SVLK Harus Beri Manfaat Bagi Industri Kecil

Pengrajin mebel

Penerapan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dipahami sebagai sebuah keniscayaan untuk memperbaiki tata kelola hutan di Indonesia. Meski demikian, para pelaku industri kecil dan menengah (IKM) berharap merasakan manfaat nyata dari implementasi sistem tersebut. Dukungan dan pendampingan total pemerintah dan pemangku pihak lainnya sangat dibutuhkan.

Demikian terungkap pada Dialog Kebijakan Nasional bertajuk “Lisensi FLEGT: Mendongkrak bisnis kayu kecil dan menengah di pasar global?” yang diselenggarakan Pusat Riset Kehutanan Internasional (Cifor), Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, lembaga donor Kerajaan Inggris UKAid, dan Pusat Penelitian Agroforestri Internasional (CGIAR) di Jakarta, Kamis (13/7/2017).

Ketua Asosiasi Pengrajin Kayu Jepara (APKJ) Margono menyatakan implementasi SVLK memiliki dampak positif. Misalnya berupa naiknya nilai tawar produk kayu Indonesia di pasar internasional.  Meski demikian dia menekankan, yang terpenting dalam implementasi SVLK bagi IKM adalah bisa memberikan manfaat nyata. “Yang kami rasakan selama ini belum ada manfaat secara langsung yang kami dapat,” kata dia.

Margono menjelaskan, sebagai sebuah sistem, SVLK sangat lekat dengan manajemen usaha. Ini membuatnya sangat mudah diimplementasikan pada industri skala menengah dan besar yang memiliki manajemen bagus. Sementara IKM akan kesulitan karena umumnya tidak memiliki manajemen yang baik.

Apalagi kata Margono, ada dampak pembiayaan dalam implementasi SVLK. Dalam proses sertifikasi dan penilikan, memang ada bantuan pembiayaan. Meski demikian dalam prosesnya ada biaya-biaya yang ditimbulkan untuk melengkapi persyaratan yang dibutuhkan.

Tambahan biaya, ungkapnya, juga terjadi saat IKM membeli bahan baku yang juga harus memanfaatkan kayu bersertifikat SVLK. “Bahan baku kayu bersertifikat SVLK harganya lebih mahal 20%-25%,” ujar dia.

Extra cost juga harus dikeluarkan dalam proses ekspor untuk penerbitan dokumen V-legal yang disertakan pada produk yang dikapalkan. Padahal, tak semua anggota IKM dalam sebuah kelompok yang mendapat sertifikat SVLK bisa melakukan ekspor.

Melihat situasi tersebut, Margono menyerukan perlunya penguatan bagi IKM dalam implementasi SVLK. Pendampingan dan pelatihan untuk memperkuat manajemen IKM mutlak dilakukan. Dia berharap, dalam proses pendampingan tersebut, SVLK tidak diberlakukan secara wajib bagi IKM. “Kalau mandatory menghadang di depan kerugiannya adalah kematian IKM mebel di Jepara,” katanya.

Imbasnya, Jepara akan kehilangan tenaga ukir terampil yang menjadi warisan kota tersebut. “Saat ini ada fenomena dimana investor usaha dari sektor lain seperti tekstil siap mencaplok tenaga terampil mebel,” kata Margono.

Sementara itu Sekjen Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (Himki) Basuki Kurniawan menyatakan sebagai SVLK sangat baik sebuah sistem yang bertujuan untuk mencegah peredaran kayu ilegal dan perbaikan tata kelola hutan. “Persoalannya apakah tepat diterapkan hingga industri hilir? Apakah tidak cukup di hulu saja?,” katanya.

Apalagi, katanya, SVLK yang kemudian berbuah lisensi FLEGT, sebuah lisensi yang dihasilkan dari kesepakatan Indonesia-Uni Eropa  untuk perbaikan tata kelola, penegakan hukum dan perdagangan sektor kehutanan (Forest Law Enforcement, Governance, and Trade/FLEGT), hanya diakui secara formal di kawasan Uni Eropa saja. “Sementara pasar mebel Uni Eropa hanya 35% dari total secara global,” kata dia.

Pun begitu lanjut dia, masih banyak buyer Uni Eropa yang tetap mempersyaratan sertifikat tambahan dari lembaga FSC (Forest Stewardship Council/FSC) ketika membeli produk dari Indonesia. Menurut Basuki, Indonesia telah menjadi anak baik dari percobaan kerja sama FLEGT yang pada perjalanannya membuahkan banyak permasalahan.

