Menteri Pertanian Suswono mengatakan akan terus mendorong petani kakao untuk mendapatkan SNI. Selain meningkatkan kualitas, sertifikasi kakao ini juga bakal mampu menaikkan nilai jual kakao Indonesia menjadi lebih tinggi.
Menurut dia, penerapan SNI kakao bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan daya saing kakao milik petani. Dengan kualitas yang baik, maka petani akan mendapatkan harga yang bagus di pasaran.
“SNI ini memiliki standardisasi tinggi. Dengan standar tersebut, maka harga kakao di pasaran tentu juga akan meningkat,” katanya pada Agro Indonesia di Jakarta, pekan lalu.
Peningkatan standar itu merupakan hal yang harus dilakukan karena tahun depan Indonesia akan menjadi masyarakat ekonomi ASEAN (MEA) yang menginginkan produk pertanian memiliki standar tinggi. “Kalau itu terjadi sementara produk kita tidak memiliki sertifikasi dan standar, nanti malah produk-produk kita tidak bisa bersaing. Nah, SNI ini menjadi cara kita untuk meningkatkan daya saing kakao Indonesia,” paparnya.
Pemerintah telah menyiapkan perangkat standar kualitasnya melalui Direktorat Jenderal PPHP Kementan. Pembinaan petani melalui kelompok tani seperti Kelompok Unit Desa (KUD) zaman dahulu. Kelompok ini akan memudahkan petani mengakses sarana prasarana dan menjual produk standar sesuai standar yang telah ditentukan oleh pemerintah. “Kita akan melatih petani kakao hingga mereka mendapatkan sertifikat SNI tersebut,” kata Suswono.
Sebagai bentuk komitmen, pemerintah juga akan mempermudah proses sertifikasinya. Asalkan standarnya terpenuhi. “Proses pemberian SNI-nya akan kita permudah, asalkan standarnya terpenuhi. Bagi petani yang belum memenuhi standar akan kita bantu sampai mereka benar-benar mendapatkan standarnya,” tukas Suswono.
Lebih lanjut Suswono mengatakan, sertifikasi SNI juga menjadi salah satu upaya pemerintah menghadapi MEA tahun 2015. Karena itu, Suswono menganggap mau tidak mau sertifikasi menjadi keharusan untuk masuk pasar ASEAN. Kalau dari Kementan adalah akan meningkatkan produktivitas, sehingga dengan luas lahan yang sama mereka dapat insentif berupa produksi yang meningkat.
Ketua Umum Asosiasi Petani Kakao Indonesia (APKAI), Arief Zamroni menyatakan kesiapannya mengikuti aturan pemerintah tentang standar SNI kakao. Dia sadar SNI bermanfaat untuk memacu standar kualitas kakao Indonesia. Hanya saja, meski menerima, Arief meminta agar pemerintah serius menyiapkan langkah-langkah penyuksesan SNI kakao.
“Jika pemerintah serius, saya yakin dalam waktu 2 tahun petani sudah siap melaksanakan ketentuan SNI kakao,” tukasnya.
Arief menilai, selain penerapan SNI, petani juga mengusulkan Gernas Kakao guna memacu produksi. Pasalnya, saat ini banyak pohon kakao yang sudah berumur tua. Gernas Kakao perlu dikembangkan meskipun sebelumnya sudah pernah dilakukan. Karena Gernas Kakao sebelumnya hanya dilakukan pada wilayah tertentu, tidak dilakukan secara merata di seluruh Indonesia.
“Bagaimana kegiatan Gernas Kakao ini diarahkan ke partisipasi petani. Gerakan harus merata, kalau selama ini kan hanya dipusatkan di Sulawesi saja,” timpal Arief.
Harga premium
Salah satu cara agar SNI sukses, petani meminta adanya harga premium bagi kakao yang telah memiliki sertifikat SNI. Dibandingkan antara kakao asalan dengan kakao fermentasi, setidaknya ada perbedaan harga hingga 10%.
“Kalau sudah difermentasi seharusnya ada jaminan harga dari pemerintah dengan memberikan harga premium sekitar 10% dibandingkan kakao asalan,” tukasnya.
Menurut Arief, sekarang ini harga fermentasi tidak jauh beda dengan asalan, di mana perbedaannya antara Rp1.000/kg-Rp2.000/kg. Padahal, untuk mendapatkan kakao berfermentasi ini, petani memerlukan waktu yang cukup lama, yaitu antara 5 sampai 7 hari. Sementara kakao asalan hanya butuh waktu 2 sampai 3 hari saja.
“Jadi, kalau dihitung waktu dan tenaganya itu tidak seimbang. Makanya petani tidak tertarik melakukan fermentasi produk kakao,” tegas Arief.
