Tak Selamanya Permen Manis

Permen memang tidak semuanya manis. Apalagi jika “permen” itu adalah peraturan menteri. Pahit. Itulah yang dirasakan 30 asosiasi perikanan ketika harus menjalani beberapa Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP). 

Asosiasi Tuna Indonesia (Astuin), contohnya. Astuin tegas minta pengkajian ulang beleid penghapusan transhipment  yang tertuang dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 57/PERMEN-KP/2014 Tentang Perubahan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 30/MEN/2012 tentang Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan NKRI.

Wakil Ketua Umum Astuin, Eddy Yuwono membeberkan keberatan pihaknya. Menurutnya, larangan transhipment telah mempersempit wilayah penangkapan ikan sehingga efektivitasnya menurun. Biaya operasional pun jadi membengkak karena kapal harus pergi-pulang untuk membongkar hasil tangkapannya. Belum lagi mutu hasil tangkapan yang merosot berdampak pada nilai jual dan daya saing.

Menurut Eddy, saat ini ada 150 kapal anggota Astuin yang melakukan transhipment dan dikenai sanksi tidak diberi Surat Laik Operasional (SLO) dan hal ini berbuntut pada 3.750 anak buah kapal (ABK) yang kini menganggur. Maklum, 1 kapal ada 25 ABK.

Sementara, penurunan jumlah produksi tangkapan 3 bulan ke depan diperkirakan mencapai 2.712.300 kg, dengan estimasi 150 kapal dikalikan produksi tangkapan per kapal sebesar 18.082 kg.

Sejak diberlakukan Permen KP 57/2014, jumlah produksi tangkapan anggota Astuin pun turun.  Jika November mencapai 6.111.744 kg, maka pada Desember tinggal 5.081.287 kg.

Begitu pula, untuk urusan kapal perikanan yang beroperasi. Jika sebelum penetapan Permen KP 57/2014 pada November 2014 ada 403 unit yang aktif, namun pada Desember hanya 275 unit yang aktif. “Astuin ingin Permen KP 57/2014 dikaji ulang. Kami berharap alih muatan diberlakukan lagi agar kegiatan usaha penangkapan ikan bisa berjalan kondusif dan kompetitif,” ujar Eddy.

Begitu pula Asosiasi Pengusaha Kapal Pengangkut Ikan Indonesia (APKPII) yang menolak pelarangan transhipment, karena berdampak negatif bagi pemasaran hasil tangkapan nelayan.

Menurut Wakil Presiden APKPII, Ady Surya, nelayan mitranya di Papua, Maluku Utara, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Nusa Tenggara Timur dan Nusa Tenggara Barat terkena imbasnya. Mereka mengeluh tidak ada lagi jaminan pasar atas usaha mereka. Bahkan, sudah ada yang terpaksa mulai membuang ikan tangkapannya karena tidak ada pembeli.

“Tentu kenyataan ini sangat tidak menguntungkan, di tengah upaya keras pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat nelayan,” kata Ady.

Ciptakan konflik

Ketua Dewan Pembina Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Riza Damanik mengakui, kebijakan larangan bongkar muat ikan di laut alias transhipment bakal menciptakan konflik.

Riza menegaskan, pada dasarnya KNTI setuju dan mendukung pemerintah untuk memberantas transhipment abal-abal yang telah  merugikan negara, terutama untuk komoditi tuna. Pasalnya, transhipment selalu memboyong hasil tangkapan ikannya langsung ke luar negeri. Di samping itu, transhipment di dalam negeri telah mengacaukan atau memanipulasi data pelaporan tangkapan.

Namun, di sisi lain, pola transhipment dinilainya efektif dan efisien dalam penggunaan faktor-faktor produksi terutama bahan bakar minyak. “Di sinilah tantangan pemerintah, memilah dan memilih, hingga menutup rapat praktik transhipment “abal-abal” tadi,” kata Riza.

Jadi, lanjut Riza, transhipment bukan aktivitas haram dalam usaha perikanan tangkap. Karena tidak saja di negara lain, bahkaan dalam Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan tentang Usaha Perikanan Tangkap sekali pun aktivitas ini dimungkinkan dengan menyertakan definisi penangkapan ikan dalam satu kesatuan dengan aktivitas pengangkutan ikan.

Peraturan Menteri kelautan dan Perikanan terkait Usaha Perikanan Tangkap memang menyebutkan  penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau cara apapun.  Termasuk kegiatan yang menggunakan kapal untuk memuat, mengangkut, menyimpan, mendinginkan, menangani, mengolah dan atau mengawetkannya.

“KNTI dapat memahami kebijakan yang diambil saat ini yang melarang seluruh transhipment sebagai kebijakan temporer atau sementara menuju pengaturan transhipment yang benar-benar menguntungkan rakyat Indonesia,” papar Riza.

