Hanya tiga bulan lebih atau 100 hari sejak dilantik, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti akhirnya berhadapan dengan para nelayan kecil. Berbeda dengan pengusaha besar perikanan tangkap, para nelayan kecil ini turun ke jalan dan menggelar aksi unjuk rasa besar-besaran. Padahal, sejatinya, pemerintah justru ingin melindungi mereka. Ada apa?
Inilah puncak dari perlawanan para pelaku kelautan dan perikanan terhadap sejumlah kebijakan “tak ramah” Susi, yang dilantik 27 Oktober 2014.
Yang pertama, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan (Permen KP) Nomor 56 Tahun 2014 tentang Perhentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan NKRI. Kedua, Permen KP Nomor 57/PERMEN-KP/2014 tentang Larangan Transhipment serta Permen KP Nomor 58/PERMEN-KP/2014 tentang Disiplin Pegawai KKP Dalam Pelaksanaan Kebijakan Moratorium dan Larangan Transhipment.
Yang terakhir dan menghebohkan, bahkan memantik aksi nelayan turun ke jalan adalah Permen KP Nomor 1 Tahun 2015 tentang Penangkapan Lobster (Panulirus spp), Kepiting (Scylla spp.) dan Rajungan (Portunus pelagicus spp.) serta Permen KP Nomor 2 Tahun 2015 tentang Larangan Penggunaan Alat Penangkapan Ikan Pukat Hela (Trawl) dan Pukat Tarik (Seine Nets) di Wilayah Pengelolaan Perikanan Indonesia.
Aksi ini memicu turunnya ribuan nelayan di Rembang dan menggeruduk DPRD Kabupaten Rembang. Selain memprotes Permen KP No.1 dan No. 2, mereka juga menuntut Susi agar diturunkan dari jabatannya.
Unjuk rasa
Aksi protes dan keberatan kali ini cukup menguras energi dan perhatian Susi. Namun, bos dua perusahaan besar, PT ASI Pujiastuti Marine Product yang bergerak di bisnis perikanan dan Susi Air yang merupakan maskapai sewa dengan 50 pesawat propeller ini tak kalah garang. Dia menampik semua tudingan itu.
“Saya tidak bermaksud menghancurkan mata pencaharian siapapun. Saya hanya mengatur usaha-usaha perikanan, agar nelayan kecil dan perusahaan besar bisa hidup berdampingan dan sama-sama bisa memanfaatkan sumberdaya ikan dengan baik dan berkesinambungan,” tegas Susi dalam rapat dengar pendapat Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) dengan Komisi IV DPR, awal pekan lalu.
Susi lalu menjelaskan dasar dari Permen KP 56/2014. Menurutnya, kebijakan ini lahir untuk memerangi praktek penangkapan ikan illegal, tidak diatur dan tidak dilaporkan (illegal, unregulated and unreported/IUU fishing) yang sudah lama merajalela di perairan Indonesia.
Susi pun menyebut moratorium adalah langkah pemerintah untuk mendata ulang. Karena banyak kapal perikanan yang meragukan dokumen izin tangkapnya. Dari 5.329 kapal ukuran di atas 30 gross ton (GT), sebanyak 4.000 kapal milik perusahaan Indonesia. Sedangkan 1.300 adalah kapal eks asing yang dialihkan kepemilikannya ke swasta nasional.
Seperti dilaporkan, mulai tahun 1980-an, kapal perikanan buatan Taiwan untuk tuna longline memasuki Benoa. Mereka mengisi Unit Pengolah Ikan di sana. Hingga sekarang armada-armada yang berjumlah sekitar 60 unit ini ada yang masih layak operasi, berkat perawatan yang baik. Kapal-kapal asing seukuran 30-40 GT ini pun sudah banyak yang balik nama.
Begitu pula di Sorong. Di sana banyak kapal perikanan eks Filipina, Tiongkok dan Thailand.
“IUU fishing sangat merusak dan tidak memberikan kontribusi apapun. 70%-nya tidak punya NPWP yang benar dan 40%-an perusahaannya tidak terdaftar. KPK dan PPATK sudah bergerak untuk selidiki 1.300 kapal eks asing tersebut,” cetus Susi.
Untungkan Vietnam
Mengenai Permen KP 1/2015, Susi mengaku justru ingin mengamankan lobster, kepiting dan rajungan. Dalam aturan yang ditetapkan pada 6 Januari 2015 dan diundangkan pada 7 Januari 2015 ini, KKP melarang lobster, kepiting dan rajungan yang sedang bertelur untuk diperjualbelikan. KKP hanya mengizinkan penangkapan lobster yang panjang karapasnya di atas 8 cm, kepiting yang lebar karapasnya lebih dari 15 cm dan rajungan yang lebar karapasnya di atas 10 cm.
Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) juga telah menerbitkan surat edaran Nomor 20/BKIPM/2015 tentang Larangan Penerbitan Sertfikat Kesehatan Produk Perikanan Untuk Tujuan Ekspor dan Antar Area Bagi Komoditas Lobster Kepiting dan Rajungan.
Berdasarkan data Badan Karantina Ikan, Pengendalian Mutu dan Keamanan Hasil Perikanan BKIPM, sepanjang tahun 2014, ekspor lobser ukuran 2-3 centimeter (cm) total panjang bukan karapasnya sebanyak 4.956.000 ekor dengan harga rata-rata Rp20.000/ekor.
