Moratorium Tidak Menguntungkan

Keputusan pemerintah “mengekang” diri tidak memanfaatkan lahan kehutanan dan gambut nampaknya bakal berakhir. Moratorium dengan iming-iming 1 miliar dolar AS lewat bendera REDD+ dari Norwegia dinilai kalangan pengusaha lebih banyak mudaratnya, ketimbang manfaat.

Empat tahun bukan waktu yang pendek. Namun, selama kurun itu, Indonesia berani “mengikat diri” untuk tidak menyentuh sumberdaya alamnya berupa lahan hutan alam dan areal gambut seluas jutaan hektare. Lewat surat kesanggupan (Letter of Intent/LoI) dengan Norwegia, yang diimingi hibah 1 miliar dolar AS, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menerbitkan dua Inpres, No.10/2011 dan No.6/2013, tentang penundaan pemberian izin baru dan penyempurnaan tata kelola hutan alam primer dan lahan gambut.

Akibat moratorium itu, kawasan hutan dan gambut seluas 69,1 juta hektare (ha) haram dibudidayakan. Luasannya sedikit menurun per Desember 2014 tinggal 64,1 juta ha karena setelah pengecekan lapangan ada areal yang telah dibebani izin atau hak.

Yang menyakitkan, meski ada moratorium, ternyata 1,1 juta ha areal hutan malah hilang. Angka ini diperoleh dari buku Potret Hutan Indonesia 2009-2013 yang dirilis Forest Watch Indonesia (FWI). Memang, FWI tidak memilah apakah kehilangan tersebut terjadi sebelum moratorium atau selama moratorium. Namun, bisa dipastikan areal tersebut tak dibebani izin pengelolaan.

Itu sebabnya, kalangan pengusaha mendesak diakhirnya moratorium. “Perpanjangan moratorium malah menunjukan kebodohan kita. Satu kali saja sudah cukup,” tegas Ketua Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI), Nana Suparna, Kamis (5/2/2015). Bahkan, moratorium juga tak efektif menahan laju deforestasi. “Data sejumlah lembaga menunjukan, di areal moratorium malah terjadi hot spot, perambahan, dan pembalakan ilegal. Ini kan ironis,” katanya.

Apalagi, selain soal keamanan hutan, dari sisi peluang bisnis Indonesia juga rugi. Dari peluang produksi kayu saja, selama empat tahun moratorium APHI menghitung potensi kehilangan Rp300 miliar. Belum lagi dari bisnis perkebunan serta serapan tenaga kerja. Sementara dari pelaksanaan LoI sampai terbentuknya Badan Pengelola REDD+, dana yang dikucurkan baru 30 juta dolar AS.

Keberatan pengusaha ini nampaknya menjadi perhatian pemerintah. Langkah pertama untuk meninjau moratorium pun sudah dilakukan: membubarkan BP REDD+ dan melebur ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK). Menteri LHK Siti Nurbaya pun mengaku sedang mengkaji kebijakan moratorium. Tidak takut peleburan melanggar LoI dengan Norwegia? “Tidak ada yang dilanggar,” tegas Sekjen LHK Hadi Daryanto. Pasalnya, Ditjen Pengendalian Perubahan Iklim nantinya bisa ditunjuk sebagai lembaga khusus yang menjalankan agenda REDD+ seperti dipersyaratklan LoI. AI