Perum Bulog terancam mengalami kerugian akibat stok beras yang ada di gudang-gudangnya mengalami turun mutu akibat tidak bisa disalurkan secara cepat ke konsumen. Penurunan itu sudah terjadi sejak pertengahan Februari di sejumlah gudang beras milik Bulog di Ogan Komering Ulu, Sumatera Selatan (Sumsel) dan Bangka Belitung (Babel).
Keberadaan beras turun mutu itu diakui oleh Sekretaris Perusahaan Perum Bulog, Arjun Ansol Siregar. “Memang terdapat beras turun mutu sebanyak 6.800 ton yang berlokasi di Bulog Divre Sumsel dan Babel,” ujar Arjun kepada wartawan.
Untuk mengatasi masalah itu, pihak Bulog hanya bisa melakukan sortasi untuk mencegah meluasnya beras yang turun mutu tersebut.
Munculnya beras turun mutu ini tak terlepas dari membludaknya stok beras yang dimiliki Badan Usaha Milik Negara (BUMN) bidang pangan ini. Pada akhir 2018, stok beras yang ada di gudang-gudang beras Bulog mencapai sekitar 2,2 juta ton. Angka ini merupakan yang terbesar dibandingkan stok di tahun-tahun sebelumnya — yang jumlahnya tak lebih dari 1,5 juta ton.
Sayangnya, stok yang melimpah itu tidak bisa disalurkan secara cepat oleh Perum Bulog. Apalagi, tugas Bulog untuk menyalurkan beras ke rakyat miskin dipangkas, setelah program beras keluarga sejahtera (Rastra) diubah menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) sejak 2017.
Kementerian Sosial (Kemensos) pada tahun 2018 telah mampu menyalurkan BPNT kepada 10,2 juta penerima yang berada di 219 kabupaten/kota. Penyaluran dilakukan melalui lebih dari 80.000 agen.
Memasuki 2019, Kemensos menargetkan penyaluran BPNT dapat diterapkan 100% kepada 15,6 juta keluarga penerima manfaat. Artinya, ada sekitar 5,4 juta penerima baru BPNT yang tersebar di 295 kabupaten/kota.
Seiring target 100% itu, maka tugas Bulog untuk menyalurkan Rastra juga berkurang. Tahun ini, Bulog hanya ditugaskan untuk menyalurkan 213.000 ton Rastra kurun waktu Januari-April 2019.
Padahal, ketika program Rastra masih ada, Bulog dapat menyalurkan beras untuk program itu sekitar 3 juta ton setiap tahunnya, sehingga stok beras yang ada di gudang Bulog terus berganti dengan yang baru.
OP tidak signifikan
Menurut Arjun, pengadaan yang cukup besar oleh Bulog dan tidak diimbangi dengan penyaluran, mengakibatkan terjadinya penumpukan stok beras di gudang Bulog.
“Selain itu, kebijakan pemerintah yang terus mengurangi pagu Rastra (Bansos Rastra) setiap tahun secara bertahap ke Bantuan Pangan Non Tunai yang tidak mewajibkan komoditasnya (beras) berasal dari Bulog, ikut mempengaruhi perputaran barang Bulog,” paparnya.
Hilangnya pangsa pasar pengeluaran sekitar 3 juta ton/tahun itu tentu membuat Bulog kesulitan melepas stok berasnya ke pasaran dalam jumlah besar dan cepat.
Untuk mengandalkan operasi pasar (OP) pun tidak akan signifikan. “Operasi pasar saja tidak akan mampu membuat Bulog melepas berasnya ke konsumen dalam waktu cepat dan jumlah besar,” kata pengamat pertanian, Khudori kepada Agro Indonesia, Jumat (8/3/2019.
Menurutnya, volume beras yang bisa dikeluarkan melalui OP tidak terlalu banyak, hanya sekitar 3.000 ton/hari. “Padahal, saat ini Bulog membutuhkan saluran pengeluaran dalam jumlah besar dan cepat,” paparnya.
Khudori menilai, satu-satunya solusi tepat untuk membantu Bulog melepas stok berasnya yang telah lama disimpan di gudang-gudangnya itu adalah dengan mewajibkan para BPNT membeli beras asal Bulog.
“Namun, ada syaratnya, Bulog harus mampu menyediakan beras dengan kualitas yang lebih baik dan beraneka jenis sesuai kebutuhan masarakat konsumen,” ucapnya.
Dia menilai, selama ini beras yang digelontorkan Bulog kebanyakan beras asal impor yang jenisnya sebenarnya tidak disukai oleh semua masyarakat konsumen di negeri ini. “Bulog harus mampu menyediakan beragam jenis beras, baik yang dari lokal maupun impor, seperti beras Cianjur, Rojolele, beras Siam Super dan sebagainya kepada konsumen,” kata Khudori.
Tidak wajib
Apa yang diungkapkan Khudori sebenarnya senada dengan yang dilontarkan Dirjen Penanganan Fakir Miskin Kemensos, Andi ZA Dulung. Dia menyebutkan, selama Bulog dapat menjual beras berkualitas dengan harga yang bersaing, maka dengan sendirinya akan memilih beras Bulog jika sesuai dengan keinginan para penerima program BPNT.
Hanya saja, Kemensos tidak bisa mewajibkan penerima BPNT untuk membeli beras asal Bulog karena program tersebut tidak dirancang untuk mewajibkan pembelian beras asal Bulog.
