Menyusul keluarnya paket ekonomi jilid IX, terutama soal stabilisasi harga daging yang akan membuka kran impor daging dari India, muncul sejumlah laporan terjadinya penyakit hewan sangat menular di Jakarta dan Bogor, Jawa Barat. Sayangnya, pemerintah tak pernah mengumumkan apa penyakit yang telah menyerang peternakan babi tersebut, meski gejala yang ada mirip dengan penyakit mulut dan kuku (PMK) yang sangat berbahaya.
Pemerintah akhirnya memilih ‘jalan pintas’ menstabilkan harga daging dalam negeri. India, negeri yang belum bebas penyakit mulut dan kuku (PMK), kini terbuka jadi sumber pasok daging impor. Kemungkinan itu masuk dalam paket kebijakan ekonomi jilid IX, yang salah satunya soal stabilisasi harga daging. Apalagi, payung hukum pun tersedia lewat UU No.41 Tahun 2014 tentang Perubahan atas UU No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan.
Sesuai pasal 36E, impor produk ternak (daging, misalnya) dari zona suatu negara, “dalam hal tertentu”, dibolehkan. Frasa ‘dalam hal tertentu’, sesuai penjelasan pasal, disebutkan sebagai “keadaan mendesak, antara lain, akibat bencana, saat masyarakat membutuhkan pasokan ternak dan/atau produk ternak.” Lentur, memang. Kini, tinggal satu langkah yang tersisa, yakni membuat peraturan pemerintah (PP).
Jika PP beres, yang tinggal ditindaklanjuti peraturan menteri, maka prinsip zero tolerance terhadap penyakit hewan menular yang dianut Indonesia selama ini — melalui penerapan country-based — bisa dianggap gugur. Daging India, yang datang dari zona tertentu di negara itu yang bebas PMK, bebas menyerbu.
Namun, entah sensitif atau malah bisa merusak rencana stabilisasi harga daging, pemerintah diketahui bersikap bungkam ketika terjadi kasus penyakit hewan menular yang mirip dengan PMK. Kasus pertama terjadi di Rumah Potong Hewan (RPH) Kapuk milik Dharma Jaya (BUMD DKI Jakarta) pada September 2015. “Kami sudah menyurati Dirjen Peternakan yang meminta klarifikasi penyakit apa yang terjadi pada beberapa ekor babi. Ciri-cirinya, terjadi lepuh-lepuh di kaki dan kuku hewan itu. Tapi sampai sekarang tidak ada jawaban,” ujar Dirut Dharma Jaya, Marina Ratna, Jumat (12/2). Apalagi, selain di RPH Kapuk, penyakit yang sama terjadi di peternakan babi di bantaran Cisadane, Kota Tangerang.
Kasus kedua terjadi sebulan kemudian di peternakan babi milik Usep di Gunung Sindur, Bogor. Sebanyak 23 dari 95 ekor babi milik Usep diketahui sakit dengan gejala erosi dan lepuh-lepuh pada moncong dan kaki serta kuku lepas. Dari ternak sakit ini, 5 ekor yang parah dimusnahkan dengan mengubur dan dibakar.
Ketua Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Teguh Boediyana mengaku punya data tentang ternak babi yang mati, baik di RPH Kapuk maupun di Gunung Sindur. Namun, dia tidak berani mengatakan apakah itu PMK atau bukan. “Saya bukan dokter hewan. Sebaiknya ditanya pada instansi pemerintah yang berwewenang,” tegasnya.
Sayangnya, tak satupun pejabat Kementerian Pertanian yang mau memberi keterangan. Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Muladno tidak mau memberi komentar. Dia menyerahkan penjelasan ke Direktur Kesehatan Hewan, Ketut Diarmita. Anehnya, Ketut Diarmita baru akan memberikan penjelasan kalau sudah ketemu. “Saya akan jelaskan saat kita ketemu nanti,” katanya via pesan singkat. AI