Dongkrak Harga Lewat SNI

Dalam dua tahun mendatang, Kementerian Pertanian (Kementan) mewajibkan petani kakao memenuhi Standar Nasional Indonesia (SNI) sebelum memasarkan produksinya. Ketentuan ini tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 67/2014 tentang Persyaratan Mutu dan Pemasaran Biji Kakao yang disahkan pada 21 Mei 2014 itu baru akan berlaku aktif 2 tahun setelah dirilis.

Dalam Permentan itu disebutkan biji kakao yang dipasarkan harus memenuhi standar mutu yang dibuktikan dengan Surat Keterangan Asal Lokasi-Biji Kakao (SKAL-BK) dan Sertifikat Jaminan Mutu Pangan Hasil Pertanian (SJM-BK).

Regulasi tersebut mengisyaratkan pembentukan Unit Fermentasi dan Pemasaran-Biji Kakao (UFP-BK), Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Pusat (OKKP-P) dan Otoritas Kompeten Keamanan Pangan Daerah (OKKP-D).

UFP-BK sendiri dibentuk oleh kelompok tani sebagai tempat pemrosesan dan pemasaran biji kakao, sementara OKKP, baik di pusat maupun daerah, memiliki kewenangan untuk melansir SJM-BK dan memberikan sanksi kepada UFP-BK.

Dirjen Pengolahan dan Pemasaran Hasil Pertanian (PPHP) Kementan, Yusni Emilia Harahap mengatakan, ketentuan SNI ini bukan untuk membunuh petani kakao karena petani masih diberi waktu 24 bulan untuk mempersiapkan diri. “Justru dengan ketentuan baru ini harga kakao petani akan lebih mahal. Dengan adanya SNI ini kita harapkan pendapatan petani kakao meningkat,” katanya kepada Agro Indonesia.

Dia mengatakan, sosialisasi SNI biji kakao sudah dilakukan kepada masyarakat tani sejak tahun 2008. Kini, setelah aturan SNI diterbitkan, maka dalam dua tahun mendatang petani dituntut untuk memenuhi ketentuan ini.

Untuk itu, lanjutnya, pemerintah pusat akan memberikan insentif, di antaranya peralatan pengolahan biji kakao, pelatihan kepada petani kakao dan melakukan ujicoba. “Ujicoba sudah kita lakukan di beberapa sentra produksi, seperti di Sulawesi. Dengan waktu 2 tahun tersebut, kami perkirakan petani sudah siap,” ungkapnya.

Selain itu, katanya, jangka waktu tersebut akan digunakan untuk memetakan daerah mana saja yang siap melakukan implementasi peningkatan mutu sekaligus menjadi percontohan daerah lain.

Permainan pedagang

Di luar hal itu, dia juga meminta kepada industri pengolahan kakao agar menghargai upaya ini. Yusni memaparkan, Kementan telah menempuh koordinasi lintas kementerian untuk merapikan rantai hulu-hilir komoditas ini.

Selama ini, kata Yusni, harga biji kakao sering dipermainkan pedagang, terutama untuk biji kakao yang difermentasi dengan non-fermentasi, selisih harganya sangat kecil sehingga petani tidak mau menjual biji kakao dalam bentuk fermentasi.

Namun, dengan adanya ketentuan SNI, petani mau tidak mau harus melakukan fermentasi produknya. Untuk mendorong petani agar melakukan fermentasi, pemerintah akan membuat aturan bahwa harga biji kakao fermentasi lebih mahal.

“Kita akan patok selisih harga biji kakao fermentasi dengan non-fermentasi minimal Rp3.800/kg. Kita juga minta kepada pedagang harus menghargai ketentuan ini, demi kepentingan bersama. Permentan ini penting untuk meningkatkan pendapatan petani,” tegasnya.

Butuh insentif

Sementara itu Dirjen Perkebunan, Gamal Naser menyambut baik adanya persyaratan mutu biji kakao. ”Demi kesejahteraan petani kakao, kami setuju-setuju saja dengan dengan kebijakan itu,” katanya.

Agar kebijakan tersebut bisa diaplikasikan di lapangan, pemerintah harus memberikan insentif kepada petani. “Jika tidak ada insentif bagi petani, saya kira kebijakan ini sulit untuk dilakukan. Saya dengar pemerintah akan memberikan insentif berupa peralatan,” katanya.

Namun, Gamal menilai insentif tersebut dinilai belum mendorong petani untuk melakukan fermentasi biji kakao, sebab yang dibutuhkan petani adalah harga. Selama ini, selisih harga kakao fermentasi dengan non-fermentasi hanya Rp1.000/kg-Rp2.000/kg. Jika selisih harga ini masih kecil, dikhawatirkan petani tidak mau melaksanakan.

“Biasanya petani butuh dana tunai. Nah, fermentasi membutukan waktu sekitar 5 hari. Selisih  harga kakao fermentasi minimal Rp3.000-Rp5.000/kg lebih mahal dari kakao non-fermentasi. Dengan selisih yang menarik ini, saya yakin petani akan melakukannya,” tegas Gamal.

Dia menyebutkan, selama ini hanya 10% dari produksi kakao nasional yang difermentasi. Namun demikian, buat petani kakao penerapan SNI biji kakao — yang mengharuskan difermentasi sebelum dijual — sebetulnya bukan hal baru. Masalahnya, selama ini selisih harga  antara kakao fermentasi dengan non-fermentasi tidak menarik, sehingga petani pun enggan mengolah biji kakaonya.