Menurut Susi, ekspor lobster Indonesia saat ini hanya 300-400 ton/tahun. Sedangkan ekspor lobster Vietnam melonjak jadi 3.000-4.000 ton/tahun. “Ini kan tidak benar. Jika lobster habis, maka profesi penangkap lobster ikut musnah. Jadi, ketika lobster habis bukan semata-mata komoditasnya saja yang terancam, tapi identitasnya juga.”
Susi menegaskan, tugas KKP memproteksi hal-hal seperti itu. Susi berharap seluruh pemangku kepentingan mengerti kebijakan yang ditempuhnya ini bukan hanya untuk makan hari ini tapi 5,10, 15 tahun ke depan.
Macetnya komunikasi
Banyaknya kritik terhadap kebijakan Susi membuat Wakil Ketua Komisi IV DPR (F-Demokrat), Herman Khaeron mengingatkan pentingnya komunikasi. “Coba stakeholder diajak bicara dulu dan sebelum dijadikan Permen sebaiknya disampaikan dulu ke DPR. Jangan sampai 1 atau 2 orang yang didengar, langsung dibuat keputusan,” usul Herman.
Anggota Komisi IV DPR (F-PDI Perjuangan), Sudin juga menyuarakan hal yang sama. Menurutnya, Permen KP diuji publik terlebih dahulu dan harus melibatkan berbagai pihak terkait termasuk asosiasi perikanan dan nelayan.
Sudin menyebut kebijakan pelarangan bibit lobster untuk diekspor yang disetujuinya ini. Namun, katanya, jangan langsung stop begitu saja. Sebaiknya KKP memberikan alternatif pekerjaan lain dulu atau menawarkan program untuk kelangsungan hidup masyarakat. “Sebaiknya KKP menjadikan asosiasi perikanan dan nelayan sebagai teman. Yang membisiki dan memberikan masukan ke Ibu (Menteri Kelautan dan Perikanan, Susi Pudjiastuti) belum tentu mengerti budidaya,” kata Sudin.
Sekretaris Jenderal Asosiasi Perikanan Pole and Line dan Handline Indonesia, Agus Apun Budhiman juga mensinyalir hal itu. “Saat ini di KKP tidak ada ahli perikanan. Yang ada, pejabat perikanan,” sergah Agus, mantan Direktur Sumber Daya Ikan, Direktorat Jenderal Perikanan Tangkap, KKP ini.
Namun, kritik soal kurangnya sosialisasi dibantah Susi. Menurutnya, larangan ekspor bibit lobster berdasarkan peraturan perundangan terkait konservasi yang sudah dibuat pemerintah dan DPR terdahulu dan juga telah melewati uji publik.
Susi juga menegaskan, “pembisiknya” adalah orang-orang yang baik dan bertanggung jawab karena dari kalangan eselon I KKP. “Koordinasi kami baik,” tegasnya.
Memang, dalam Refleksi 2014 dan Outlook 2015 KKP yang digelar 5 Januari 2015 lalu, Susi mengaku “tancap gas’ mengeluarkan Permen KP 56/2014 tentang Perhentian Sementara (Moratorium) Perizinan Usaha Perikanan Tangkap di Wilayah Pengelolaan Perikanan NKRI.
“Maafkan saya. Untuk moratorium saya memang tidak konsultasi dengan stakeholder. Karena kalau lobi sana, lobi sini, bisa 3 bulan tidak kelar-kelar. DPR keburu kerja. Keburu susah saya. Jadi, saya desak Pak Laoly (Menkumham Yasonna H Laoly) untuk segera teken. Fenny
Menolak Namun Melunak
Meski masih berkeras memberlakukan Permen KP Nomor 57/PERMEN-KP/2014 tentang Larangan Transhipment (alih muatan), namun pasca raker dengan Komisi IV DPR, Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti berjanji akan berdiskusi dengan sejumlah pihak guna mempertimbangkan kelonggaran dengan berbagai persyaratan.
“Saya tidak akan mencabut Peraturan Menteri terkait larangan transhipment. Tapi saya akan keluarkan petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis untuk kapal-kapal pengepul dan pengangkutnya,” kata Susi.
Menurut Susi, kemungkinan alih muatan jadi terbuka untuk kapal-kapal lokal untuk membawa muatannya dari fishing ground ke pelabuhan dengan kapal pengangkut. Namun, izin itu bisa dikeluarkan dengan verifikasi ketat dan harus memenuhi sejumlah persyaratan, antara lain kapal dipasangi alat Vessel Monotoring System (VMS). “Kalau tidak, kami tidak akan mengizinkan pengangkutan dari fishing ground ke pelabuhan,” tegas Susi.
Sedangkan untuk urusan lobster, kata Susi, Mei atau Juni mendatang KKP akan membeli bibit lobster asal Lombok yang terkena dampak langsung akibat Permen KP Nomor 1 Tahun 2015. Nantinya, bibit ini akan disebar di beberapa perairan Indonesia.
Menurut Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kelautan dan Perikanan, Achmad Poernomo, anggaran pembelian bibit lobster itu berasal dari instansinya dan tengah dibahas dengan DPR.
Seperti yang dilaporkan, di Nusa Tenggara Barat (NTB) sendiri tak kurang 2.000 kepala keluarga (KK) menggantungkan hidupnya dari penangkapan lobster. Masing-masing KK bisa meraup keuntungan dari komoditi tersebut sekitar Rp8 juta/bulan. NTB adalah penghasil bibit lobster terbesar di Indonesia, bahkan di dunia. Potensi komoditi yang menjadi andalan provinsi ini hampir mencapai 10 juta ekor dan yang baru dimanfaatkan baru separuhnya, 5 juta ekor. Fenny