“Iya,” kata Nur Masripatin sambil tersenyum. Mantan Deputi bidang Tata kelola dan Hubungan Kelembagaan Badan Pengelola pengurangan emisi gas rumah kaca dari deforestasi dan degradasi hutan dan lahan gambut (REDD+) itu relatif tanpa emosi, saat ditanya apakah ia akan kembali bergabung dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Masripatin sejatinya memang pejabat di Kementerian Kehutanan, sebelum digabung menjadi Kementerian LHK.
Sikap Masripatin berbeda dengan pejabat BP REDD+ lainnya yang terkesan emosional, meski tak meletup-letup. Maklum saja, BP REDD+ baru saja dibubarkan oleh Presiden Joko “Jokowi” Widodo. Lewat Peraturan Presiden No.16 tahun 2015 tentang Kementerian LHK tertanggal 21 Januari 2015, Jokowi melebur peran dan tugas BP REDD+ ke dalam Kementerian LHK. Selain BP REDD+, perpres tersebut juga melebur tugas Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI).
“Ini sudden death,” kata Mantan Kepala BP REDD+ Heru Prasetyo saat memberi penjelasan di kantornya, Rabu (28/1/2015). Selain Nur Masripatin, ikut mendampingi deputi BP REDD+ lainnya.
Kematian tiba-tiba BP REDD+ di mata Heru tak lepas dari tak adanya jeda waktu antara pemberlakuan Perpres No.16 tahun 2015 dengan waktu berakhirnya tugas lembaga yang dipimpinnya. Ini berbeda dengan beleid hukum umumnya yang selalu ada masa jeda sebelum diberlakukan. Kematian tersebut juga dinilai mendadak karena Perpres No.16 tahun 2015 itu sejatinya tidak mengatur soal BP REDD+, melainkan lembaga lain, yakni Kementerian LHK. Meski demikian, perpres tersebut menganulir Perpres No.62 tahun 2013, yang menjadi dasar hukum BP REDD+.
“Tidak ada masa transisi. Perpres No.16 tahun 2015 juga tidak ada pengaturan peralihan,” ujar Heru.
Secara diplomatis Heru memang tak mempersoalkan kebijakan yang diambil Presiden Jokowi. Meski demikian, dia memperingatkan bahwa kebijakan tersebut melanggar Surat Kesanggupan (Letter of Intent/LoI) antara Indonesia dengan Norwegia dalam bekerjasama soal REDD+. Menurut Heru, LoI tersebut secara jelas mempersyaratkan adanya badan khusus yang mengurus soal REDD+. “Kementerian LHK tidak memenuhi syarat tersebut,” tukasnya.
Eksistensi BP REDD+ memang tak bisa dilepaskan dari LoI Indonesia-Norwegia. Dokumen tersebut diteken pada 26 Mei 2010 di Oslo, Norwegia dan penuh kontroversi. Berdasarkan dokumen tersebut, kedua negara berkomitmen untuk bekerjasama dalam kegiatan REDD+. Indonesia melakoni sejumlah kegiatan, termasuk memberlakukan kebijakan penundaan izin baru di hutan alam primer dan lahan gambut. Kebijakan yang populer dengan moratorium hutan itu direspon protes di tanah air. Sebagai timbal balik dari langkah-langkah yang diambil Indonesia, Norwegia berjanji untuk membayar kompensasi sebesar 1 miliar dolar AS.
Menurut Heru, karena pembubaran BP REDD+ menerabas LoI, sangat dimungkinkan jika Norwegia mengambil langkah untuk membatalkan dokumen tersebut. Dalam LoI, secara gamblang juga disebutkan kedua belah pihak bisa membatalkannya kapan pun.
Meski demikian, Heru menuturkan, dia sempat berkomunikasi dengan pemerintah Norwegia ketika isu pembubaran BP REDD+ sudah mencuat. “Norwegia menyatakan masih berkomitmen mendukung Indonesia dalam menjalankan agenda REDD+, selama Indonesia juga memiliki komitmen yang sama,” katanya.
Kritik KPH
Heru juga mengingatkan, pembubaran BP REDD+ mungkin bisa menyulitkan implementasi REDD+ dan perbaikan tata kelola hutan. Dia mengklaim, selama BP REDD+ (sebelumnya Satuan Tugas REDD+) eksis, banyak capaian yang berhasil diraih dibandingkan jika agenda REDD+ dilaksanakan oleh institusi konvensional seperti kementerian. “Dengan BP REDD+ terjadi peningkatan transparansi, inklusif, dan lebih akuntabel. Koordinasi antara lembaga juga lebih mudah,” katanya.
Terkait lambatnya perbaikan tata kelola hutan jika dilakukan oleh lembaga konvensional, Heru mencontohkan pembentukan Kesatuan Pengelolan Hutan (KPH). Meski sudah sejak lama KPH disebut sebagai elemen utama perbaikan tata kelola hutan, nyatanya unit pengelola hutan di tingkat tapak tersebut tak kunjung beroperasi dengan baik. “Rencana pembangunan KPH sudah 30 tahun tapi sampai sekarang nggak jadi-jadi,” katanya.
