, diakui Kurnia, sangat memberatkan sebagai pelaku usaha kecil dan menengah.
Pilihan impor telur ular sutra dinilai lebih ekonomis dan menguntungkan bagi usaha persutraan di tanah air. Pasalnya, harga benang sutra impor terus melambung belakangan ini. Saat ini harga benang sutra impor di sentra batik Pekalongan, Jawa Tengah, mencapai Rp795.000 per kilogram. Sementara di sentra tenun Wajo, Sulawesi Selatan, harga benang sutra impor mencapai Rp900.000 per kilogram. “Kalau situasinya terus begini, usaha tenun bisa kolaps. Padahal, ada setidaknya 21.000 orang di Wajo yang terlibat dalam usaha ini,” katanya.
Kurnia mengapresiasi upaya Kementerian LHK yang didukung DPR untuk memperbaiki tata niaga telur sutra. Dia mengingatkan, agar ketentuan baru tentang pengadaan telur benar-benar memberi kemudahan bagi pelaku usaha. Ketentuan baru jangan diikuti dengan adanya aturan soal kuota dan jangka waktu pembukaan impor.
Impor telur sutra, dinilai Kurnia sebagai sebuah upaya darurat untuk menyelamatkan usaha persutraan secara keseluruhan. Dia tak berkebaratan jika nantinya impor telur sutra ditutup jika produksi di dalam negeri sudah memenuhi kebutuhan. “Ini ibarat orang sakit, harus masuk UGD (Unit Gawat Darurat) dulu,” katanya.
Impor juga tidak perlu diberi halangan teknis. Kurnia sepakat jika, uji adaptasi seharusnya hanya dilakukan untuk jenis telur sutra yang baru akan diimpor. Uji adaptasi tak perlu lagi dilakukan ulang untuk telur sutra dari jenis yang sama. Kepastian akan jenis ulat sutra yang diimpor sama dengan jenis sebelumnya bisa dibuktikan dari sertifikat asal-usul yang menyertainya. “Jadi proses impor bisa lebih cepat,” katanya.
Kurnia optimis, berbekal pasokan telur sutra yang memadai, usaha persutraan di Sulawesi Selatan bisa bangkit kembali. Saat ini kebutuhan telur ulat sutra di Sulsel mencapai 40.000 boks per tahun dengan setiap boks berisi sekitar 25.000 telur. Setiap boks akan menghasilkan sekitar 5 kilogram benang sutra. Produksi ini memenuhi kebutuhan benang sutra di Sulsel sebanyak 200 ton per tahun. “Kalau sudah ada pasokan dari dalam negeri, kita tak perlu beli benang impor,” katanya.
Dia mengungkapkan besarnya manfaat bagi masyarakat jika ketersediaan telur sutra memadai. Ini karena perputaran uang dari usaha sutra di masyarakat cukup besar. Saat ini saja, Wajo memproduksi sekitar 2 juta meter persegi (m2) tenun sutera. Dengan setiap meter persegi bernilai Rp100.000, maka perputaran uang di masyarakat mencapai Rp200 miliar. Secara nasional, pasar kain sutra sangat besar mencapai 6 juta m2. Sugiharto