Kementerian Perdagangan (Kemendag) belum menerbitkan aturan baru agar selaras dengan Permentan Nomor 139/2014. Hanya saja, Kemendag telah mengakomodasi kebijakan impor tersebut dengan hanya mengeluarkan alokasi impor untuk prime cut, daging variasi serta daging industri.
Untuk ketiga jenis daging itu, Kemendag telah mengeluarkan izin impor sebanyak 12.246 ton. Sementara untuk daging jenis secondary cut tidak dikeluarkan izin impornya.
Selain daging sapi, Kemendag juga menerbitkan izin impor sapi hidup bakalan sebanyak 100.000 ekor. “Izin impor itu berlaku untuk periode Januari hingga Maret 2015,” ujar Dirjen Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan, Partogi Pangaribuan, pekan lalu.
Menurut Partogi, penetapan besaran kuota daging sapi dan hewan sapi untuk triwulan itu ditetapkan dengan mengacu pada stok daging sapi yang ada di dalam negeri saat ini. “Stok daging dan hewan sapi masih ada di dalam negeri,” katanya.
Dia juga meyakini kuota impor daging dan hewan sapi itu cukup untuk menghadapi lebaran nanti. Misalnya, hewan sapi bakalan yang masuk ke Indonesia tentunya akan digemukkan dulu selama beberapa bulan sehingga hewan itu akan dipotong saat mendekati hari raya lebaran.
Pemberian kuota impor daging sapi dan hewan sapi bakalan untuk periode Januari-Maret 2015 tersebut masih menggunakan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) yang lama. Pasalnya, sampai pekan lalu belum ada Permendag baru yang diterbitkan untuk mengatur tatacara impor daging sapi dan hewan sapi.
”Belum ada Permendag baru yang mengatur soal impor daging sapi dan hewan sapi,” kata Direktur Impor Kementerian Perdagangan, Thamrin Latuconsina, pekan lalu.
Menurut Thamrin, walaupun belum menerbitkan aturan baru, dalam memberikan izin impor kepada importir, Kemendag tetap melakukan koordinasi dengan instansi terkait, yakni Kementerian Pertanian.
“Kami tetap melakukan koordinasi dengan pihak Kementan untuk menentukan besaran impor daging sapi dan hewan sapi,” ujarnya.
Thamrin menegaskan, Kemendag membutuhkan data yang rinci dari Kementan mengenai keberadaan stok daging sapi dan sapi hidup di dalam negeri guna menentukan besaran kuota izin impor daging sapi hewan sapi untuk tahun 2015 ini. “Untuk itu, koordinasi dengan Kementan sangat diperlukan,” ucapnya.
Revisi
Sementara itu sumber Agro Indonesia di Kemendag menyebutkan, saat ini Kemendag masih melakukan proses revisi terhadap Permendag tentang tatacara impor daging sapi dan hewan sapi yang lama.
“Saat ini Kemendag masih melakukan revisi untuk menerbitkan Permendag yang baru soal tatacara impor daging sapi dan hewan sapi,” katanya.
Dijelaskan, revisi Permendag tersebut diperlukan untuk menyelaraskan aturan dengan kebijakan Kementan soal aturan impor daging sapi dan hewan sapi. “Kementan sebelumnya pada akhir tahun 2014 telah mengeluarkan aturan baru, tapi aturan baru itu juga akan direvisi lagi karena masih adanya beberapa pasal yang perlu diperbaiki,” ucap sumber Agro Indonesia.
Menurutnya, kegiatan revisi itu merupakan tindak lanjut dari kebijakan Kemendag yang melakukan evaluasi soal tataniaga impor produk sapi berupa sapi hidup maupun daging beku.
“Hal tersebut dilakukan karena meskipun keran impor terbuka lebar, namun harga daging sapi di pasar masih tetap tinggi sehingga masih memberatkan masyarakat,” ucapnya.
Sebelumnya, Partogi mengatakan bahwa izin yang diberikan oleh Kementerian Perdagangan pada tahun 2014 mengalami kenaikan jika dibandingkan dengan tahun 2013 lalu. Namun, hingga akhir tahun 2014 realisasi impor diperkirakan hanya sebesar 65% dari total alokasi yang diberikan. “Untuk itu perlu dilakukan evaluasi,” paparnya
Pada tahun 2014, Kemendag telah menetapkan perhitungan indikatif untuk impor sapi hidup sebanyak 750.000 ekor atau setara dengan 130.000 ton daging, sementara untuk importasi daging beku pemerintah membebaskan tanpa adanya perhitungan indikatif.
