Pengusaha Tolak PPN Produk Pertanian

Keputusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 31 Tahun 2007, sehingga produk pertanian, perkebunan dan kehutanan kembali dikenakan pajak pertambahan nilai (PPN), menyulut protes dan keberatan pengusaha. Padahal, uji materi PP tersebut justru datang dari Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia. Ada apa sebenarnya?

Entah apa yang terjadi dengan Kadin Indonesia sebagai wadah seluruh asosiasi. Apakah mereka tidak berkoordinasi atau minimal berkomunikasi, sehingga saat Mahkamah Agung (MA) melansir keputusan Nomor 70 Tahun 2014 justru memicu kemarahan sejumlah asosiasi yang bergerak di sektor pertanian dan perkebunan. Padahal, keputusan MA itu lahir dari permintaan Kadin menguji materi PP 31/2007 tentang Impor dan atau Penyerahan Barang Kena Pajak Tertentu yang Bersifat Strategis yang Dibebaskan dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai.

Kini, setelah keputusan MA itu keluar, berarti barang hasil pertanian yang dihasilkan dari usaha pertanian, perkebunan dan kehutanan oleh pengusaha kena pajak (PKP) kembali dikenakan PPN. Sebelumnya, barang hasil pertanian tadi dibebaskan dari pengenaan PPN.

“Penerapan kebijakan tersebut akan berdampak negatif bagi perkopian nasional,” tegas Ketua Umum Asosiasi Eksportir dan Industri Kopi Indonesia (AEKI), Irfan Anwar. Seraya membeberkan segala dampak negatif kebijakan itu, Anwar pun menyatakan pihaknya tak bisa menerima kebijakan itu. “AEKI menolak penerapan PPN 10% terhadap kopi,” tegasnya.

Suara keras juga disampaikan Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI). Meski yang meminta uji materi adalah Kadin Indonesia, namun AIKI meminta MA bisa melihat persoalan secara menyeluruh sebelum membatalkan aturan pembebasan PPN untuk produk pertanian. “Seharusnya jangan hanya melihat kepentingan industri tertentu, seperti sawit, dan mengorbankan industri agro lainnya,” ujar Ketua AIKI, Piter Jasman. Itu sebabnya, kata Jasman, MA harus meninjau kembali keputusannya.

Kasus ini memang rada aneh. Sesama pengusaha tidak kompak. Namun, jika melihat penjelasan Wakil Menteri Perdagangan Bayu Krisnamurthi, persoalannya jadi lebih terang. Pembebasan PPN ternyata merugikan pengusaha olahan atau industri hilir produk pertanian, terutama yang bersifat terintegrasi. Sesuai sistem PPN, pajak yang dikenakan (pajak keluaran) bisa dikurangi dengan pajak yang sudah dibayar pada tahap sebelumnya (pajak masukan). Nah, karena produk pertanian bukan barang kena pajak (BKP), maka pajak masukannya tidak dapat diperhitungkan. Artinya? “Beban pajak ditanggung sepenuhnya oleh pengusaha pengolahan atau industri hilirnya,” kata Bayu.

Bayu sendiri mengakui pengenaan PPN ini berpotensi merugikan dan menekan petani serta mendorong ekspor produk mentah. Hanya saja, membebaskan PPN juga bukan solusi karena menimbulkan masalah pada industri pengolahan yang bersifat integratif. Jadi, apa dong solusinya? “Mungkin perlu dipikirkan penerapan pajak penjualan final,” katanya. AI