Ekspor Log Masih Dikaji

Pro kontra pembukaan ekspor kayu bulat makin panas belakangan. Maklum tak sedikit yang menentang kebijakan tersebut berkaca kepada pengalaman buruk di masa lalu. Kementerian Kehutanan menegaskan, sampai saat ini kebijakan pembukaan ekspor log masih sebatas kajian.

“Kebijakan ekspor log masih dalam kajian. Sampai saat ini log belum boleh diekspor,” kata Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan di Jakarta, Jumat (11/4/2014).

Menhut menyatakan, dalam membuat kajian pemerintah menerima masukan dari berbagai pihak sehingga tidak merugikan banyak pihak. Dia menyatakan, kajian juga melibatkan Kementerian Perindustrian dan Kementerian Perdagangan.

Rencana pembukaan ekspor log memang setahun belakangan dielus Kemenhut. Rendahnya harga kayu bulat di tanah air menjadi salah satu pertimbangannya. Bandrol kayu bulat yang rendah berdampak kepada lesunya produksi kayu hutan alam. Harga kayu yang tertekan juga disinyalir menjadi penyebab pengelola hutan tanaman industri ogah-ogahan melakukan penanaman.

Rencana tersebut seolah mendapat angin setelah Departemen Penelitian dan Pengembangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melansir Kajian Sistem Perizinan di Sektor Sumberdaya Alam, Studi Kasus Sektor Kehutanan. Secara umum, kajian tersebut mengungkap celah potensi korupsi di sektor kehutanan. Meski demikian, salah satu temuan dalam kajian tersebut ternyata melebar dan menyentuh kebijakan perdagangan kayu bulat.

Larangan ekspor log disebut dalam kajian tersebut rentan memberi perlakuan memihak kepada industri tertentu untuk mendominasi pasar kayu. Rekomendasinya adalah mengkaji ulang dan membuka peluang ekspor log kepada pelaku usaha yang telah memenuhi kriteria tertentu.

Asal tahu, Koordinator tim pada kajian itu adalah pengajar kehutanan Hariadi Kartodihardjo. Dia juga menjadi salah satu pakar yang diminta Kemenhut untuk melakukan kajian ekspor kayu bulat.

Dirjen Bina Usaha Kehutanan Kemenhut Bambang Hendroyono menyatakan, dilakukannya kajian terhadap pembukaan ekspor kayu bulat sejalan dengan rekomendasi yang disampaikan Litbang KPK. “Kajian tim Litbang KPK juga memberikan rekomendasi, dia memotret ada indikasi harga kayu bulat rendah sehingga bisnis di kehutanan lesu,” ujarnya.

Berdasarkan data Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), dari 272 unit izi usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) hutan alam atau HPH hanya sekitar 115 unit saja yang aktif beroperasi. Realisasi produksi kayu pun rendah. Tahun 2013 lalu, sampai Desember, realisasi hanya 2,91 juta m3 atau hanya 32% dari kuota tebangan tahunan yang 9,1 juta m3.

Pada IUPHHK hutan tanaman industri (HTI) kondisinya setali tiga uang. Dari 252 unit HTI yang ada, hanya sekitar setengahnya yang aktif beroperasi. Realisasi tanam pun berjalan lambat. Pada tahun 2013 lalu, sampai Desember, realisasi tanam tahunan hanya 296.091 hektare (ha).

Ketat

Bambang menjelaskan, untuk menggairahkan bisnis pengusahaan hutan harga kayu bulat harus diupayakan meningkat. Salah satu opsinya adalah dengan memperluas pasar kayu gelondongan, tidak hanya di pasar domestik tetapi juga melalui ekspor. “Dengan ekspor, harga di dalam negeri bisa bersaing,” tuturnya.

Pembukaan ekspor log akan diikuti dengan ketentuan ketat. Misalnya, harus berasal dari hutan tanaman dan berkinerja baik ditandai dengan diperolehnya sertifikat pengelolaan hutan produksi lestari (PHPL). “Jadi, kayu hasil landclearing sudah pasti dilarang,” kata Bambang.

Mereka yang boleh melakukan ekspor juga tidak terintegrasi dengan industri untuk mencegah terjadinya gap bahan baku. Ketentuan lainnya yang juga ketat adalah pembatasan pelabuhan ekspor. Hal ini menekan peluang terjadi ekspor log ilegal.

“Kalau ekspor dilakukan tentu ada kriteria-kriteria yang menyertai. Yang mau kita dorong itu hasil hutan tanaman. Soal kayu bulat dari hutan alam kita hati-hati, tidak mudah,” ujarnya.

Bambang meminta soal ekspor log tidak digoreng menjadi isu yang kontroversial. Apalagi, sampai saat ini pemerintah baru pada tahap melakukan kajian pembukaan ekspor.

