Selain soal proses Amdal (analisis mengenai dampak lingkungan) yang dinilai banyak pihak tergesa-gesa, ada satu hal yang tidak terekspos dari heboh perizinan kereta cepat Jakarta-Bandung. Proses perizinan pinjam pakai kawasan hutan untuk kepentingan proyek yang diluncurkan langsung oleh Presiden Joko Widodo itu ternyata juga berlangsung kilat.
Semua ini tak lepas dari terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 105 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan. Beleid yang diteken Presiden Joko Widodo pada 22 Desember 2015 tersebut ternyata menghilangkan tahapan persetujuan prinsip, sehingga perizinan pinjam pakai kawasan hutan bisa terbit lebih cepat (lihat boks). PP ini terjemahan telak instruksi Presiden Jokowi untuk percepatan proyek-proyek infrastruktur.
Namun, yang menarik bukan cuma itu. PP 105/2015 ternyata membuat terobosan membuka ruang bagi perseorangan mengajukan izin pinjam pakai. Ruang ini dibuka agar penambang rakyat bisa beroperasi secara legal di kawasan hutan.
“Dulu, yang bisa mengajukan izin pinjam pakai adalah perusahaan. Sekarang, penambang rakyat perseorangan juga bisa,” kata Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, San Afri Awang pada Sosialisasi PP 105/2015 di Jakarta, Kamis (28/1/2016).
Dibolehkannya perseorangan mengajukan izin pinjam pakai diatur dalam Pasal 9 ayat 1. Berdasarkan pasal itu, permohonan pinjam pakai kawasan hutan diajukan oleh menteri atau pejabat setingkat menteri, gubernur, bupati/walikota, pimpinan badan hukum, atau perseorangan, kelompok orang dan/atau masyarakat.
Dibukanya perseorangan sebagai subyek hukum untuk memperoleh izin pinjam pakai kawasan hutan dalam kegiatan pertambangan memicu kekhawatiran. Kawasan hutan bakal makin rusak. Tak aneh, memang. Lihat saja kasus Gunung Botak, Kabupaten Buru, Maluku atau hancurnya kawasan hutan atau terumbu karang di Bangka Belitung saat rakyat menyedot timah. Jika sekelas perusahaan saja abai, apalagi rakyat.
Namun, Awang menjelaskan, legalisasi tambang rakyat di kawasan hutan justru bagian dari penataan. Dia mengungkapkan, penambang rakyat yang ditata bisa berkontribusi besar terhadap penerimaan negara melalui pajak yang dibayarkan.
Di sisi lain, dengan memiliki perizinan, maka penambang rakyat akan lebih mudah diawasi dan dibina agar kegiatan yang dilakukan lebih ramah lingkungan. Yang paling penting, Awang mengingatkan, penambang rakyat adalah bagian dari bangsa Indonesia yang berhak mendapat kesejahteraan. “Jangan hanya perusahaan melulu,” tegasnya.
Dia mengatakan, nantinya penambang rakyat bisa memperoleh izin pinjam pakai yang luasnya hingga satu hektare (ha). Meski demikian, Awang belum menjelaskan detil bagaimana proses hingga penambang rakyat bisa mendapat izin pinjam pakai.
Persyaratan
Hanya saja, mengacu pada aturan PP 105/2015, ada syarat yang tidak ringan yang mesti dipahami pemohon pinjam pakai kawasan hutan. Syarat tersebut tidak dibedakan apakah pemohon izin pinjam pakai berasal dari perusahaan atau perseorangan atau kelompok masyarakat.
Apa saja syaratnya? Menyediakan kompensasi lahan jika izin pinjam kawasan hutan dimohon pada provinsi yang luas kawasan hutannya sama atau kurang dari 30% dari luas DAS (daerah aliran sungai), pulau, dan/atau provinsi.
Sementara untuk provinsi yang luas kawasan hutannya di atas 30% dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi, maka kompensasi adalah membayar PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak) Penggunaan Kawasan Hutan dan melakukan penanaman dalam rangka rehabilitasi DAS.
Syarat teknis lainnya adalah melaksanakan tata batas areal izin pinjam pakai, menyelenggarakan perlindungan hutan; melaksanakan reklamasi dan/atau reboisasi pada kawasan hutan yang dipinjam pakai yang sudah tidak digunakan; dan melaksanakan kewajiban lain yang ditetapkan oleh Menteri.