Tapi, Khudori berharap pertemuan yang dipimpin Menko Perekonomian yang melibatkan instansi-instansi terkait seperti Kemensos, Kementan dan Perum Bulog bisa mengubah kebijakan yang sudah ada saat ini agar beras di gudang-gudang Bulog bisa disalurkan dalam jumlah besar dan cepat.
Harapan senada juga dilontarkan Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog Tri Wahyudi Saleh. “Program boleh beda, tapi kalau bisa sumber berasnya tetap sama,” ujar Tri dalam penjelasannya kepada pers.
Deput Bidang Koordinasi Pangan dan Pertanian, Kemenko Perekonomian, Musdhalifah Machmud menegaskan, pihaknya akan segera membahas mengenai jutaan beras yang saat ini masih menumpuk di gudang Perum Bulog. Pembahasan dilakukan melalui rapat koordinasi bersama sejumlah pemangku kepentingan.
“Akan ada beberapa opsi yang dikeluarkan dalam rapat koordinasi untuk menindaklanjuti tumpukan beras di gudang,” ujarnya.
Kita tunggu saja opsi apa yang akan diterapkan pemerintah untuk menyelamatkan Perum Bulog dari kerugian akibat stok berasnya tak bia dilepas ke pasar. B Wibowo
Serapan Turun Antisipasi Bulog?
Perubahan kebijakan dalam pemberian bantuan kepada rakyat miskin di negeri ini, dari sebelumnya melalui program beras keluarga sejahtera (Rastra) menjadi Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) sejak 2017, telah berpengaruh terhadap kemampuan Perum Bulog dalam melakukan penyerapan beras di dalam negeri.
“Sepertinya, manajemen Perum Bulog telah mengantisipasi pergantian program itu dengan menurunkan kemampuan penyerapan berasnya,” ujar pengamat masalah pertanian, Khudori.
Data Perum Bulog menunjukkan, pengadaan atau penyerapan beras lokal oleh BUMN bidang pangan itu pada tahun 2016 mencapai 2.961.505 ton setara beras. Volume penyerapan itu kemudian menurun menjadi 2.161.225 ton setara beras di tahun 2017. Bahkan, di tahun 2018, penyerapan yang dilakukan Perum Bulog mengalami penurunan cukup besar dengan hanya mampu menyerap sebesar 1.448.584 ton setara beras.
Kalaupun pada akhir tahun 2018 stok beras yang ada di gudang beras mencapai sekitar 2,1 juta ton, hal itu disebabkan adanya tambahan pasokan dari kegiatan impor beras sekitar 1,8 juta ton pada tahun tersebut.
Khudori memperkirakan, penyerapan beras Bulog di tahun 2019 ini bisa saja lebih kecil lagi jika tak ada kebijakan pemerintah terhadap jaminan mengenai pelepasan stok beras Bulog jika sudah melampaui batas penyimpanan yang ditetapkan pemerintah.
Lamanya stok beras yang bisa disimpan di gudang Perum Bulog antara lain diatur dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) Nomor 38 tahun 2018 tentang Pengelolaan Cadangan Beras Pemerintah. Dalam aturan itu disebutkan, Bulog harus melakukan disposal atau pelepasan untuk stok beras yang sudah tersimpan lebih dari empat bulan.
Jika mengacu pada kegiatan penyerapan dan importasi yang dilakukan sepanjang tahun 2018, maka volume beras di gudang Bulog yang sudah harus dilepas ke pasar karena sudah melampaui batas yang ditetapkan Permentan tersebut.
Selain karena kendala kesulitan melakukan pelepasan ke pasar, potensi berkurangnya kemampuan melakukan penyerapan di dalam negeri juga disebabkan oleh harga gabah dan beras yang saat ini sudah berada di atas harga patokan pemerintah (HPP).
“Harga beras dan gabah yang sudah berada di atas HPP tentu menyulitkan tugas Bulog untuk melakukan penyerapan di dalam negeri,” papar Khudori.
Berdasarkan Inpres Nomor 5 tahun 2015, HPP beras terdiri atas GKP Tingkat Petani Rp3.700/kg, GKP Tingkat Penggilingan Rp3.750/kg, GKG Tingkat Penggilingan Rp4.600/kg, GKG di gudang Bulog Rp4.650/kg dan beras di gudang Bulog Rp7.300/kg.
Menurut Khudori, sebenarnya, pemerintah berniat untuk menaikkan HPP pada musim panen tahun ini, namun hal itu sulit terlaksana karena tahun 2019 adalah tahun politik.
Jika tidak ada solusi tepat dari pemerintah, dia memperkirakan penyerapan beras dalam negeri oleh Bulog di tahun 2019 ini akan mengalami penurunan dibandingkan tahun lalu.
Jika mengacu pada fakta di lapangan, terlihat sekali Perum Bulog kedodoran dalam melakukan target penyerapan sebanyak 10% dari total produksi beras atau sekitar 1,8 juta ton pada tahun ini.
Hingga tanggal 8 Maret 2019, volume pengadaan yang dilakukan Perum Bulog baru mencapai 15.496 ton setara beras. Padahal, selama Januari hingga Maret 2019, potensi produksi beras sebesar 14.288.120 ton.
Adapun rinciannya yakni produksi Januari 2019 sebesar 2.472.618 ton, produksi Februari 2019 sebesar 4.511.519 ton, dan produksi Maret 2019 sebesar 7.303.983 ton. B. Wibowo