Evaluasi juga diperlukan karena walaupun pemerintah telah membuka impor daging sapi, harga jual daging sapi rata-rata masih berada pada kisaran Rp95.000-Rp100.000/kg dan dinilai masih tinggi dari harga yang diinginkan oleh pemerintah.
Kemendag sendiri telah menetapkan harga referensi sebesar Rp76.000/kg untuk jenis potongan sekunder (secondary cut). Refrensi harga tersebut tercantum dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) Nomor 46/M-DAG/PER/8/2013 tentang Ketentuan Impor dan Ekspor Hewan dan Produk Hewan yang di keluarkan pada akhir Agustus 2013. Namun, hingga saat ini harga daging di pasaran selalu jauh di atas harga referensi. B Wibowo
Importir Daging Wajib Serap Lokal
Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan, pihaknya selalu melakukan koordinasi dengan pihak Kementerian Perdagangan, terutama mengenai impor daging sapi. Jika ada jenis daging sapi yang tidak perlu impor lagi, artinya produksi dalam negeri dianggap mencukupi.
“Kami juga berupaya meningkatkan populasi ternak sapi dengan inseminasi buatan (IB). Tahun 2015 ini kita rencanakan program IB dapat menghasilakn 2 juta ekor sapi,” tegasnya.
Larangan impor daging sapi jenis secondary cut (potongan sekunder) dan jeroan tidak mengganggu kebutuhan masyarakat Indonesia karena dapat dipasok dari lokal. Sedangkan untuk kebutuhan industri hotel, restoran dan katering (Horeka), dapat dipenuhi dari impor karena daging sapi yang dibutuhkan jenis prime cut (potongan primer) seperti tenderloin.
Data Badan Karantina Pertanian (Barantan) mencatat, impor sapi tahun 2014 hingga 31 Desember tercatat sebanyak 697.550 ekor. Jumlah itu terdiri dari impor sapi bibit sebanyak 3.794 ekor, sapi siap potong/bakalan sebanyak 693.756 ekor atau setara 115.510 ton daging sapi dan impor daging sapi sebesar 85.284 ton.
Jadi, total impor daging sapi tahun 2014 tercatat sebanyak 200.794 ton. Sebagian besar impor daging ini dalam bentuk potongan sekunder. Nah, sekarang pemerintah melarang impor daging jenis daging tersebut. Dengan demikian, diperkirakan bakal terjadi gejolak harga daging di pasar.
Sedangkan Data Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan tahun 2014 tentang populasi ternak sapi potong sebanyak 14,7 juta ekor naik dari 12,6 juta ekor pada tahun 2013. Kenaikan populasi sapi hingga 16% ini diyakini dapat kembali terulang pada tahun 2015.
Thomas Sembiring mengatakan, dampak dari pelarangan impor ini akan terjadi kenaikan harga daging, apalagi menjelang hari besar keagamaan.
“Sudah pasti harga daging akan naik. Pasok lancar saja harga daging masih naik dan mahal, apalagi jika pasoknya berkurang. Sudah pasti harga naik,” tandasnya. Thomas tidak mengerti apa alasan yang mendorong pemerintah menghentikan impor daging secondary dan jeroan, mengingat peternak lokal belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri.
“Kalau versi pemerintah selalu bilang peternak lokal mampu memenuhi kebutuhan. Selain itu, pemerintah bilang populasi ternak dalam negeri selalu tersedia. Tapi buktinya mana? Sampai sekarang, kami sebagai pelaku usaha sulit mendapatkan daging lokal yang dibilang tersedia itu,” tegasnya.
Dia menyebutkan, kebijakan pelarangan impor ini sangat sulit dimengerti pelaku usaha, karena pada dasarnya Indonesia masih kekurangan daging. Pemerintah, kata Thomas, boleh saja beralasan bahwa sapi lokal tersedia, tetapi masyarakat tidak bodoh. “Ketika harga daging naik, masyarakat menilai apa yang dikatakan pemerintah itu bohong atau tidak benar. Jadi, sebaiknya kebijakan larangan impor itu di tinjau lagi,” ungkapnya.
