Legalisasi Tambang Rakyat Lebih Menguntungkan

Dibukanya pintu bagi penambang persorangan, kelompok orang dan/atau masyarakat berdasarkan PP No. 105 Tahun 2015 bakal memberi peluang legalisasi bagi penambang rakyat. Namun, terbitnya ketentuan tersebut malah ditanggapi dingin Asosiasi Penambang Rakyat Indonesia (APRI).

Menurut Ketua Umum APRI, Gatot Sugiharto, penambang rakyat akan kesulitan memenuhi persyaratan untuk mendapat izin pinjam pakai kawasan hutan. “Seharusnya perizinan bagi penambang rakyat jangan disamakan seperti pada perusahaan,” katanya saat dihubungi Agro Indonesia, Jumat (29/1/2016).

Dia mencontohkan, untuk kelengkapan dokumen Amdal. Penambang rakyat pasti akan kesulitan karena biayanya yang mahal. Jika itu tetap dipersyaratkan, bukan tak mungkin dokumen Amdal yang digunakan adalah yang abal-abal. “Dampaknya pasti buruk juga untuk lingkungan,” katanya.

Belum lagi jika penambang rakyat mesti dikenai kewajiban menyediakan kompensasi berupa lahan maupun membayar PNBP.

Gatot menyatakan, izin yang paling tepat bagi penambang rakyat yang beroperasi di kawasan hutan adalah perizinan Perhutanan Sosial. Lewat izin tersebut, masyarakat dibina agar kegiatan pertambangannya tidak berdampak buruk untuk hutan. Misalnya dengan pendampingan untuk kegiatan reklamasi bekas tambang.

Dia mengingatkan, penambang rakyat adalah elemen bangsa yang perlu mendapat perlindungan seperti juga warga negara lainnya. Apalagi, ada 2 juta kepala keluarga (KK) yang bekerja sebagai penambang rakyat dengan 8 juta orang yang menjadi tanggungannya.

Gatot memastikan, kegiatan penambangan rakyat mampu mendongkrak kesejahteraan masyarakat. “Terbukti, di wilayah penambangan rakyat, masyarakatnya makmur. Tapi pada penambangan yang dilakukan perusahaan, masyarakat di sekitarnya pasti miskin,” katanya.

Kontribusi pertambangan rakyat terhadap kesejahteraan dan perekonomian sesungguhnya sangat besar. Gatot memperkirakan, dari pertambangan emas saja, perputaran uang yang bisa digerakan mencapai Rp100 triliun. Penambang rakyat pun sesungguhnya tidak berkeberatan untuk membayar royalti hingga 20%.

Besaran royalti itu pasti akan diterima penambang rakyat karena jauh lebih kecil jika mesti membayarkan segala macam pungli. Pungli yang dikenakan bisa mencapai 40%-60% dari harga emas per gram. “Kalau kami legal, maka pungli tersebut bisa hilang dan kami menyumbang penerimaan bagi negara,” kata Gatot.

Gatot menekankan, melegalkan usaha pertambangan rakyat jauh lebih menguntungkan bagi Indonesia ketimbang memberi konsesi kepada perusahaan. Menurut dia, penambang rakyat memastikan seluruh emas yang dihasilkannya berkontribusi pada negara. Sementara pada perusahaan, apalagi yang asing, maka negara hanya mendapat royalti yang besarnya paling tinggi 1%.

Dia memaparkan, dalam setahun, Indonesia hanya mendapatkan 65 ton atau 0,7% emas dari bagi hasil perusahan pertambangan yang beroperasi. Sisanya dikantongi perusahaan dan dibawa ke luar negeri dengan jumlah mencapai 9.220 ton atau sekitar 99,3%, yang jika dirupiahkan mencapai Rp4.000 triliun.

“Kalau tambang rakyat, produksinya sekitar 200 ton per tahun. Seluruhnya tetap ada di Indonesia, royaltinya pun pasti lebih tinggi,” katanya.

Tidak lebih buruk

Gatot juga menepis tuduhan yang menyatakan pertambangan rakyat merusak lingkungan. Dia menyatakan, penggunaan bahan kimia dalam proses penambangan tidak lebih buruk ketimbang penggunaan pestisida, herbisida, dan pupuk kimia yang digunakan petani yang juga mencemari lingkungan.