Luas areal tanaman kakao sendiri sekitar 1,7 juta hektare (ha) dengan jumlah petani yang terlibat mencapai 1,6 juta kepala keluarga (KK). Dengan luasan tersebut, produksi kakao yang diklaim pemerintah tahun 2013 sebanyak 930.000 ton, sementara asosiasi industri mencacat produksi kakao hanya 450.000 ton dan versi petani produksi kisaran 650.000 ton.

Tak realistis

Gamal menyebutkan, sejak tahun 2009 saat program Gerakan Nasional (Gernas) kakao dicanangkan, mutu produksi kakao mendapat perhatian tersendiri. Kini, dengan adanya keharusan SNI, diharapkan kualitas kakao Indonesia akan lebih baik lagi.

Soal tenggang waktu yang diberikan selama 2 tahun, Gamal mengaku yakin petani bisa menyiapkan diri. Apalagi, dengan SNI ini petani harus menjadi anggota unit pengolahan biji kakao. “Saya dengar nantinya ada unit pengolahaan yang anggotanya adalah petani kakao. Artinya, kelembagaan harus kuat dan baik agar program ini berjalan,” ungkapnya.

Sementara Direktur Pusat Penelitian Kopi dan Kakao (Puslit Koka), Teguh Wahyudi menilai, waktu 2 tahun yang diberikan pemerintah kepada petani untuk melakukan persiapan sertifikasi biji kakao tidak realistis dan harus diperpanjang. “Waktu 2 tahun itu masih kurang kalau untuk target secara total,” katanya.

Dia mengatakan, ada faktor budaya yang menghambat penerapan tersebut secara menyeluruh, yakni kebiasaan petani yang tidak memfermentasi hasil panennya. Meski demikian, Teguh masih optimis sertifikasi tersebut bisa berjalan apabila diterapkan secara tegas karena memang cocok bagi kebutuhan industrial.

Dia menjelaskan, SNI yang diisyaratkan oleh Permentan itu adalah adopsi dari pasar Eropa dan telah disosialisasikan sejak terbit, yaitu pada 2008. Demi menjalankan hal itu, katanya, pemerintah perlu melakukan beberapa hal, yaitu sosialiasi secara masif kepada seluruh stakeholder. Jamalzen/E.Y. Wijianti

Sama-sama Diuntungkan

Kebijakan Kementan menerapkan SNI terhadap komoditas biji kakao mendapat dukungan Kementerian Perindustrian (Kemenperin). “Kami mendukung kebijakan tersebut karena menjadikan bahan baku untuk industri pengolah kakao di dalam negeri memiliki standar yang sama,” kata Direktur Makanan, Hasil Laut dan Perikanan, Kementerian Perindustrian, Abdul Rochim di Jakarta, akhir pekan lalu.

Menurutnya, pihak Kemenperin sebenarnya sudah lama mendorong agar diberlakukan SNI terhadap biji kakao di dalam negeri karena selama ini industri tidak mendapatkan biji kakao dengan kualitas merata. Akibatnya, industri pengolah kakao terpaksa melakukan kegiatan impor untuk mendapatkan bahan baku kakao yang kualitasnya baik.

“Dengan adanya kualitas yang merata, maka baik pelaku industri maupun petani akan sama-sama diuntungkan,” papar Abdul Rochim.

Dia juga menjelaskan, untuk mendukung petani kakao dalam menghasilkan biji kakao yang berkualitas, Kemenperin telah mendorong industri-industri pengolah kakao di dalam negeri untuk memberikan bantuan kepada petani kakao. “Kami mendorong pelaku industri memberikan pembinaan atau melakukan kemitraan dengan petani kakao agar petani bisa menghasilkan biji kakao yang diinginkan,” ujarnya.

Pembinaan dan kemitraan itu, ungkapnya, sudah banyak dilakukan pelaku industri pengolah kakao melalui kegiatan peningkatan sumber daya manusia (SDM), penyuluhan hingga tatacara budidaya kakao yang baik.

Kemenperin sendiri sudah sejak lama, yakni tahun 2009, menerapkan SNI terhadap produk olahan kakao, seperti bubuk kakao dan sebagainya. Hasilnya, produk olahan kakao Indonesia mampu bersaing di pasar dalam negeri maupun luar negeri.

Dukungan terhadap penerapan SNI kakao juga dilontarkan Asosiasi Industri Kakao Indonesia (AIKI). Ketua AIKI,  Piter Jasman mengatakan, AIKI mendukung SNI biji kakao agar mutu kakao Indonesia bisa ditingkatkan.

“Selama ini industri terpaksa mengimpor biji kakao dari Afrika sebanyak 30.000 ton/tahun karena kakao dari Indonesia mutunya kurang bagus, terutama tidak difermentasi,” ujarnya.

Dengan diterapkannya SNI kakao, ungkap Piter, diharapkan impor biji kakao berkurang dan bisa menarik lebih banyak lagi minat investor hilir coklat untuk berinvestasi di Indonesia.

Piter juga menyatakan, para pelaku industri pengolahan kakao di dalam negeri siap untuk memberikan harga yang lebih baik lagi terhadap biji kakao yang telah memenuhi standar SNI nantinya.

“Pada dasarnya, harga sangat erat kaitannya dengan mutu komoditas. Jika semakin tinggi mutu biji kakao itu, maka harga jualnya  juga akan mengikutinya,” paparnya. B Wibowo