Ditambahkannya, keengganan petani melakukan fermentasi selain harga yang rendah, waktu dan tenaga yang lama, juga terjadi penyusutan yang lebih tinggi untuk kakao fermentasi dibandingkan dengan kakao asalan. “Hal inilah yang kadang membuat petani kakao beralih ke komoditas lain seperti sawit,” katanya.
Dia menjelaskan, fermentasi sendiri dimulai dengan proses panen, pemecahan kakao, penyimpanan di karung atau kotak, kemudian membuang vulva, dan terakhir mengeringkannya.
Sulit
Masalah harga memang membutuhkan perhatian serius. Pasalnya, di lapangan, dari harga kakao sebesar Rp3.000/kg, petani hanya mendapatkan harga antara Rp23.000-Rp27.000/kg. Bahkan di tengkulak, petani yang tak memiliki akses informasi hanya mendapatkan harga antara Rp17.000-Rp18.000/kg.
Christian, eksportir kakao di Sulawesi, ketika dihubungi Agro Indonesia mengatakan, kebijakan pemerintah yang mewajibkan petani melakukan fermentasi biji kakao sulit untuk dilaksanakan. “Selama ini petani tidak tertarik mengolah biji kakao karena beda harganya tipis, yaitu sekitar Rp1.000/kg,” katanya.
Menurut Christian, kebijakan ini bisa berjalan efektif jika harga biji kakao yang difermentasi mempunyai selisih harga sekitar Rp3.500/kg dari harga kakao non-fermentasi. Tapi hal ini sulit dilaksanakan, karena yang menentukan harga tersebut adalah pedagang, bukan petani.
“Untuk itu, pemerintah harus membuat ketentuan yang memaksa agar selisih harga jual kakao fermentasi dengan non-fermentasi minimal Rp3.500/kg. Bila aturannya tidak ada, maka kebijakan ini sulit dilaksanakan,” tegasnya.
Dia juga mengingatkan pemerintah bahwa tidak semua biji kakao harus difermentasi karena karena jika difermentasi cepat meleleh. Untuk itu, katanya, masih diperlukan biji kakao non-fermentasi.
Christian juga menilai, waktu 2 tahun yang diberikan pemerintah kepada petani untuk mempersiapkan diri terlalu singkat. Pasalnya, tidak setiap daerah mempunyai sarana pengolahan biji kakao. “Meskipun ada bantuan peralatan dari pemerintah, namun waktu yang diberikan itu terlalu singkat,” katanya. Jamalzen/E.Y. Wijianti
Investasi Industri Terus Meningkat
Potensi produksi kakao yang cukup besar serta diterapkan kebijakan hilirisasi industri kakao di Indonesia telah mampu menyedot minat investor asing untuk menanamkan investasinya di industri pengolahan kakao di Indonesia.
Kalangan investor tertarik untuk membenamkan modalnya di industri pengolahan kakao di Indonesia antara lain disebabkan produktivitas budidaya kakao Indonesia masih bisa ditingkatkan dua kali lipat dari sekarang.
Saat ini, kegiatan budidaya kakao Indonesia baru mampu menghasilkan panen sekitar 500 kg/hektare. Padahal, dengan kondisi lahan yang cukup subur, panen biji kakao bisa ditingkatkan menjadi 1 ton/ha.
Jika saja Indonesia mampu meningkatkan produkstivitas dari budidaya kakao sebanyak dua kali lipat, maka produksi kakao Indonesia akan mencapai angka sekitar 1 juta ton/tahun atau menempati urutan pertama sebagai negara produsen kakao dunia.
Data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian menyebutkan, pada 2013 luas areal perkebunan kakao sebesar 1,85 juta ha. Luas itu meliputi tanaman kakao belum menghasilkan 742.980 ha, tanaman menghasilkan 883.863 ha, dan tanaman rusak 226.101 ha.
Masih luasnya lahan budidaya kakao serta potensi produksi itu menjadikan industri pengolahan kakao di Indonesia dalam beberapa tahun terakhir terus bertambah. Pada saat ini perusahaan kakao dan cokelat di Indonesia sebanyak 16 perusahaan dengan kapasitas terpakai 400.000 ton. Dengan terus berdatangannya investor ke industri kakao, diperkirakan jumlah perusahaan kakao di Indonesia pada 2016 menjadi 19 perusahaan dengan kapasitas 700.000 ton.
Saat ini saja, sebanyak tiga perusahaan telah mulai merealisasikan investasi senilai total 150 juta dolar AS (Rp1,72 triliun) di industri kakao olahan. Ketiga perusahaan tersebut adalah PT Cargill Indonesia dengan nilai investasi 100 juta dolar AS, Kalla Group sekitar 30 juta dolar, dan BT Cocoa senilai 20 juta dolar. B Wibowo