Sementara jika dibandingkan dengan kegiatan perkebunan, maka pertambangan rakyat memanfaatkan lahan hutan yang jauh lebih sedikit. Menurut Gatot, pembukaan lahan perkebunan bagi 1.000 orang, maka minimal dibutuhkan lahan hutan 1.000 ha. Pada kegiatan pertambangan rakyat, untuk menyediakan lapangan pekerjaan bagi 1.000 orang cukup membuka hutan seluas 1 ha.

Gatot sekali lagi menegaskan, jika penambang rakyat dilegalisasi, maka akan lebih mudah untuk dilakukan pembinan — termasuk soal penggunaan bahan kimia dalam proses produksinya.

Dia menyayangkan masih adanya kampanye hitam yang dilancarkan kalangan LSM terhadap penambang rakyat. Gatot menuding mereka yang mengkampanyekan hal buruk tentang penambang rakyat menginginkan agar sumber daya tambang dikuasai oleh perusahaan yang kebanyakan asing.

Bagaimana mengawasi?

Sementara itu, Koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Hendrik Siregar mempertanyakan langkah pemerintah yang melegalisasi tambang perorangan. “Kalau perorangan diberi izin pinjam pakai tambang, bagaimana mengawasinya?” tanya dia.

Hendrik menuturkan, dengan jumlah penambang perorangan yang diperkirakan hingga 2 juta orang, tentu bukan perkara mudah untuk melakukan pengawasan di lapangan. Belum lagi jika ternyata penambang rakyat tersebut kebanyakan hanyalah bemper dari para pemilik modal sesungguhnya.

Menurut dia, cara paling efektif untuk pembinaan penambang rakyat adalah membangun kesadaran pengelolaan tambang yang ramah lingkungan. Untuk itu, adanya model tambang rakyat ramah lingkungan diperlukan. “Masyarakat nanti bisa belajar dari tambang model tersebut,” katanya.

Dia juga menyatakan pentingnya pengendalian risiko dari kegiatan pertambangan, terutama terkait penggunaan bahan-bahan kimia. Sugiharto

PP yang Pragmatis dan Berbahaya

Terbitnya PP No 105 tahun 2015 membuat penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan lain kini makin terbuka. Demi alasan infrastruktur strategis, bentang lahan kawasan hutan bisa diubah dengan mudah. Pemberian peluang bagi pertambangan perseorangan juga dikhawatirkan menambah beban kawasan hutan.

Pengamat kehutanan IPB Hariadi Kartodihardjo menilai, PP No 105 tahun 2015 sebagai upaya untuk menerjemahkan kenginan Presiden Joko Widodo dalam membangun infrastruktur secara cepat. Infrastruktur tersebut memang diperlukan di tengah upaya swasembada pangan dan menggenjot pembangunan. Sayangnya, acuan untuk merancang PP tersebut terlalu Jawa-sentris, di mana lahan terbatas. “Akibatnya, PP tersebut pragmatis dan berbahaya,” katanya.

Pragmatisme tersebut kentara ketika membebaskan permohonan pinjam pakai kawasan hutan untuk infrastruktur dari kewajiban kompensasi lahan. Padahal, luas kawasan hutan pada wilayah tersebut sudah kurang dari 30% dan di bawah daya dukungnya. “Tidak masuk akal jika luas hutannya sudah kurang dari 30% masih bisa dikurangi lagi karena dimanfatkan untuk penggunaan lain,” katanya.

Semakin tidak sesuai dengan upaya swasembada pangan ketika PP tersebut membuka ruang untuk kegiatan pertambangan perorangan. Hariadi mengingatkan, saat ini konflik tambang di Jawa memiliki tren meningkat, terutama untuk pertambangan semen. “Di negara lain tambang di karst sudah dihentikan, makanya banyak perusahaan tambang beralih ke Indonesia. Sebaliknya, kita malah semakin membuka kemungkinan pertambangan dengan dibolehkannya perseorangan,” katanya.

Dia menyayangkan, PP 105 tahun 2015 malah tidak menyediakan solusi untuk keterlanjuran tambang. Dia mengingatkan, berdasarkan kajian Badan Litbang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), ada 379 izin tambang seluas 1,3 juta ha terindikasi berada di kawasan konservasi. Sementara itu, sebanyak 1.457 izin seluas 4,93 juta ha terindikasi di kawasan hutan lindung. Sugiharto