Sementara itu, Ketua Asosiasi Distributor Daging Indonesia, Suharjito mengatakan, harga daging dalam beberapa hari ke depan dipastikan akan mengalami kenaikan. “Pemerintah mengulangi kebijakan yang salah. Dulu, ketika kuota impor daging dikurangi, importir ribut. Akhirnya, sampai ada yang ditangkap Komisi Pemberatasan Korupsi. Sekarang, kebijakan itu diulangi lagi,” katanya.
Menurut Harjito, mestinya pemerintah belajar dari pengalaman yang lalu dalam hal mengambil kebijakan impor daging. “Latar belakang kebijakan larangan ini hampir sama dengan pengurangan kuota impor dulu, yaitu populasi sapi lokal tersedia cukup, tapi buktinya di lapangan harga daging naik. Kalau pasok kurang, maka hukum pasar berlaku, harga akan naik,” tegasnya.
Harjito juga tidak melihat ditutupnya kran impor daging secondary ini mendorong daging ilegal masuk ke Indonesia. “Saya kira sulit kalau daging ilegal mau masuk ke Indonesia. Tapi kalau daging celeng sangat memungkinkan karena dipasok antardaerah,” ungkapnya.
Menyinggung mengenai ketentuan serap daging lokal yang akan berlaku 1 Maret 2015, Harjito mengatakan importir daging sama sekali tidak keberatan karena hal itu dapat mendorong peternakan lokal berkembang.
“Selagi tidak ditetapkan besaran persentase penyerapkan daging lokalnya, saya kira importir daging tidak keberatan. Dengan tidak ditetapkan persentase, pengusaha bisa saja melakukan pembelian daging lokal dalam jumlah tertentu,” tegasnya.
Menurut dia, hal yang perlu diperhatikan pemerintah dalam ketentuan serap daging lokal adalah ketersediaan di dalam negeri. “Ya, kita khawatir, daging lokal tidak tersedia, sehingga kami tidak bisa melakukan pembelian,” tegasnya.
Pengusaha importir daging yang dihubungi Agro Indonesia mengatakan, sebelum ada larangan impor daging secondary, harga daging jenis knuckle di pasar hanya Rp72.000/kg, namun setelah pemerintah resmi melarang impor, harga daging kelapa itu naik menjadi Rp92.000/kg.
“Ini salah satu bukti bahwa dampak dari larang itu harga daging akan naik. Puncaknya, menjelang lebaran nanti harga daging akan melambung tinggi, jika pemerintah tetap melarang impor,” kata sumber yang minta jatidirinya dirahasiakan.
Menurut sumber ini, kebijakan pemerintah yang melarang impor secondary cut adalah salah karena daging lokal sampai saat ini tidak tersedia cukup. “Saya sudah lihat ke daerah sentra sapi, buktinya sapi yang katanya banyak hanya ada beberapa ekor saja,” tegasnya.
Selain itu, kebijakan ini akan mendorong impor daging sapi ilegal semakin marak. “Sekarang ini daging sapi ilegal banyak yang masuk ke Indonesia. Daging ilegal ini diperkirakan dari negara India, masuk ke Indonesia melewati pintu masuk resmi, seperti Medan dan Jakarta,” ungkapnya.
Sumber ini mengatakan, di kalangan pedagang daging sebenarnya sudah tahu ada daging ilegal dari India yang dikenal dengan sebutan ‘Dus Putih’, namun keberadaannya tidak pernah terungkap atau pelakunya ditangkap.
Sementara itu Kepala Balai Besar Penelitian Veteriner, Hardiman mengatakan, daging sapi yang terkena Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), jika sudah dipanaskan dengan suhu 80-90 derajat Celsius, maka virus PMK akan mati sehingga daging tersebut aman untuk dikonsumsi.
“Sesuai dengan sifatnya, maka aphtovirus (agen penyebab PMK) yang sangat labil, tidak tahan pH asam dan tidak tahan panas, akan hilang setelah dipanaskan. Dengan demikian aman untuk dikonsumsi,” katanya. Jamalzen