Menurut dia, implementasi SVLK terlalu rumit dan memberatkan bagi IKM. Sebagai pemilik industri mebel PT Indoexim Internasional, perusahaan mebel yang telah melakukan ekspor ke 94 negara dan meraih 3 penghargaan Primaniyarta dari Kementerian Perdagangan, Basuki menyatakan, perusahaan mungkin tidak pernah ada jika kewajiban SVLK diterapkan tahun 1998.

Namun pendapat berbeda dinyatakan oleh pemilik PT Jawa Furni Lestari, Jajag Suryo Putro. Dia menyatakan, sebuah skema sertifikasi seharusnya dipahami sebagai sebuah niat baik dalam pengelolaan kelestarian hutan dan lingkungan. Dia menyatakan, perusahaannya yang kini mengekspor 24 kontainer setiap bulannya, sejak awal sudah melengkapi dengan berbagai sertifikat pengelolaan hutan lestari baik skema sukarela, maupun mandatory berupa SVLK.

“Dalam usaha mebel, kita juga jangan sekadar menjual produk. Tapi juga layanan dan solusi. Jika konsumen memang ingin kita menyediakan produk yang ramah lingkungan, kita bisa menyediakannya,” katanya.

Sementara itu penggiat kehutanan Diah Suradiredja mengingatkan implementasi SVLK bukanlah atas desakan negara lain. Melainkan bagian dari komitmen Indonesia untuk memperbaiki tata kelola hutan dan memerangi pembalakan liar. “SVLK justru menjadi high call kita kepada dunia Internasional untuk melakukan hal yang sama,” kata dia. Sugiharto

 

Banyak Faktor Pengaruhi Daya Saing

Dirjen Pengelolaan Hutan Produksi Lestari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Putera Parthama menyatakan implementasi SVLK berhasil meningkatkan kepercayaan konsumen produk kayu Indonesia di pasar internasional. Meski demikian, dia mengakui, implementasi SVLK tidak secara langsung meningkatkan daya saing usaha produk kayu baik besar maupun kecil.

“Ada faktor-faktor lain seperti desain, pemasaran, dan lain-lain yang ikut menentukan daya saing,” katanya menjawab keluhan IKM akan belum adanya manfaat nyata dari SVLK.

Putera menegaskan, pemerintah tak berpangku tangan menghadapi kesulitan yang dihadapi IKM dalam implementasi SVLK. Fasilitasi dan pendampingan secara gratis diberikan dalam proses sertifikasi SVLK. Bentuk lain adalah penyederhanaan tata usaha kayu dan tata niaga kayu untuk mendorong produksi dan pemasaran produk kayu serta penyederhanaan pada kriteria dan indikator standar SVLK. “Tahun 2018, fasilitasi IKM menjadi prioritas nasional oleh Bappenas,” katanya.

Putera menjelaskan dari sisi perdagangan secara umum, SVLK berhasil mendongkrak kinerja ekspor industri kehutanan. Data Kementerian LHK, ekspor tahun 2013 tercatat 6,05 miliar dolar AS dan pada tahun 2014  sebesar 6,59 miliar dolar AS. Nilainya kemudian terus naik menjadi 9,84 miliar dolar AS (2015) 9,26 miliar dolar AS (2016), dan sampai Juni 2017 telah mencapai 5,24 miliar dolar AS.

Khusus untuk produk furnitur yang usahanya didominasi IKM, nilai ekspor pada tahun 2016 tercatat 870,96 juta dolar AS dan pada tahun 2017, hingga Juni, sudah mencapai 801,25 juta dolar AS. Khusus untuk tujuan Eropa, dengan adanya pengakuan dokumen SVLK sebagai lisensi FLEGT terhitung 15 November 2016, ekspor mebel yang dilengkapi dokumen SVLK tercatat 42,5 juta dolar AS pada tahun 2016 dan sudah mencapai 181,23 juta dolar AS hanya sampai Juni 2017.

Sementara itu Deputi Kepala Delegasi Uni Eropa untuk Indonesia Charles-Michel Geurts menyatakan semua pihak harus saling mendukung agar IKM bisa memanfaatkan peluang yang kini terbuka di pasar ekspor pasca pengakuan dokumen SVLK sebagai lisensi FLEGT. “Apa yang dicapai Indonesia saat ini sangat cantik dan menjadi rujukan bagi negara lain,” katanya. Sugiharto