Karpet Merah Tambang Rakyat

Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) membuat terobosan berani. Atas nama penataan dan demi kesejahteraan rakyat, kini masyarakat perorangan bisa meminta izin pinjam pakai kawasan hutan untuk penambangan. Cukup dengan luasan satu hektare, maka rakyat bisa menambang emas secara legal. Tak ada lagi cap penambang liar buat rakyat.

Kasus pengusiran ribuan penambang emas liar di Gunung Botak, Kabupaten Buru, Maluku dua bulan silam (November 2015) mungkin tak akan terulang lagi. Atau rakyat di Kepulauan Bangka Belitung nampaknya tak perlu lagi kucing-kucingan mengeruk tanah menambang timah. Kini, lewat Peraturan Pemerintah (PP) No. 105 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas PP No. 24 Tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan, terutama pasal 9 ayat 1 butir (e), perseorangan, kelompok orang dan/atau masyarakat boleh memohon izin pinjam pakai kawasan hutan.

Luar biasa. Dengan aturan ini, maka jika di suatu kawasan hutan produksi dan hutan lindung terdapat potensi emas, tembaga, timah atau mineral berharga lainnya, rakyat perorangan tak perlu lagi jadi penonton atau dicap maling saat menambangnya. Mereka boleh ikut berusaha menambang dengan memohon pinjam pakai kawasan hutan tersebut, sama sebagai subyek hukum dengan perusahaan atau yayasan.

“Ini karpet merah untuk rakyat. Tidak ada lagi itu istilah PETI (penambang emas tanpa izin). Rakyat boleh minta izin tambang, maksimal 1 hektare, sama sebagai subyek hukum dengan perusahaan,” ujar Dirjen Planologi Kehutanan dan Tata Lingkungan Kementerian LHK, San Afri Awang saat Sosialisasi PP No 105 tahun 2015 di Jakarta, Kamis (28/1/2016).

Sejauh ini, peraturan menteri atau produk hukum turunan dari PP tersebut sedang digodok. Namun, pagi-pagi Ketua umum Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI), Gatot Sugiharto, mengingatkan agar aturan main untuk rakyat tidak disamakan dengan perusahaan, terutama soal Amdal yang butuh biaya mahal. Belum lagi kompensasi berupa lahan maupun membayar PNBP (penerimaan negara bukan pajak). Padahal, izin ini penting karena akan mengangkat kesejahteraan rakyat. “Terbukti, di wilayah penambangan rakyat, masyarakatnya makmur. Tapi pada penambangan yang dilakukan perusahaan, masyarakat di sekitarnya pasti miskin,” katanya.

Benar atau tidak, namun Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam), Hendrik Siregar punya pandangan lain. Mengingat jumlah tambang rakyat ditaksir mencapai 2 juta orang, pertanyaan awal yang mencuat, “bagaimana mengawasinya?” katanya. Yang paling riskan adalah bahaya pencemaran dan kerusakan lingkungan. Belum lagi jika penambang rakyat sekadar bemper dari para pemilik modal alias cukong. Dalam bahasa pengamat kehutanan IPB, Hariadi Kartodihardjo, PP 105/2015 adalah kebijakan yang pragmatis dan berbahaya. Wah. AI