Kebijakan pemerintah membuka impor daging kerbau dari India, nampaknya tidak banyak berpengaruh terhadap harga daging dalam negeri. Buktinya, harga komoditi ini tetap stabil tinggi, yaitu di atas Rp100.000/kg.
Sehubungan dengan itu, pemerintah akan mengkaji dan merevisi Peraturan Pemerintah (PP) No. 4 Tahun 2016 tentang Pemasukan Ternak dan atau Produk Hewan. Revisi PP ini tak lain untuk membuka kemungkinan pelaksana impor daging kerbau dari India — yang selama ini ditugaskan kepada Bulog — juga akan diberikan kepada importir swasta.
Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Kementerian Pertanian, Sri Mukartini mengakui sudah mendapat tembusan surat Menteri Perdagangan kepada Menteri Koordinator Bidang Perekonomian. Isi surat meminta mengkaji kemungkinan revisi PP No. 4/2016.
“Revisi ini untuk membuka akses lebih luas bagi importir selain Bulog agar dapat mengimpor daging kerbau dari India. Namun, masalah ini belum dibahas di tingkat Rakortas,” katanya.
Selain itu, lanjut Sri, pemerintah saat ini masih menunggu hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) tentang zona–based yang menjadi dasar kajian revisi tersebut. Seperti diketahui, MK saat ini masih belum memutuskan uji materi UU No.41/2014 tentang Perubahan Atas UU No.18/2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan, terutama terkait penerapan basis zona (zona-based) dari semula basis negara (country-based) untuk impor daging dari negara belum bebas PMK.
Daging murni
Menyinggung soal harga daging sapi yang masih tinggi, Sri mengatakan, tingginya harga daging karena yang dijual adalah daging murni yang sudah di-trimming atau dibersihkan sehingga bagian lemaknya lebih sedikit dibandingkan dengan daging beku eks-impor.
“Daging beku eks-impor yang ada di pasar harganya bervariasi, namun semua di bawah Rp 80.000/kg. Bahkan, daging kerbau eks India dijual Rp65.000/kg. Masyarakat tinggi pilih jenis dan harga yang mau dibeli,” katanya.
Namun, dari situs informasi harga pangan DKI Jakarta (http://infopangan.jakarta.go.id), harga daging sapi murni (semur) per 26 November 2016 secara rerata mencapai Rp113.771/kg. Harga tertinggi tercatat di Pasar Baru Metro Atom sebesar Rp130.000/kg dan terendah mencapai Rp120.000 di Pasar Kelapa Gading. Harga rerata itu memang menurun Rp3.228/kg.
Sementara kalangan importir daging yang tergabung dalam Asosiasi Pengusaha Importir Daging Indonesia (Aspidi) kontan menyambut baik rencana dibukanya impor daging India oleh swasta. “Kalau kami diberikan untuk melakukan impor daging kerbau, saya berkeyakinan harga daging dapat ditekan,” kata Direktur Eksekutif Aspidi, Thomas Sembiring kepada Agro Indonesia, di Jakarta, Jumat (25/11/2016).
Menurut dia, jika pemerintah memang mau menekan harga daging di pasar, maka pelaksana impor daging kerbau sebaiknya juga diberikan kepada importir daging yang memang selama ini sudah berpengalaman bisnis daging.
“Bulog pun dalam melaksanakan impor daging kerbau nyatanya bekerjasama dengan importir, terutama dalam hal distribusi,” tegasnya. Jika importir swasta diberi kepercayaan melaksanakan impor daging kerbau, otomatis harga jual juga bisa lebih murah.
“Kalau kami beli dari Bulog, maka harganya beda dengan kami impor langsung dari negara asal. Bulog bagaimanapun lembaga komersial. Jadi, dalam hal ini Bulog juga cari untung,” ungkapnya.
