Kajian Litbang KPK tidak membuat ciut nyali Kementerian Perdagangan (Kemendag). Kemendag tetap kukuh dan konsisten dengan kebijakannya menerapkan larangan ekspor log (kayu bulat). “Kementerian Perdagangan tetap mengacu pada rezim nilai tambah,” ujar Wakil Menteri Perdagangan (Wamendag) Bayu Krisnamurthi, akhir pekan lalu.
Menurut Bayu, kebijakan larangan ekspor log sampai saat ini masih menjadi kebijakan yang tepat guna menjaga pasokan kebutuhan bahan baku kayu di dalam negeri serta memberikan nilai tambah bagi industri di dalam negeri.
Bayu juga menyatakan tidak gentar walaupun usulan pembukaan kran ekspor log itu datang dari hasil kajian Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Justru dia meminta KPK mencari informasi lebih lengkap lagi soal perdagangan kayu.
“Mudah-mudahan litbang KPK bisa mendapatkan informasi atau mempelajari lebih dalam mengenai sejarah bahwa kita pernah menutup kran ekspor log, kemudian membukanya dan menutupnya lagi,” ujar Wamendag Bayu Krisnamurthi.
KPK juga diminta untuk membandingkan kondisi ketika kran ekspor log dibuka dengan kondisi ketika kran ekspor kayu gelondongan tersebut ditutup oleh pemerintah.
Kegiatan ekspor kayu bulat memang sempat mengalami buka-tutup. Beleid terakhir dibukanya ekspor log terjadi beberapa saat setelah tumbangnya Orde Baru, atas perintah sang mandor besar: IMF. Namun, ketika kabinet Megawati berkuasa, duet Menteri Perindustrian dan Perdagangan Rini Soewandi dan Menteri Kehutanan M Prakosa menutup kran ekspor log dan bahan baku serpih tersebut. Kebijakan itu diteken lewat SKB No.1132/KPTS-II/2001 dan 292.MPP/KEP/10/2001 tentang penghentian ekspor kayu bulat/bahan baku serpih tertanggal 8 Oktober 2001.
Bahkan, tak hanya ekspor log. Pemerintah juga membidik ekspor kayu gergajian dan bantalan kereta api. Lewat Permendag No. 09/M-DAG/PER/2/2007, Mendag Mari Elka Pangestu melarang ekspor bantalan kereta api dari kayu (HS 4406) dan kayu gergajian (HS 4407). Harap maklum, kayu gergajian dan bantalan rel kereta api itu masih bisa diolah di luar negeri menjadi produk jadi yang bisa memukul daya saing Indonesia.
Larangan ekspor itu kemudian diperketat dengan keluarnya Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 20/M-DAG/PER/5/2008. Selain melarang ekspor bantalan rel kereta dan kayu gergajian, pemerintah juga mewajibkan ekspor produk kehutanan dari perusahaan pemegang ETPIK (eksportir terdaftar produk industri kehutanan).
Namun, dalam perjalanannya, keputusan pemerintah melarang ekspor kerap digoyang, terutama yang menginginkan ekspor log. Sebelumnya, Kementerian Kehutanan (Kemenhut) berkeinginan agar bisa mengekspor kayu secara gelondongan. Ekspor kayu gelondongan itu pun oleh Kemenhut nantinya hanya terbuka bagi kayu hasil budidaya hutan tanaman rakyat (HTR).
Tujuan pencabutan larangan ekspor ini untuk membuka pasar bagi kayu gelondongan hasil hutan rakyat. Selain itu kebijakan ini diharapkan akan mendorong pengembangan HTR di daerah. Dan yang terbaru, usulan dibukanya kembali ekspor log datang dari hasil kajian litbang KPK
Jurubicara KPK, Johan Budi SP menyebutkan, usulan bagi dibukanya ekspor log memang datang dari hasil kajian Litbang KPK. Hasil kajian ini juga bukanlah atas permintaan Kementerian Kehutanan.
Menurut Johan, Litbang KPK memang melakukan kajian mengenai tata kelola sektor kehutanan di Indonesia. Dari kajian itu muncul beberapa usulan atau masukan, salah satunya adalah dibukanya kran ekspor log.
Johan Budi mengaku sejumlah usulan atau masukan dari Litbang KPK telah direspon atau ditanggapi oleh sejumlah instansi pemerintah, termasuk Kementerian Kehutanan. Terkait usulan ekspor log, ujarnya, Litbang KPK membuat usulan itu dengan pertimbangan terjadinya kegiatan usaha yang tidak didominasi oleh pihak-pihak tertentu saja.