Selain itu, pemegang izin pinjam pakai tidak boleh memindahtangankan izin pinjam pakai kawasan hutan kepada pihak lain atau melakukan perubahan nama pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan tanpa persetujuan Menteri. Pemegang izin juga dilarang menjaminkan atau mengagunkan areal izin pinjam pakai kepada pihak lain.
Syarat penting lain yang harus dipenuhi adalahnya memiliki izin bidang. Dalam hal ini, tentu saja izin pertambangannya. Adanya izin bidang ini juga menjadi acuan untuk menentukan jangka waktu izin pinjam pakai kawasan hutan. Sugiharto
Tak Perlu Lagi Lahan Pengganti
Proyek kereta cepat yang dikerjakan konsorsium PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC) memang akan menggunakan kawasan hutan seluas 57 hektare (ha) yang memanjang. Rinciannya, panjang 11 kilometer dengan lebar 40-50 meter.
Di masa lalu, izin pinjam pakai kawasan hutan proyek tersebut dipastikan tak bakal mudah. Pasalnya, PT KCIC sebagai pemohon harus menyediakan lahan hutan pengganti yang luasnya dua kali lipat pada satu provinsi/daerah aliran sungai/pulau. Dalam kasus ini, berarti KCIC harus mengganti setara dengan 114 ha. Lahan itu juga harus clear and clean melalui proses tata batas, yang bisa memakan waktu lama.
Entah memang sudah dirancang atau memang kebetulan, jelang groundbreaking proyek tersebut, Presiden Joko Widodo meneken PP No. 105 Tahun 2015 tentang Perubahan Kedua Atas PP No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, tepatnya pada 22 Desember 2015.
Mengacu kepada PP tersebut, izin pinjam pakai bagi KCIC bisa diterbitkan secara ekspres. Tak ada lagi persetujuan prinsip dalam proses pinjam pakai. Sementara persyaratan teknis yang biasanya diproses pasca terbit persetujuan prinsip, harus diselesaikan setelah izin pinjam pakai kawasan hutan terbit. Persyaratan itu di antaranya soal penataan batas areal pinjam pakai, menyerahkan dan menata-batas lahan kompensasi, membayar PNBP, dan melakukan penanaman di DAS.
Sebagai catatan, sebelum PP 105/2015 terbit, mekanisme untuk pemanfaatan kawasan hutan untuk pembangunan strategis sektor lain juga bisa ditempuh dengan mekanisme tukar-menukar kawasan hutan (TMKH). Kini, mekanisme yang disediakan hanya izin pinjam pakai kawasan hutan.
Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, San Afri Awang mengungkapkan, terbitnya PP 105/2015 dilatarbelakangi oleh paket kebijakan ekonomi pemerintah untuk penyederhanaan dan percepatan perizinan. PP tersebut juga disesuaikan dengan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah.
Awang menjelaskan latar belakang lain yang mewarnai terbitnya PP 105/2015, yakni percepatan proyek strategis pemerintah seperti jalan, migas, dan kelistrikan, yang menggunakan kawasan hutan. Di sisi lain, ada kesulitan penyediaan lahan kompensasi untuk proyek tersebut. “Makanya, penyediaan lahan pengganti untuk pinjam pakai non komersial kini diganti dengan penanaman di DAS,” katanya.
Tak diperlukannya lahan pengganti juga berlaku proyek bendungan dan waduk yang sudah pasti dilakukan pada areal yang cukup luas dan mengubah bentang lahan. Menurut Awang, meski mengubah bentang lahan, namun waduk atau bendungan memiliki fungsi yang selaras dengan kawasan hutan. “Makanya tidak perlu lagi lahan pengganti,” katanya.
Dia mengatakan, fungsi waduk dan bendungan sesungguhnya tidak berbeda dengan badan air yang ada di dalam kawasan hutan, sebut saja sungai atau danau. Awang juga mengingatkan, salah satu fungsi dari pohon adalah untuk menghasilkan air. “Jadi, ketika air itu bisa disimpan di waduk, kenapa waduk mesti dikeluarkan dari kawasan hutan?” katanya.
Awang memastikan, mesti tidak perlu menyediakan lahan pengganti, namun fungsi kawasan hutan yang dibangun waduk tidak akan berubah. Pasalnya, pembangunan waduk akan diimbangi dengan penanaman sehingga tutupan vegetasinya terjaga. “Ketimbang hutannya luas tapi nggak ada pohonnya, fungsinya akan lebih optimal jika ditanami,” katanya. Sugiharto