Thomas menyebutkan alasan harga daging masih sulit ditekan, meskipun impor sudah dibuka lebar, adalah karena masyarakat yang mengkonsumsi daging kerbau adalah masyarakat kelas menengah ke bawah. Sementara bagi masyarakat menengah-atas tetap memilih daging sapi. “Bagi masyarakat kelas menengah-atas, masalah harga bukan jadi hambatan untuk beli daging, makanya harga daging sulit ditekan,” katannya.
Dia juga mengatakan, daging kerbau, mestinya masuk ke pelosok-pelosok, hal itu sebenarnya tidak boleh karena pasar di pelosok untuk pasar daging sapi lokal.
Banjiri pasok
Menurut Thomas, apabila pasar daging dibanjiri pasok, dia yakin harga akan turun. “Kalau pasok daging banyak ke pasar, saya yakin harga daging sapi akan tertekan, sehingga harga menjadi turun,” katanya. Itu sebabnya, Aspidi menyambut baik rencana pemerintah revisi PP No.4/2016. Apalagi, revisi tersebut akan memberi peluang importir swasta mengimpor daging kerbau dari India.
Selama ini impor daging kerbau hanya ditugaskan kepada Bulog atau BUMN lain yang ditunjuk. Namun, dalam pelaksanaan dan penyaluran daging kerbau tersebut, Bulog sudah berkerja sama dengan ‘pemain’ daging dalam negeri, seperti dengan Indoguna, Agro Boga, dan sebagainya.
Artinya, lanjut Thomas, kalau kelak swasta diberikan kepercayaan untuk impor langsung, maka rantai distribusi bisa dipangkas, sehingga harga pun dapat ditekan lebih murah.
Sementara Direktur Eksekutif Gabungan Pelaku Usaha Peternakan Sapi Potong Indonesia (Gapuspindo), Joni Liano mengatakan, gagalnya pemerintah menurunkan harga daging di pasar lokal — meski kran impor daging kerbau sudah dibuka — karena harga jual Bulog cukup mahal.
Data Agro Indonesia mencatat, informasi dari Asosiasi Pengusaha Protein Hewani Indonesia (APPHI) menyebutkan harga jual daging kerbau dari India yang diimpor Bulog sekitar Rp63.000/kg-Rp65.000/kg. Harga ini dinilai mahal mengingat harga daging kerbau sampai di Indonesia tidak lebih dari Rp55.000/kg.
Menurut Joni, kehadiran daging kerbau ini lebih pada program penyediaan sumber protein yang murah untuk masyarakat. “Tujuan impor daging kerbau hanya untuk memperbanyak pilihan sumber protein,” ujarnya,
Dia sangat setuju pemerintah menyediakan pilihan protein sebanyak-banyaknya. Hanya saja, seharusnya itu tidak datang dari India yang belum bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). “Banyak sumber protein lain, ada daging ayam, kambing, domba dan kelinci yang harganya relatif terjangkau,” tegasnya.
Menurut dia, daging kerbau yang didatangkan dalam kondisi beku tersebut belum efektif menggeser harga daging sapi di pasaran. “Buktinya Lebaran kemarin harga masih tinggi. Padahal, pasar sudah digelontor daging murah,” tegasnya. Jamalzen
Dampak Negatif Daging Kerbau India
Kekhawatiran sebagian masyarakat akan dampak negatif dari kebijakan impor daging kerbau dari India mulai dirasakan peternak rakyat. Harga jual sapi hidup pun menurun. Anehnya, harga daging sapi di pasar masih tetap tinggi.
“Peternak sapi lokal mulai merasakan dampak negatif kebijakan impor daging kerbau dari India. Salah satu dampak buruk yang peternak rasakan saat ini harga jual sapi hidup turun antara Rp1.000 sampai Rp3.000/kg berat hidup,” kata Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Perhimpunan Peternak Sapi dan Kerbau Indonesia (PPSKI), Teguh Boediyana.
Teguh mengakui, sejak awal kebijakan itu diluncurkan, organisasinya tidak pernah setuju atau sejalan dengan kebijakan pemerintah tersebut. Alasan PPSKI, antara lain, karena impor dari negara yang belum bebas Penyakit Mulut dan Kuku (PMK). “Kalau kelak muncul penyakit PMK di dalam negeri, siapa yang mau bertanggungjawab?” katanya.
