Pemerintah hanya memperbolehkan impor daging jenis tertentu seperti karkas, daging dan olahan. Untuk jenis secondary dan jeroan (offal), terhitung sejak 24 Desember 2014 lalu sudah dilarang karena peternak lokal dianggap mampu memenuhi permintaan daging sapi jenis tersebut.
“Daging secondary dan jeroan dapat dipenuhi dari dalam negeri. Ke depan kita hanya impor jenis daging yang tidak mampu dihasilkan oleh peternak,” kata Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Syukur Iwantoro kepada Agro Indonesia di Jakarta, Jumat (16/1), pekan lalu.
Menurut dia, larangan impor secondary dan jeroan itu tertuang dalam Permentan No. 139/Permentan/PD.410/12/2014 tentang Pemasukan Karkas, Daging dan/atau Olahannya ke dalam Wilayah Negara Republik Indonesia, yang diteken Menteri Pertanian Amran Sulaiman tanggal 23 Desember 2014.
Dalam Permentan yang mulai berlaku tanggal 24 Desember 2014 itu juga disebutkan impor dari negara belum bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK) dapat dipertimbangkan sebagai negara asal pemasukan daging ruminansia olahan dengan syarat dilayukan dan dipanaskan lebih dari 80 derajat Celsius.
Selain itu, Permentan ini juga mensyaratkan mulai 1 Maret 2015, importir daging wajib menyerap daging lokal. Bukti serap ini akan diverifikasi dinas peternakan atau yang membidangi peternakan yang ada di kabupaten/kota atau provin asal daging lokal. “Soal bukti serap akan diatur oleh Kementerian Perdagangan. Kami hanya dari sisi teknis,” tegasnya.
Hanya saja, Syukur mengakui bahwa Permentan 139/2014 tersebut kini sedang dilakukan perbaikan, terutama terkait dengan impor secondary dan jeroan.
Menurut dia, tim revisi sekarang sedang bekerja untuk memperbaikan Permentan tersebut. Salah satu poin yang akan direvisi menyangkut impor secondary dan jeroan bisa dilakukan dalam keadaan darurat. Namun, Syukur tidak merinci lebih lanjut yang disebutkan darurat itu.
Didesak
Sumber Agro Indonesia di Kementan menyebutkan, Permentan No. 139/2014 direvisi karena ada desakan dari pihak importir. Importir datang kepada Mentan agar mengkaji ulang aturan larangan impor daging jenis secondary, mengingat kebutuhan daging jenis itu cukup besar.
Selain itu, importir tersebut memberikan masukan jika secondary tetap dilarang, maka harga daging sapi pada saat lebaran mendatang akan melambung tinggi. Sekarang saja, untuk jenis daging knuckle (daging kelapa), sudah merangkak naik.
Sumber itu menyebutkan, setelah pertemuan tersebut Mentan Amran minta kepada Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan dan Biro Hukum Kementan untuk melakukan kajian. “Sayangnya laporan hasil kajian dari Ditjen Peternakan, lebih lambat masuknya dari pada Biro Hukum. Setelah ada hasil kajian itu, akhirnya Permentan No.139 tahun 2014 dilakukan revisi, terutama menyangkut soal pemasukan daging jenis secondary pada saat darurat bisa dilakukan impor.
Syukur menyebutkan, salah satu alasan daging secondary distop impornya karena pemerintah menilai peternak lokal dapat memenuhi kebutuhan nasional. “Berdasarkan hasil tim monitoring kami, per 31 Desember 2014 lalu stok sapi potong yang ada di feedlot sekarang ini mencapai sekitar 267.000 ekor atau setara 50.000 ton daging. Di samping itu, sapi di peternak juga cukup tersedia,” katanya.
Sebelumnya, Syukur Iwantoro pernah mengatakan sampai bulan Oktober 2014 surplus daging sapi sebanyak 140.000 ton setara daging. Namun, per 31 Desember 2014 masih terdapat kelebihan sekitar 50.000 ton setara daging. Kelebihan daging ini karena target konsumsi daging per kapita per tahun tidak tercapai.
Hanya saja, klaim pemerintah itu diragukan Dewan Daging Sapi Nasional (DDSN). Mereka tidak yakin akurasi data tentang surplus daging sapi sebanyak 140.000 ton setara daging yang dirilis Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementan.
“Pernyataan (Syukur, Red.)itu kami rasakan bermuatan politis yang tinggi,” kata Ketua DDSN, Suhadji di Jakarta, pekan lalu. DDSN menyangsikan karena masyarakat pemangku kepentingan perdagingan sapi yang tergabung dalam organisasi ini menilai program swasembada daging tahun 2014 gagal dan tak pernah tercapai.