Meski demikian, Heru tetap berharap, pemerintah saat ini bisa melanjutkan agenda REDD+ dan perbaikan tata kelola hutan. “Mari sepenuh hati kita dukung proses ini dan biarkan masyarakat yang menilainya. Saya tidak mau berandai-andai. Kita optimis saja, apa yang telah dilakukan BP REDD+ akan disinergikan seiring peleburan ini. Kita dukung sepenuhnya Ibu Menteri Siti Nurbaya yang akan memproses perubahan ini,” kata dia diplomatis.
Pemerintah semu
Bubarnya BP REDD+ tidak lepas dari campur tangan Menteri LHK Siti Nurbaya. Dia melihat selama ini pengelolaan pengendalian perubahan iklim dilakukan oleh beberapa lembaga yang berindikasi tumpang-tindih antara Kementerian LHK, BP REDD+ dan Dewan Nasional Perubahan Iklim (DNPI). Untuk itu, saat mengusulkan struktur kelembagaan Kementerian LHK, dia mengajukan Direktorat Jenderal Pengendalian Perubahan Iklim yang diperkuat untuk melaksanakan seluruh tugas yang tumpang tindih itu. “Agar tidak ada quasi government,” katanya.
Siti sendiri memastikan agenda soal mitigasi dan adaptasi perubahan iklim akan terus dilaksanakan. Untuk memperkokoh Ditjen Perubahan Iklim, nantinya akan dibentuk semacam dewan penasehat yang terdiri dari para pakar. Tim ini dirancang lebih teknis untuk mencakup aspek-aspek dukungan stakeholders gerakan sosial kemasyarakatan dalam dan luar negeri serta pendanaan internasional.
Dia menjelaskan, dulu BP REDD+ diperlukan karena kurangnya kepercayaan terhadap lembaga yang lebih dulu eksis. Namun, kini, dengan kepercayaan besar yang diberikan kepada pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, maka lembaga seperti itu tak diperlukan lagi.
Sekjen Kementerian LHK Hadi Daryanto menambahkan, dileburnya BP REDD+ ke dalam kementerian LHK tidak melanggar LoI Indonesia-Norwegia. Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim, nantinya bisa ditunjuk sebagai lembaga khusus yang menjalankan agenda REDD+ seperti dipersyaratklan LoI. “Jadi tidak ada yang dilanggar,” katanya. Sugiharto
Baru 30 Juta Dolar AS yang Mengucur
Pembubaran BP REDD+ mungkin saja direspon negatif oleh Norwegia. Jika itu terjadi, maka LoI bisa batal dan dipastikan janji Norwegia untuk menyalurkan kompensasi 1 miliar dolar AS lenyap. Sejauh ini, sudah 4,5 tahun setelah LoI diteken, Norwegia baru menyalurkan dana sebesar 30 juta dolar AS.
Mantan kepala BP REDD+ Heru Prasetyo menjelaskan, dana yang disalurkan Norwegia memang belum banyak. Soalnya, penyaluran dana dilakukan bertahap sesuai dengan tahapan dan performa yang dicapai. Dana sebesar 30 juta dolar AS yang sudah disalurkan dimanfaatkan untuk tahap pertama pelaksanaan LoI, yaitu persiapan.
Dalam tahap itu, Indonesia di antaranya sudah membangun strategi nasional REDD+ dan menunjuk provinsi percontohan. Ditunjukanya badan khusus yang menangani REDD+ juga menjadi bagian dari tahap pertama LoI.
Tuntas tahap pertama, seharusnya Norwegia mengucurkan dana untuk tahap kedua. Nilainya 170 juta dolar AS. Namun, dana tersebut tak kunjung cair. Pasalnya, belum ada lembaga keuangan khusus yang menangani dana tersebut seperti dituangkan dalam LoI.
Fund for REDD+ Indonesia (FREDDI) yang disiapkan sebagai wali amanat untuk mengelola dana Norwegia, belum terbentuk. Sementara BP REDD+ juga tak bisa menerima kucuran dana tersebut secara langsung. Pasalnya, BP REDD+ tidak berstatus Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) berdasarkan sistem penganggaran di tanah air, sehingga tidak bisa menerima penyaluran dana hibah yang sebelumnya masuk Kementerian Keuangan
Karena tak mengantongi dana sepeser pun, Heru menuturkan, kegiatan BP REDD+ didanai lewat dana yang disalurkan Norwegia melalui lembaga donor internasional seperti UNDP. “Nanti dana yang sudah tersalur diperhitungkan setelah FREDDI terbentuk,” katanya.
Heru memastikan dana yang disalurkan Norwegia bisa dipertanggungjawabkan secara internasional. “Semua dana diaudit dan dipertanggung jawabkan,” katanya. Sugiharto