Selain itu, harga daging kerbau jelas mempengaruhi harga pasar, sehingga peternak sapi potong tidak punya daya tawar yang akhirnya usaha peternak sapi potong hancur.
Menurut Teguh, untuk menyediakan protein hewani semestinya pemerintah tidak harus membuka kran impor. “Meskipun sekarang ini belum terbiasa makan daging kerbau, tapi lama kelamaan mereka akan senang,” katanya.
Teguh memberi contoh. Tahun 1970-an, masyarakat Indonesia belum terbiasa makan daging ayam ras, masyarakat lebih suka ayam kampung. Namun, lama-kelamaan, masyarakat Indonesia pun kini mengkonsumsi daging ayam ras.
“Kasus ini bisa terjadi pada daging kerbau, di mana sekarang masyarakat belum suka, tapi karena disodori harga daging kerbau yang lebih murah dari sapi, tidak menutup kemungkinan kelak masyarakat mengkonsumsi daging kerbau,” tegasnya.
Turun
Teguh menyebutkan, sebelum dibuka impor daging kerbau dari India, harga jual sapi hidup peternak sekitar Rp45.000/kg berat hidup. Namun setelah daging kerbau masuk ke pasar Indonesia, harga jual peternak turun menjadi Rp42.000/kg berat hidup.“Di Tegal, harga jual sapi hidup ya seperti itu. Jika hal ini dibiarkan terus, maka peternak lokal akan mati dengan sendirinya,” katanya.
Untuk itu, PPSKI mendesak pemerintah menghentikan sementara kebijakan impor daging kerbau dari India atau dari negara yang belum bebas penyakit sampai ada keputusan dari MK.
Ketika ditanya apakah kebijakan impor daging kerbau dapat mengurang pemotongan sapi betina produktif, Teguh menyebutkan para penjagal atau blantik-blantik sapi lebih suka mencari sapi dengan harga murah. “Sapi betina itu harganya lebih murah. Jadi, pemotongan sapi betina tetap terus berjalan jika pemerintah tidak mengendalikannya,” tegasnya.
Maraknya pemotongan sapi betina ini merupakan dampak dari populasi sapi potong yang sangat minim. Hasil sensus BPS tahun 2013 mencatat, populasi sapi dan kerbau sebanyak 15.196.154 ekor yang terdiri atas sapi potong sebanyak 13.597.154 ekor dan sapi perah sebanyak 472.000 ekor serta kerbau sebanyak 1.127.000 ekor. Dari populasi tersebut, terdapat populasi betina berumur 2-8 tahun sebanyak 5.918.921 ekor.
Daging Impor
Sementara itu impor daging sapi tahun 2016 diperkirakan tidak jauh beda dengan tahun 2015, yaitu sekitar 120.000 ton. Direktur Kesehatan Masyarakat Veteriner, Ditjen Peternakan dan Kesehatan Hewan, Sri Mukartini mengatakan, impor daging yang dilakukan swasta hingga 15 November 2016 tercatat 12.182 ton. Sedangkan impor daging kerbau oleh Bulog untuk izin 10.000 ton sudah terealisasi 9.539 ton dan untuk izin 70.000 ton sampai 15 November lalu baru terealiasi 2.632 ton.
Namun, data Badan Karantina Pertanian mencatat, impor daging sapi hingga tanggal 14 November 2016 mencapai 88.597 ton. Kemungkinan saat ini sudah mencapai angka 90.000-an ton.
Daging tersebut berasal dari negara Australia, Selandia Baru, Jepang, AS, Kanada, Spanyol dan India. Namun untuk impor daging sapi dari Jepang, Kanada, Spanyol dan AS, volumenya kecil, tidak mencapai 100 ton, karena impor untuk memenuhi pasar khusus. Sementara untuk impor sapi bakalan sekitar 553.229 ekor. Jamalzen