Merealisasikan Mimpi Swasembada Pangan

Tahun 2015 akan menjadi tahun bersejarah dalam hal belanja negara. Pasalnya, dalam Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) tahun 2015 belanja negara akan menembus Rp 2.019,9 triliun. Artinaya, jika terlaksana, APBN ini merupakan jumlah terbesar sepanjang sejarah keberadaan Negara Kesatuan  Republik Indonesia (NKRI).

Walaupun begitu,  APBN Indonesia belum bisa lepas dari defisit. Diperkirakan pada tahun depan, APBN Indonesia masih defisit anggaran sebesar Rp 257,6 triliun atau setara 2,32% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).

Defisit anggaran terjadi karena masih besarnya kegiatan impor Indonesia di tahun itu, Salah satu pemicu munculnya defisit anggaran itu adalah masih besarnya impor produk pangan.

Secara neraca perdagangan (ekspor-impor) pertanian, Indonesia masih mengalami surplus perdagangan karena ditopang dari komoditas ekspor sawit. Selain itu, perkebunan seperti karet, kakao, cokelat juga surplus. Namun jika berdasarkan sub sektor, seperti hortikultura, neraca perdagangan Indonesia masih defisit.

Defisit terjadi karena kita masih mengimpor dalam jumlah besar produk-produk seperti buah-buahan. Begitu juga di  bagian peternakan, kita masih belum bisa lepas dari belenggu impor daging dan hewan sapi. Selain itu,  di pangan kita juga masih impor besar-besaran, gandum dan tepung terigu.

Besarnya komoditas pangan itu tak terlepas dari ketidakmampuan produksi di dalam negeri memenuhi kebutuhan nasional yang jumlahnya terus mengalami peningkatan seiring dengan penambahan jumlah penduduk dan perubahan gaya hidup.

Besarnya impor komoditas pangan menjadi satu tantangan keras bagi pemerintah baru Indonesia. Mimpi swasembada di berbagai komoditas pangan harus mampu direalisasikan.

Walaupun cukup sulit, namun impian untuk mencapai swasembada di sejumlah komoditas pangan bukanlah angan-angan belaka. Swasembada pangan masih bisa dicapai jika pemerintah dan rakyat Indonesia mampu melakukan berbagai upaya secara sungguh-sungguh.

Salah satu upaya yang perlu dilakukan pemerintah untuk mencapai swasembada pangan adalah bagaimana meningkatkan taraf hidup petani. Pasalnya, dari 28 juta penduduk miskin Indonesia, sebagian besar berada di pedesaan yang memiliki pekerjaan sebagai petani dan nelayan.

Masalah kemiskinan di kalangan petani menjadi hal krusial mengingat pengelolaan dan pemilikan lahan oleh petani di negeri ini hanya mencapai 0,3 hektar. Dengan kepemilikan sebesar itu, tentunya sangat sulit bagi petani untuk mencapai taraf hidup sejahtera.

Jika dibandingkan dengan negara-negara maju, petani Indonesia sangat jauh tertinggal dalam hal kepemilikan lahan.  Petani-petani di negara maju memiliki 50 hektar lahan per petani. Jadi, untuk membebaskan petani dari kemiskinan itu, pemerintah tidak hanya memberikan bantuan subsidi pupuk atau benaih saja. Pemerintah juga harus meningkatkan luas lahan garapan petani Indonesia.

Pemerintah harus mampu menerapkan kebijakan reformasi agraria yang bisa menyebabkan petani di Indonesia bisa mengelola lahan pertanian yang memadai sehingga bisa meningkatkan taraf hidupnya, Peningkatan taraf hidup petani diyakini akan berbanding lurus dengan peningkatan volume produksi hasil pertanian.