Riza pun meminta nelayan agar dilibatkan dalam proses penyusunannya. KNTI berharap KKP bisa mengambil kebijakan yang terbaik, maksimal Maret atau April 2015 mendatang.

Negatif

Sementara itu Asosiasi Perikanan Pole and Line dan Handline Indonesia (AP2HI) keberatan dengan Permen KP 56/2014 tentang Perhentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan NKRI.

Menurut Sekretaris Jenderal AP2HI, Agus Apun Budhiman, Permen KP 56/2014 berdampak negatif pada pelaku usaha (inti) dan nelayan mitra (plasma).

Pelaku usaha lokal rugi karena izin kapal tidak bisa diperpanjang. Sementara, berbagai  biaya tetap harus dikeluarkan untuk standby kapal dan usaha. Antara lain gaji, makan dan kesehatan anak buah kapal (ABK). Kemudian ongkos solar kapal (penerangan), biaya Pungutan Hasil Perikanan (PHP) tahunan dibayar di muka. Belum lagi, iuran Vessel Monitoring System (VMS) tahunan, cicilan bank dan biaya berlabuh.

Sedangkan dampak negatif pada nelayan, sebagai plasma mereka tidak bisa beroperasi akibat tidak ada kapal penampung (inti). Nelayan pun tidak mendapat pemasukan untuk kelangsungan hidupnya.

“Itu sebabnya, kami ingin proses verifikasi dipercepat agar perusahaan yang terbukti bersih dan legal bisa memperpanjang izinnya tanpa menunggu batas moratorium, April 2015,” kata Agus, mantan Direktur Sumber Daya Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, KKP ini.  Fenny

Pengusaha Rasakan Dampak Positif

Niat baik memang tidak selalu berakhir baik. Terbukti, sejumlah kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti ditentang berbagai kelompok, termasuk nelayan. Padahal, kebijakan itu dapat berdampak positif bagi kemajuan sektor perikanan nasional.

Contohnya kebijakan larangan alih muatan di tengah laut atau transshipment. “Larangan ini banyak menyimpan kebaikan. Di antaranya, terciptanya peluang bisnis,” ujar Susi saat berbicara pada rapat kerja (Raker) Kementerian Perdagangan, di Jakarta, pekan lalu.

Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia, Thomas Darmawan juga mengakui kalau kebijakan yang diterapkan Susi telah memberikan dampak positif bagi industri pengolahan produk perikanan di dalam negeri. “Kebanyakan pelaku industri mengaku tidak mengalami masalah dalam penyediaan bahan baku,” ujarnya.

Dia juga menyebutkan kalau permintaan akan produk ikan asal Indonesia dari mancanegara mulai mengalami peningkatan. “Hal ini dikarenakan banyak importir atau industri pengolahan ikan di mancanegara yang kesulitan mendapatkan bahan baku dari Indonesia,” ujarnya.

Dia mencontohkan saat ini, banyak impor ikan dan udang asal Jepang yang telah gulung tikar akibat kebijakan larangan yang diterapkan Kementerian Kelautan dan Perikanan. “Dari 30 importir ikan asal Jepang, kini tinggal 10 saja yang masih beroperasi,” ucapnya.

Walaupun begitu, Thomas juga mengingatkan agar pemerintah Indonesia juga perlu mewaspadai adanya penggunaaan jenis ikan lain sebagai alternatif dari kosongnya pasokan ikan dari Indonesia.

“Jika di dalam negeri pasokan bahan baku kosong, maka harga produk pengolahan ikan akan mengalami kenaikan. Namun, ini juga bisa memicu penggunaan jenis ikan lain untuk mengisi kekosongan pasokan ikan dari Indonesia. Misalnya saja pengunaan ikan salmon sebagai pengganti ikan dari Indonesia,” ujar Thomas.

Waspadai bea masuk

Selain itu, hambatan berupa besarnya tarif bea masuk yang dikenakan negara-negara pengimpor ikan dan produk pengolahan ikan juga perlu dicermati dengan baik. Terkait hal ini,   Susi juga mengakui adanya hambatan bagi kegiatan ekspor produk ikan Indonesia. Dia mencontohkan penerapan bea masuk sebesar 14% hingga 25% yang dilakukan Uni Eropa terhadap tuna dari Indonesia.

“Tiap negara berbeda-beda dalam menerapkan tarif bea masuk. Untuk itu, kami meminta Kementerian Perdagangan untuk mengatasi hambatan tersebut agar ekspor bisa mengalami peningkatan,” katanya.

Menanggapi permintaan Susi itu, Menteri Perdagangan Rachmat Gobel menyatakan kesiapannya untuk berusaha mengatasi hambatan ekspor ikan dan produk perikanan Indonesia berupa besarnya tariff bea masuk impor.

“Soal tarif bea masuk impor ikan, kita akan inventarisisr dulu apa saja yang kita butuhkan. Setelah itu baru kita lakukan upaya-upaya yang diperlukan,” ujar Mendag Rachmat Gobel. B Wibowo