Menurut Suhadji, Ditjen PKH sebagai salah satu institusi operasional kebijakan seyogyanya bertanggungjawab dengan memberikan pernyataan kepada publik yang benar dan relevan. “Jangan gegabah merilis angka,” katanya.
Dipertanyakan
Sementara Direktur Eksekutif Asosiasi Importir Daging Indonesia (Aspidi), Thomas Sembiring tak kalah bingung. Dia malah bertanya, jika memang terjadi surplus sebanyak 140.000 ton, disimpan di gudang mana?
“Apa daging sebanyak itu masih dalam bentuk sapi hidup? Bila dibilang dalam bentuk stok, saya yakin tidak sampai sebanyak itu. Kalau untuk stok paling banyak hanya 10.000 ton,” katanya
Menurut Thomas, untuk melaksanakan program swasembada daging, pemerintah telah mengalokasikan anggaran triliunan rupiah. Namun, ternyata swasembada tidak tercapai.
Thomas juga mempertanyakan bagaimana bentuk pertanggungjawaban pemerintah terhadap gagalnya swasembada daging. “Bagaimanya pertanggungjawabannya terhadap anggaran yang dihabiskan triliunan rupiah? Apa cukup dengan pernyataan pemerintah salah hitung program swasembada daging?” katanya.
Suhadji menambahkan, sejarah mencatat Indonesia masih mampu melakukan ekspor sapi dan kerbau ke Hongkong. Namun, dalam perkembangannya, karena terjadi peningkatan permintaan dalam negeri yang mengakibatkan pertumbuhan populasi negatif, sehingga ekspor sapi potong dihentikan tahun 1978 dan ekspor kerbau dihentikan tahun 1978.
“Sekarang ini permintaan daging tidak seimbang dengan peningkatan populasi, sehingga pasok daging sapi dalam negeri tidak mencukupi permintaan. Karena itu Indonesia impor,” tegasnya.
Menurut dia, berdasarkan data BPS tahun 2011, jumlah populasi sapi potong sebanyak 14,8 juta ekor jauh di atas perkiraan 12,6 juta ekor (2009) dan proyeksi blue print 14,23 juta ekor (2014). Jika mengacu kepada cetak biru tersebut, maka Indonesia sudah mencapai swasembada daging sapi. “Namun kenyataannya, gejolak harga daging sapi terjadi akibat ketidakseimbangan supply-demand dan faktor-faktor teknis yang kurang dipertimbangkan,” katanya.
Dia mengatakan, dari sisi populasi ternak sapi memang tercatat kenaikan rata-rata 4,8% per tahun. Namun, perhitungan populasi tersebut secara teknis harus dikonversi menjadi potensi stok yang jumlahnya 17%.
Dari jumlah tersebut dirinci lagi menjadi jenis sapi jantan 56% dan sapi betina 44% yang menurut perundangan dilarang untuk dipotong. “Sekarang ini banyak sapi betina produktif yang dipotong karena harga daging cukup tinggi. Jika pemerintah tidak mengendalikan pemotongan sapi betina ini, maka populasi ternak sapi nasional terancam,” ungkapnya.
Dia mengatakan, peternakan di Indonesia khususnya peternakan sapi harus dikembangkan menjadi tipe industri yang didukung lima subsistem, yaitu sarana produksi, budidaya, pengolahan, pemasaran dan dukungan pemerintah.
Selain itu, secara teknis syarat peternakan sapi di topang tiga pilar utama, yaitu ketersediaan pakan, manajemen dan pembibitan sapi. Sedangkan standar teknis produktivitas ternak di pengaruhi dua factor, yaitu lingkungan dan genetik. “Dalam faktor lingkungan, yang terbesar adalah faktor pakan,” tegasnya.
Menurut Suhadji, Indonesia mempunyai potensi yang besar terhadap penyediaan lahan, khususnya integrasi dengan kegiatan lain seperti integrasi kebun sawit dengan sapi potong.
Data ketersediaan lahan menunjukan ketimpangan, misalnya Pulau Jawa yang luasnya sepertiga dari Kalimantan menampung 50% dari jumlah ternak sapi, sedangkan Kalimantan yang luasnya tiga kali Pulau Jawa malah hanya menampung sekitar 3% dari jumlah populasi ternak sapi.
“Kami berharap pemerintah perlu menyusun kembali program terobosan untuk membebaskan Indonesia dari ketergantungan impor sapi dan daging,” ungkapnya. Jamalzen