“Usulan itu keluar karena kami melihat kemungkinan terjadinya aksi monopoli oleh pihak-pihak tertentu dalam kegiatan perdagangan kayu tersebut,” ujarnya. Namun, Johan tidak bisa menjelaskan secara gamblang mengenai potensi monopoli itu.
Hilirisasi
Walaupun usulan pembukaan kran ekspor log datang dari Litbang KPK, Kemendag bergeming dengan sikapnya melarang ekspor log. “Kami tidak merasa terbebani dengan usulan tersebut, walaupun hal itu datang dari KPK,” papar Wamendag Bayu Krisnamurthi.
Menurutnya, Kemendag menginginkan agar pemerintah terutama kementerian terkait tetap mengedepankan terjadinya hilirisasi dan peningkatan nilai tambah produk olahan didalam negeri. “Kementerian Perdagangan ingin terus mengeluarkan kebijakan hilirisasi dan nilai tambah,” ucapnya.
Jika ekspor kayu log ini memang akan dilegalkan, paparnya, sebaiknya dipertimbangan dengan matang mengingat Indonesia mempunyai pengalaman buruk terkait hal ini.
Data Kemendag menunjukkan, tahun lalu ekspor produk kayu Indonesia mencapai 10 miliar dolar AS. Rinciannya, sebanyak 4 miliar dolar AS disumbang ekspor kertas, 2 miliar dolar AS dari ekspor kayu lapis, 1,5 miliar dolar AS dari pulp atau bubur kertas. Sedangkan sisanya dari mebel dan furnitur.
Adapun pasar ekspor produk kayu asal Indonesia cukup beragam. Setidaknya, tahun lalu ekspor produk kayu ke Jepang mencapai 2 miliar dolar AS, Tiongkok 1,5 miliar dolar AS, Amerika dan Eropa masing-masing 1 miliar dolar AS.
Sementara perbandingan harga kayu gelondongan (log) dengan kayu olahan cukup signifikan. Misalnya, harga kayu log awal tahun 2014 adalah Rp1,2 juta hingga Rp1,5 juta/m3. Sedangkan harga ekspor kayu olahan kasar atau plywood sebesar 500 dolar AS (Rp 6 juta) hingga 620 dolar AS (Rp 7,4 juta) per kubik. B Wibowo
Langkah Mundur Bernama Ekspor Log
Wacana pembukaan ekspor log memperoleh penolakan keras dari pelaku industri hilir kehutanan. Ekspor log dinilai bertentangan dengan semangat hilirisasi bahkan menjadi sebuah langkah mundur pengolahan hasil hutan.
Ketua Asosiasi Industri Kilang Kayu dan Kayu Pertukangan (ISWA), Soewarni tegas menyatakan penolakan ekspor log. Pembukaan ekspor log, katanya, akan berdampak langsung kepada kelangsungan industri di tanah air. “Ekspor log bisa mematikan industri di tanah air yang menghidupi ratusan ribu kepala keluarga,” katanya.
Soewarni mengingatkan, pembukaan ekspor log pernah dilakukan di bawah tekanan IMF tahun 1999. Hasilnya adalah merebaknya penyelundupan kayu ke luar negeri. “Dengan perjuangan keras, ekspor log akhirnya berhasil ditutup kembali,” katanya.
Soewarni melanjutkan, meski sudah ditutup, penyelundupan log ilegal masih juga terjadi. “Ditutup saja penyelundupan masih ada. Kalau kembali dibuka, penyelundupan dikhawatirkan kembali marak,” katanya.
Ekspor log juga disebut Soewarni sebagai sebuah kemunduran pengelolaan hasil hutan. Selain itu, kebijakan tersebut juga hanya akan memberi negara lain bahan baku untuk bersaing dengan industri Indonesia.
Soewarni sepakat jika pengembangan HTI harus diberi insentif berupa harga kayu yang menarik. Untuk itu, dia meminta pemerintah lebih serius menggenjot hilirisasi dengan menghapus ekonomi biaya tinggi. “Kalau industri dalam negeri bergairah, pasti harga kayu akan naik seperti yang sudah terjadi di Jawa,” katanya.
Soewarni memaparkan banyaknya kendala yang dihadapi yang membuat industri di tanah air kehilangan daya saing. Soal panjangnya rantai birokrasi pada pengurusan perizinan menjadi salah satu yang paling kronis.
