Program Pemanfaatan BBN Terancam

Tren penurunan harga minyak dunia yang terjadi saat ini memang telah memberikan dampak positif bagi perekonomian Indonesia. Salah satunya adalah berkurangnya defisit transaksi berjalan.

Banyak kalangan yang menyebutkan defisit transaksi berjalan diperkirakan bisa turun dari tiga persen menjadi 2,2 persen bahkan 1,6 persen jika harga minyak terus turun dan mencapai 50 dolar AS per barel.

Turunnya harga minyak juga  berdampak pada turunnya inflasi. Jika kondisi harga minyak dunia tetap seperti saat ini, inflasi Indonesia sepanjang 2015 bisa mencapai empat persen. Kondisi itu ditambah optimisme membaiknya kondisi dalam negeri dengan pemerintahan baru diharapkan bisa membuat ekonomi Indonesia terus membaik.

Sebagai negara pengimpor minyak, turun naiknya harga minyak tentu akan memberikan dampak positif dan negatif bagi Indonesia.  Terlebih pemerintah masih memberikan subsidi terhadap harga Bahan Bakar Minyak (BBM).

Untuk tahun 2015 , anggaran subsidi BBM pada Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Perubahan (RAPBNP) 2015 sebesar Rp 81 triliun. Angka ini memang jauh lebih kecil dari yang sudah ditetapkan pada APBN 2015 sebesar Rp 276 triliun karena turunnya harga minyak dunia.

Walaupun dari sisi anggaran turunnya harga minyak dunia berdampak positif, namun  penurunan harga ini juga menebarkan ancaman terhadap sejumlah program yang sudah ditetatpkan pemerintah di bidang energi. Program yang paling terancam realisasinya akibat turunnya harga minyak dunia adalah program pemanfaatan bahan bakar nabati atau BBN sebagai campuran bahan bakar minyak atau BBM yang tahun ini sebesar 10%.

Harga minyak yang terus longsor membuat program mandatori BBN tak ekonomis. Apalagi, para produsen BBN juga minta kenaikan harga. Harga indeks biodiesel yang ditetapkan pemerintah saat ini 103,48 dikali dengan acuan harga dari mean of platts Singapore (MOPS) yang sekarang di level US$ 540 per ton. Dengan hitungan itu, harga jual acuan biodiesel yang dibayar Pertamina Rp 5.400 per liter setara premium (lsp).

Harga ini mendapat  protes para produsen biodiesel. Dalam hitungan pengusaha, ongkos produksi BBN Rp 6.000 per lsp. Ini belum termasuk ongkos angkut. Jika ditambah ongkos produksi dan angkut, harga jual biodiesel harusnya di atas Rp 8.000 per lsp. Jika dibandingkan dengan harga jual solar saat ini sebesar Rp6.400 per liter, tentunya harga jual biodiesel yang diinginkan pengusaha tidak ekonomis.

Namun, mengingat pentingnya  program penambahan  pemanfaatan BBN tetap harus terus diupayakan. Program ini harus dilaksanakan sebagai antisipasi terhadap kenaikan harga minyak bumi di suatu saat nanti.

Program pemanfaatan BBN memiliki potensi besar untuk dikembangkan karena Indonesia merupakan negara yang didukung oleh sumber daya alam yang melimpah ruah. Dimana sumber daya alam tersebut mampu dijadikan sumber energi bagi keberlangsungan hidup.

Karena itu, pemerintah perlu mencari solusi yang tepat agar program pemanfaatan BBN ini tetapt bisa dilakukan walaupun harga minyak bumi lebih ekonomi dibandingkan dengan harga BBN.  Pemberian tambahan subsidi BBN mungkin bisa dipertimbangkan.