Dia menjelaskan, tiga direktorat jenderal dari tiga kementerian, yaitu Direktorat Jenderal Bina Usaha Kehutanan Kemenhut, Direktorat Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, dan Direktorat Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian akan terlibat secara bersama-sama dalam kajian komprehensif tentang perdagangan kayu.

Kemendag diminta menjadi koordinator mengurus kajian mulai dari hulu sampai hilir, dan aspek pemasaran perdagangan kayu. Targetnya, hasil kajian rampung September nanti. “Kami akan sama-sama melakukan kajian apakah memang insentif kebijakan ekspor ini bisa diberikan kepada hutan tanaman,” ujar Bambang.

Perluasan penampang

Bambang menuturkan, jika ekspor log belum bisa dilakukan, maka upaya untuk mendongkrak harga kayu bulat dilakukan dengan mendorong ekspor kayu olahan dengan penampang yang lebih luas. Dia menyatakan, kayu olahan dengan penampang yang lebih luas punya harga yang lebih tinggi.

Saat ini, berdasarkan Peraturan Menteri Perdagangan No.64 tahun 2012 tentang Ketentuan Ekspor Produk Industri Kehutanan, kayu olahan jenis Merbau yang boleh diekspor luas penampangnya tidak boleh lebih dari 10.000 milimeter persegi (mm2), sedangkan untuk non-Merbau luas penampangnya maksimal 4.000 mm2.

Menurut Bambang sudah ada kesepakatan antara Kemenhut, Kemendag, dan Kemenperin soal ekspor kayu olahan dengan penampang yang lebih luas. Untuk Merbau, disepakati luas penampang dinaikan menjadi 15.000-20.000 mm2. “Namun, kami sedang upayakan agar luas penampang setidaknya bisa menjadi 50.000 mm2 supaya kita bisa mengekspor kayu olahan bernilai tinggi dan tidak perlu mengekspor kayu bulat,” kata Bambang. Sugiharto

Larangan Ekspor Sebabkan Stagnasi di Hulu

Pembukaan ekspor log menjadi harapan bagi pelaku pengusahaan hutan di tengahnya beratnya operasional usaha akibat melambungnya biaya produksi.

Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) bidang hutan tanaman, Nana Suparna menyatakan, dibukanya ekspor log akan mendorong harga kayu bulat produksi dalam negeri kompetitif. Hal itu pada akhirnya bisa mengimbangi kenaikan  biaya produksi yang disebabkan pengurangan subsidi bahan bakar, kenaikan upah pekerja, dan inflasi.

“Di sisi lain, hampir 15 tahun sejak tahun 2001, harga jual kayu bulat stagnan. Ada kenaikan, tapi relatif tidak besar,” kata Nana.

Menurut Nana, ditutupnya keran ekspor log menjadi penyebab bisnis kehutanan sektor hulu mengalami stagnasi. Bahkan juga menyebabkan penurunan jumlah HPH.

Dia memaparkan, tahun 1992, jumlah HPH mencapai 580 dengan tingkat produksi kayu mencapai 26 juta m3. Saat ini, jumlah HPH tidak sampai 300, dengan tingkat produksi yang hanya 3-4 juta m3.

Nana menekankan, sejatinya usulan pembukan ekspor log tidak akan mengemuka jika harga kayu bulat di dalam negeri tidak tertekan. Dia menambahkan, pelaku pengusahaan hutan bisa menerima langkah pemerintah yang ingin memperluas penampang kayu olahan yang bisa diekspor. “Yang penting harga log di dalam negeri bisa meningkat,” katanya.

Beberapa waktu lalu, Ketua APHI bidang produksi hutan alam David menuturkan, harga log yang terlalu rendah di dalam negeri adalah salah satu persoalan yang dihadapi pelaku bisnis pengusahaan hutan. Untuk itu, APHI berharap pemerintah membuka keran ekspor log secara selektif. Cara lain adalah dengan membuka ekspor produk industri kayu primer, seperti kayu gergajian, atau memperluas penampang produk industri kayu sekunder.

“Harga log kayu alam di dalam negeri saat ini sekitar 1,2 juta/m3, sementara harga di pasar regional bisa mencapai Rp3 juta/m3,” kata David.

Dia menambahkan, ada anomali di industri kehutanan, di mana nilai tambah terbesar justru ada pada produk industri kayu primer dibandingkan produk industri kayu sekunder.  “Kami mendukung hilirisasi, tapi jangan hilirisasi yang justru mengakibatkan berkurangnya nilai tambah. Kalau industri dipaksa menjual produk yang harganya rendah, tentu merugi. Akhirnya yang di hulu juga kesulitan,” kata dia. Sugiharto