Dia mencontohkan untuk pengurusan tanda daftar industri (TDI) yang merepotkan. “Ada beberapa daerah yang sangat kooperatif untuk perizinan. Tapi banyak yang sangat menyulitkan. Untuk TDI saja mesti diperbaharui setiap tahun. Padahal, prosesnya panjang dan berdampak pada dokumen lanjutan lainnya,” katanya.
Untuk menggenjot serapan kayu bulat di tanah air, Soewarni lebih setuju jika pemerintah melonggarkan ketentuan ekspor produk kayu. Misalnya dengan memperluas penampang kayu pertukangan yang boleh diekspor.
Saat ini penampang kayu yang boleh diekspor dibatasi seluas 4.000 milimeter persegi dan untuk kayu merbau, penampangnya diperkenankan sampai 10.000 milimeter persegi. Soewarni mengusulkan agar luas penampang kayu olahan yang boleh diekspor diperluas menjadi 12.000 milimeter persegi untuk seluruh jenis kayu. “Kayu dengan penampang tersebut diminati pasar,” katanya.
Soewarni menekankan, luas penampang kayu olahan yang bisa diekspor tidak boleh terlalu luas. Dia menyatakan, kalau luas penampang diperluas sampai hingga 50.000 milimeter persegi, itu tak ubahnya dengan mengekspor bahan setengah jadi yang bisa diolah lagi oleh negara pesaing. “Sama dengan memberi peluru kepada musuh untuk menembak kita,” ujar dia.
Penyelundupan
Penolakan ekspor log juga datang dari Asosiasi Mebel dan Kerajinan Rotan Indonesia (AMKRI). Kebijakan itu dinilai akan melemahkan industri mebel dan memicu munculnya modus baru penyelundupan.
Ketua Umum AMKRI, Soenoto menilai, rencana pemerintah mengizinkan ekspor kayu gelondongan tidak sejalan dengan keinginan pemerintah untuk meningkatkan nilai tambah produk dalam negeri.
“Pemerintah sudah punya kebijakan melarang ekspor bahan baku untuk meningkatkan nilai tambah, sekarang kok malah mau membuka ekspor log. Ini jelas sungguh aneh sekali.” kata Soenoto.
Dia memastikan, jika ekspor log ini dibuka, maka akan memberikan efek negatif yang cukup besar terhadap industri pengolahan kayu dan rotan dalam negeri. Karena industri furnitur akan semakin sulit mendapatkan bahan baku.
Menurut Soenoto, saat ini para pelaku industri pengelolaan kayu sudah kekurangan bahan baku. Banyak pengusaha menggunakan bahan baku dari kayu pohon mangga, durian dan nangka. Padahal, kayu jenis itu sebelumnya tidak pernah dipakai. Selain itu, industri mebel terpaksa impor bahan baku dari Brasil dan Selandia Baru. “Impor bahan baku kayu mencapai 20% dari kebutuhan. Nilainya Rp4 triliun-Rp5 triliun. Kalau ekspor log dibuka, habislah kita,” katanya.
Soenoto menuturkan, dalam kondisi sulit, pengusaha lokal seharusnya dibantu. “Kami kesulitan diam saja. tidak minta insentif macam-macam. Tapi kok malah digencet,” keluhnya.
Soenoto juga mengkritik ide ekspor akan dilakukan secara terbatas dengan mengukur diameter kayu. Menurutnya, pembatasan seperti itu hanya akal-akalan dan bisa memicu modus penyeludupan baru. “Bisa saja nanti ketika saat pengukuran kayu, bagian yang diukur yang diameternya kecil. Rentan terjadi akal-akalan lah, jadi penyelundupan terselubung,” terangnya.
Sekretaris Jenderal AMKRI Abdul Sobur menambahkan, untuk mencapai target peningkatan ekspor produk kayu dan rotan senilai 5 miliar dolar AS dalam 4 tahun mendatang, industri dalam negeri paling tidak membutuhkan pasokan kayu log sebesar 12-15 juta m3. Sedangkan untuk memenuhi kebutuhan produk di dalam negeri membutuhkan 30 juta m3. “Jadi, total kebutuhan kayu log secara kesuluruhan mencapai 42-45 juta m3. Nanti bagaimana kalau kayu di dalam negeri diekspor?” katanya.
Abdul menilai, apabila ekspor kayu log dibuka. Indonesia akan mengulang kesalahan yang sama. Nanti kayu log yang sudah diekspor berpotensi dikirim lagi ke Indonesia dalam bentuk barang jadi. “Kayu dijual dari Indonesia, dijual kembali ke Indonesia dengan harga yang lebih mahal,” paparnya. Sugiharto